KORUPSI ALA PRABOWO (7)
Abdullah Hehamahua
PSN berupa PIK 2, mengundang perhatian publik seluruh Indonesia. Sebab, Said Didu, mantan Sekretaris BUMN mengatakan, PIK2 adalah negara dalam negara.
Indikatornya, ada pemagaran laut sepanjang 30,16 KM, mulai dari desa Mancung sampai desa Pakuhaji di wilayah perairan Kab. Tangerang. Projek ini milik Agung Sedayu Group dan Salim Group
Prabowo, dalam ikhtiar mengatasi kericuhan sosial, perintahkan pembantunya agar menyelesaikan kasus tersebut. Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Nusron Wahid, langsung bertindak.
Menurutnya, 28 November 2024, setelah dicek, ternyata RTRW Provinsinya tidak sesuai. RTRW Kabupaten/Kota tidak sesuai. Bahkan, RDTR-nya juga belum ada.
RTRW adalah Rencana Tata Ruang Wilayah di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Sedangkan RDTR adalah Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang diperlukan untuk memperoleh rekomendasi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR).
Petugas Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), sesuai dengan perintah Prabowo dan temuan Kepala BPN, tanggal 9 Januari 2025, langsung menyegel lokasi pemagaran laut yang ada.
Inilah salah satu contoh konkrit dari jenis korupsi keenam yang dilakukan Jokowi, yakni “benturan kepentingan.”
Korupsi Keenam: Benturan Kepentingan Dalam Pengadaan
Konflik kepentingan menurut UU No. 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pasal 1 ayat 14 adalah kondisi pejabat pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas keputusan dan/atau tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.
Permen PAN-RB Nomor 37 tahun 2012, menyebutkan, benturan kepentingan adalah situasi di mana penyelenggara negara memiliki atau patut diduga memiliki kepentingan pribadi terhadap setiap penggunaan wewenang sehingga dapat mempengaruhi kualitas keputusan dan/atau tindakannya.
Modul Integritas KPK, 2016 menyebutkan, konflik kepentingan adalah situasi yang berpotensi melemahkan ketidak-berpihakan seseorang karena kemungkinan adanya benturan antara kepentingan pribadi dan kepentingan profesional atau kepentingan publik.
Pasal 43 ayat 1. UU No. .30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyebutkan, suatu conflict of interest terjadi jika dalam penetapan suatu putusan, terdapat beberapa hal berikut:
(a) Berupa kepentingan pribadi maupun bisnis; (b) Kepentingan yang berhubungan dengan kerabat dan keluarga; (c) Hubungan dengan pihak yang bekerja, di mana mendapatkan gaji dari orang terlibat; (d) Hubungan dengan wakil pihak yang terlibat; (e) Hubungan dengan pihak yang memberikan rekomendasi terhadap pihak terlibat; (f) Hubungan dengan pihak-pihak lainnya, yang dilarang oleh kebijakan peraturan perundang-undangan.
Pasal 43 ayat (1) UU No, 30/2014 ini menunjukkan bahwa, Perpres Jokowi yang menetapkan PIK2 sebagai PSN, jelas masuk dalam kualifikasi “benturan kepentingan.” Sebab, Pengembang PIK2 adalah Sedayu grup pimpinan Aguan yang pertama kali membangun hotel di IKN.
Bahasa di warung kopi menyebutkan, kebijakan Jokowi tersebut merupakan balas jasa terhadap Aguan yang membangun hotel di IKN.
Prabowo, dalam kontek ini, sesuai pasal 55 KUHP, dapat dipidana jika tidak membatalkan PIK2 sebagai PSN. Apalagi, jika semua pihak yang terlibat dalam kasus PIK2 ini, tidak diproses hukum.
Benturan Kepentingan dalam Politik
Benturan kepentingan, sejatinya terjadi juga di sektor politik, khususnya dalam Pilpres, Pemilu, dan Pilkada. Sebab, hasil penelitian KPK terhadap lebih dari 630 calon kepala daerah yang kalah pada Pilkada 2016-2018, ada bantuan dana kampanye dari pengusaha atau perusahaan. Mereka menyebutkan, ada perjanjian lisan dan tulisan di antara pemberi dana dan calon kepala daerah.
Perjanjian tersebut antara lain: (a) Kemudahan mendapat izin atas bisnis yang telah dan akan dilakukan; (b) Kemudahan ikut serta dalam tender proyek pemerintah; (c) Keamanan dalam menjalankan bisnis; (d) Kemudahan akses agar donatur atau koleganya bisa mendapat jabatan di pemerintahan; (e) Kemudahan akses mengendalikan kebijakan atau Perda; dan (f) Mendapat prioritas bantuan langsung atau Bansos dari APBD.
Wajar jika kajian Kementerian Dalam Negeri menemukan, biaya untuk menjadi kepala daerah berada di kisaran Rp.20 miliar – Rp100 miliar lebih. Bahkan, Pilkada di Kalimantan Selatan, 2020, gubernur terpilih waktu itu menghabiskan Rp. 700 milyar.
Penanganan PBJ oleh KPK
Penanganan kasus korupsi oleh KPK, sejak tahun 2004 sampai 2013, ternyata 42% di antaranya berkaitan dengan perbenturan kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa (PBJ). Padahal, 35% APBN setiap tahun berkaitan dengan PBJ.
Dahsyatnya, Wakil Ketua KPK, Alexander Marwata ke pers (12 Maret 2024) mengatakan, hampir 90% kasus yang ditangani pada era Jokowi, berkaitan dengan PBJ. Maknanya, sekalipun delik utama kasus yang ditangani KPK, adalah penyuapan dan gratifiksi, tapi di Pengadilan, terungkap, penyuapan dan gratifikasi tersebut berkaitan dengan PBJ.
APBN setiap tahun menganggarkan 35% bagi PBJ. Maknanya, jika tahun 2024, APBN-nya Rp3.325,1, maka uang negara yang dikorupsi: 90% x 35% x Rp. 3.325,1 triliun = Rp.1,047 triliun. Wajar, jika APBN setiap tahun, relative besar, tapi tidak dinikmati mayoritas rakyat karena dikorupsi.
Prabowo tidak akan dihujat, baik dalam negeri, maupun luar negeri seperti Jokowi, jika menghentikan segala bentuk korupsi, khususnya PBJ. Ia dimulai dari internal partai sendiri. Lalu menyingkrkan anggota kabinet yang terlibat korupsi. Apalagi, jika Prabowo mengeluarkan PIK2 dari PSN dan menyilahkan APH memroses semuanya dalam suatu pengadilan yang transparan, adil, dan akuntabel. Semoga !!! (Shah Alam, 14 Januari 2025)