YLBHI: Sesuai Prediksi Mahkamah Konstitusi menjadi Alat Legitimasi Pembusukan Demokrasi dan Negara Hukum oleh Kekuasaan.
Putusan akhir MK terkait Pilpres (Perselisihan Hasil Pemilihan Umum) yang tidak menemukan adanya fakta hukum kecurangan pemilu 2024 adalah bukti nyata kegagalan MK sebagai penjaga kedaulatan rakyat dan konstitusi. Meskipun terdapat dissenting Opinion tiga hakim MK yang pada pokoknya menegaskan bahwa telah terjadi kecurangan pemilu secara Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM), Putusan akhir Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa MK hari ini tidak lebih dari Mahkamah Kekuasaan yang bertugas melegitimasi kepentingan kepentingan kekuasaan dan dinasti politik keluarga.
Hal ini didasarkan pada argumentasi sebagai berikut:
1. Jika melihat Kembali kebelakang terkait dengan komposisi hakim Mahkamah Konstitusi yang menjabat dan track record putusan MK dalam memutus Pengujian Undang-Undang bermasalah beberapa waktu terakhir seperti UU KPK, UU Minerba, UU Omnibus Law Cipta Kerja, termasuk Skandal Putusan MK terkait batas usia Cawapres dalam UU Pemilu yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka (anak sulung Presiden Jokowi) sebagai calon Wakil Presiden. YLBHI sudah menduga putusan MK dalam PHPU kali ini hanya akan berujung pada putusan yang meligitimasi praktik politik dan pemilu culas yang berlangsung dengan mengabaikan prinsip demokrasi, negara hukum dan hak asasi manusia. YLBHI melihat MK secara kelembagaan sudah kehilangan Marwah dan independensinya untuk memutus kasus kasus yang beririsan kuat dengan kepentingan politik pemerintah berkuasa sejak adanya intervensi melalui revisi UU MK bermasalah, praktik busuk manipulasi putusan syarat umur wakil presiden oleh ketua MK Anwar Usman dan praktik reccal dan penggantian hakim MK secara ilegal oleh DPR RI;
2. Persidangan MK untuk sengketa Pilpres dengan mekanisme speedy trial memiliki waktu terbatas untuk pembuktian sehingga menyulitkan pembuktian secara menyeluruh dan nampak dalam prosesnya tidak dimaksimalkan para Hakim MK untuk secara aktif mencari dan menemukan bukti materiil. Hal ini membuat persidangan sengketa pilpres tidak lebih dari sekedar formalitas dan “sandiwara hukum untuk menghapus jejak-jejak fakta kecurangan pemilu”.
3. Akhirnya dalam pertimbangan hukum putusannya, mayoritas hakim MK menutup mata terkait dengan fakta material yang kasat mata seperti tidak netralnya Presiden sebagai Kepala Negara dan Pemerintahan, pelibatan aparat negara, pejabat negara, atau penyelenggara negara di sejumlah daerah untuk pemenangan salah satu calon, maupun penyaluran dana bantuan sosial sebagai alat pemenangan salah satu peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Berbagai fakta hukum substansial ketidakadilan dalam proses pemilu tidak diakui dengan alasan hukum normatif positivistik seperti sudah diproses Lembaga penyelenggara dan pengawas Pemilu sesuai kewenangannya seperti Bawaslu dan DKPP serta beralasan tidak cukup teryakinkan adanya kecurangan dengan dalih formil karena kurang bukti.
Merujuk pada hal diatas, YLBHI melihat pentingnya mendudukkan kembali Mahkamah Konstitusi sebagai kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menjaga demokrasi dan konstitusi bukan seperti hari ini malah menjadi Mahkamah stempel kekuasaan otoriter yang bersembunyi dibalik hukum (undang undang dan putusan pengadilan bermasalah).
Jakarta, 22 April 2024
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia