Korupsi Ala Prabowo(8)

January 21, 2025

KORUPSI ALA PRABOWO (8)
Abdullah Hehamahua

Saya, selesai menjadi narasumber di salah satu Kementerian, disodorkan kwitansi oleh Panitia. Saya langsung menolak.

“Ini sekedar uang transpor pak,” jelasnya.. “Maaf, saya pakai mobil kantor dan diantar sopir kantor juga,” kataku, menjelaskan.

“Ya, ini penghargaan atas ilmu yang bapak berikan ke peserta tadi,” pegawai ini meyakinkan diriku. Saya mulai sedikit emosi: “kalau saya orang bodoh, tidak terpilih menjadi Penasihat KPK. Dan ilmuku tersebut sudah dibayar negara setiap bulan melalui gaji.”

“Tapi ini sudah dianggarkan pak,” katanya masih mendesak. “Sistem anggaran saudara yang salah,” kataku sambil berdiri meninggalkannya.

Ibu tersebut mengejarku sambil bertanya: “jadi apa saran bapak mengenai hal ini.?” Kuhentikan langkahku sambil berujar: “Jika PNS, PN, dan pegawai BUMN/BUMD yang jadi narasumber maka jangan dimasukkan honornya dalam anggaran. Pegawai swasta yang gunakan SPJ dari perusahaannya, juga jangan dimasukkan dalam anggaran. Hanya narasumber individu selain empat golongan di atas yang disediakan honor.”

Kisahku di atas merupakan salah satu contoh gratifikasi sebagai keluarga korupsi yang terakhir sebagaimana diatur dalam UU No. 31/99 jo UU No. 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.

Keluarga Korupsi Ketujuh: Gratifikasi
Gratifikiasi diatur dalam pasal 12B dan 12C, UU No 31/99 jo UU No.20/21 tentang Tindak Pidana Korupsi. Pasal 12B menyebutkan:
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggaran negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggaran negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Pasal 12 C (1): Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.

Jenis-jenis Gratifikasi
Penjelasan pasal 12B UU Tipikor menyebutkan, gratifikasi “adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.”

Amalan Gratifikasi di KPK

Dua bulan setengah dari sekarang, in syaa Allah, umat Islam akan merayakan idul fitri. Pada hari itu, banyak hadiah atau parsel yang diterima para pejabat.
Prabowo dan para menterinya dalam kontek ini perlu dengar kisah pak Taufiequrachman Ruki, Ketua KPK jilid satu.

Suatu sore, ramadhan 2007, kubaca iklan dari pak TR di internal e-mail. TR adalah sapaan di internal KPK ke pak Taufiequrrachman Ruki. Beliau menawarkan sekotak kurma seharga ratusan ribu rupiah. Kurma tersebut dihadiahkan oleh salah seorang rekannya. Namun, tidak ada seorang pun pejabat dan pegawai KPK yang membelinya. Sebab, korma tersebut “high quality” sehingga sangat mahal harganya.

Insan KPK, sejatinya, bisa membeli kurma tersebut. Sebab, gaji mereka relatif tinggi dibanding PNS lainnya waktu itu. Namun, budaya kerja KPK masa itu menjadikan setiap insannya, hidup dan berperilaku sederhana. Mereka tidak pantas mengonsumsi kurma semahal itu.
Pak TR mengakhiri kisah romantis ini dengan membayar sekian ratus ribu rupiah ke Direktorat Gratifikasi. Beliau kemudian bersama pegawai KPK menikmati kurma tersebut ketika berbuka di aula KPK.

Prabowo dan Gratifikasi
Prabowo, jika masih ingat perilaku ayahnya yang sederhana, bisa buat kejutan. Sebab, ayahnya, Soemitro Djojohadikusumo bersama M. Natsir, Syafruddin Prawiranegara, dan Burhanuddin Harahap pernah berlapar-lapar di hutan Sumatera Tengah waktu itu.
Mereka, didorong oleh idealisme untuk menyelamatkan Indonesia dari penyimpangan konstitusi oleh Soekarno, rela sarapan apa adanya, tapi siang tidak makan. Mereka makan siang, tapi malam hari, puasa. Bahkan, sehari makan sempurna, beberapa hari berikutnya, makan apa adanya.

Prabowo tentu masih ingat, hubungan baik di antara ayahnya dengan tokoh-tokoh Masyumi. Itu sebabnya, pak Natsir memberikan rekomendasi ke pemerintah Arab Saudi agar Prabowo bisa mendapatkan jatah sekian ribu barel minyak setiap hari. Prabowo waktu itu sedang berhijrah ke Sudan, puluhan tahun lalu.

. Prabowo, sebagai tanda terima kasih ke pak Natsir, segera minta para menterinya yang punya pesawat pribadi, banyak mobil mewah, perkebunan ribuan hektar, pertambangan dan saham di mana-mana, hibahkan seluruhnya ke negara. Namun, jika harta yang dimiliki tersebut berasal dari korupsi atau “money laundry” maka, biarlah mereka diistirahatkan beberapa tahun di penjara.
Jika hal tersebut dilakukan maka sejarah akan mencatat, Prabowo adalah presiden Indonesia yang paling keren. Prabowo harus segera bertindak sebelum dikhianati para pembantunya. Semoga !!! (Pahang, 16 Januari 2025)