KORUPSI ALA PRABOWO (9)
Abdullah Hehamahua
Salah seorang anggota DPRD provinsi di Sulawesi mengeritikku. “Mengapa kami tidak boleh terima hadiah padahal nabi Muhammad terima hadiah,” kritiknya setelah kuselesaikan presentasi.
Disebabkan penanya berasal dari partai Islam maka jawabanku juga merujuk ke sejarah Islam. Kukisahkan perilaku khalifah Umar ibnu Abdul Aziz. Beliau dikategorikan sebagai khulafah al rasyidin kelima karena keadilan dan kesederhanaanya.
Diriwiyatkan, Umar menolak menerima apel yang diberikan salah seorang sepupuhnya. Umar langsung ditegur stafnya dengan ucapan seperti yang disampaikan anggota DPRD di atas. ” Rasulullah terima hadiah karena beliau tidak terima gaji. Sedangkan saya terima gaji,” jawab Umar.
Salah seorang perempuan, staf Sekwan, mendengar penjelasanku di atas, berkomentar: “Saya sudah belasan tahun menjadi PNS dengan gaji yang kecil. Masa sekali setahun tidak boleh terima parsel.?”
“Memang gaji PNS sangat rendah,” batinku. Sebab, kubandingkan gaji anakku yang dosen di ITB dengan isterinya di Universitas Islam Antarbangsa Malaysia, 1 : 3. Padahal, keduanya sama-sama doktor (S3). Pengalaman mengajar juga sama.
Namun, terhadap curhat staf Sekwan tadi, harus kujawab juga: “bersyukurlah karena setiap bulan anda masih terima gaji. Ada jutaan rakyat Indonesia yang siang hari bisa makan, tapi malamnya terpaksa berpuasa.*
Pengalamanku di atas merupakan tema yang dibahas dalam seri ini, yakni mengenai hadiah.
KPK dan Hadiah
Taufiequrrachman Ruki mengisahkan, setiap lebaran, ruang tamunya sebagai Kapolwil Malang, penuh dengan parsel. Namun, ketika sudah tidak menjabat Kapolwil, tidak satu pun parsel datang ke rumahnya.
Kisah pak TR (inisial ketua KPK jilid 1 ini di internal KPK) menunjukkan bahwa, hadiah yang diterima seseorang, disebabkan jabatannya. Bukan karena pribadinya. Olehnya, banyak pasien KPK, sejak 2004 sampai dengan 2024, dipenjarakan karena menerima hadiah dalam menjalankan tugas.
Prabowo dan Hadiah
Prabowo dalam ikhtiar memberantas korupsi sampai di Antartika, sebagaimana yang pernah diucapkannya, perlu tau kisah berikut ini:
Ery Riyana Harjapamengkas (ERH), salah seorang Wakil Ketua KPK, jilid 1. Beliau ketika kembali dari bertugas di Banjarmasin (2007), menemukan di dalam tas pakaiannya, sebatang pulpen parker.
Rupanya, tanpa sepengetahuannya, pegawai Pemda ketika mengantar ke bandara, memasukan oleh-oleh tersebut ke dalam bagasi pak ERH.
Pak ERH, sesuai dengan pasal 12B UU Tipikor dan Kode Etik KPK, memahami bahwa, pulpen tersebut termasuk gratifikasi. Pak ERH hanya punya satu pilihan: kembalikan pulpen tersebut ke pemda Kalsel atau lapor ke Direktorat Gratifikasi.
Pak ERH ternyata menyukai pulpen tersebut. Jalan keluarnya, pak ERH minta tolong stafnya menanyakan harga pulpen tersebut di toko. Beliau pun menyerahkan sejumlah uang ke Direktorat Gratifikasi, dan pulpen tersebut menjadi miliknya.
Prabowo, berdasarkan dua kasus di atas, harus memastikan, semua menterinya dalam menjalankan tugas ke daerah, tidak boleh menerima “oleh-oleh” dalam bentuk apa pun. Mereka tidak boleh terima “oleh-oleh,” baik dari aparat Pemda maupun pengusaha.
Dampak positifnya, aparat Pemda tidak terdorong untuk menyalah-gunakan kesempatan yang ada dalam menggunakan APBD hanya untuk melayani pejabat dari pusat secara berlebihan. Apalagi, memberi hadiah atau “oleh-oleh.”
Dampak positif lanjutannya, pengusaha di daerah juga terhalang keinginannya untuk memberi “oleh-oleh” ke Menteri atau pejabat dari pusat.
Kondisi seperti itu akan wujud jika diteladankan oleh Presiden Prabowo sendiri. Jika Prabowo lakukan hal tersebut maka beliau berhasil mengatasi tesis almarhum ayahnya, Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo yang mengatakan, 30 persen anggaran rutin bocor, setiap tahun.
Sinyalemen Soemitro tersebut berdasarkan amalan pejabat selama Orde Baru. Sebab, ketika pejabat dari Jakarta ke daerah, disambut dengan karpet merah. Diadakan pula pelbagai acara kesenian dan makan malam di gubernuran. Para isteri pejabat dari Jakarta ditemani ibu-ibu Pemda, “shopping.”
Belum lagi jika ada acara kunjungan ke kabupaten tertentu yang juga disambut dengan pelbagai upacara adat dan kesenian. Semuanya menguras APBD, baik provinsi maupun kabupaten.
Tragisnya, pejabat dari Jakarta tidak menyelesaikan masalah di daerah tersebut, tapi justru Pemda harus berutang. Pemda berutang ke hotel, restoran, maupun supermarket tempat para isteri pejabat yang dari jakarta, “shopping.”
Simpulannya, jika Prabowo membatasi perjalanan dinas para Menteri seperti yang pernah diucapkannya, maka beberapa langkah perlu ditempuh: (a) Pejabat hanya menempati hotel, maksimal bintang empat; (b) Tidak ada acara kesenian dan penyambutan yang berlebihan; (c) Tidak boleh ada “oleh-oleh” bagi pejabat yang menjalankan tugas.
Prabowo, dalam kontek ini, selain menghemat pengeluaran rutin, juga sekaligus menghilangkan budaya korupsi di internal kabinet. Maknanya, Prabowo bukan sekadar “omon-omon” seperti Jokowi, tapi bisa melaksanakan apa yang dijanjikan. Semoga !!! (Shah Alam, 18 Januari 2025).