Abdullah Hehamahua
Nama lengkapnya, cukup panjang: Renvila Nevila Alvionesti. Umurnya baru 18 tahun. Peserta termuda, Diklat KIM-2, Wonosobo. Vila, begitu kawan-kawannya memanggil, baru saja lulus SMU. Beliau tidak pernah bolos mengikuti kelas selama Diklat berlangsung. Jika Vila peserta termuda maka Soegijo, yang tertua, 91 tahun. Namanya pun pendek. Satu perkataan.
Vila menangis sewaktu acara penutupan Diklat. Terharu. Menurutnya, Masyumi adalah hidayah baginya sebagai milineal dalam mengembangkan diri di bidang politik.
Namanya Panjang
Kutanyai, mengapa namanya panjang sekali. Dia juga tidak tau. Sebab, ayahnya yang beri nama. Satu hal yang pasti, Revila Nevila Alvionesti adalah perjanjian suci di antara ayah dan ibunya. Kutanyai lagi, namanya itu dari bahasa apa.? Sebab, sepertinya, bukan bahasa Jawa. Bukan juga bahasa Arab. Penjelasannya membuat diriku tertawa sendiri. Juga kagum !!! Begini penjelasannya.
Renvila diambil dari kata renvile. Kuingat perjanjian Renvile di antara Indonesia dan Belanda. Sejatinya, Renvile adalah nama kapal perang Amerika Serikat yang berlabuh di Tanjung Priok waktu itu. Di kapal ini, berlangsung perjanjian di antara Indonesia dan Belanda. Maknanya, ayah Vila ini seorang yang punya kesadaran historis. Tidak melupakan sejarah masa lalu.
Nevila diambil dari kata Sevila. Ini nama grup sepak bola di Spanyol. Rupanya ayahnya, Ones Sugianto, penggemar bola. Apalagi kalau grup sepak bola Spanyol yang bernama Sevila, bermain. Padahal, beliau seorang pedagang kuliner.
Perkataan terakhir dari nama Vila adalah Alvionesti. Ternyata, perkataan tersebut mengandung makna filosofis. Sebab, ada perkataan ones yang berasal dari nama ayahnya. Maknanya, ayahnya selalu berada dalam diri Villa. Perkataan ti di belakang nama Alvionesti adalah dua hurup terakhir dari nama ibu, Tri Suprapti. Maknanya, ibu selalu berada dalam diri dan hidup Vila. Menurut Vila, dengan nama tersebut, dirinya selalu ingat, hormat dan berkhidmat ke ibunya. Sebab, surga ada di bawah telapak kaki ibu. Pada waktu yang sama, Vila selalu menghormati, taat, dan patuh ke ayahnya. Sebab, ayah adalah panglima dan penanggung jawab keluarga. Bahkan, ibu tidak akan masuk surga tanpa ridha ayah.
Mewakili Peserta Kebumen
Sesi terakhir Diklat KIM adalah post test keterampilan peserta menerjemahkan Al-Qur’an. Hasil post test Vila untuk pelajaran terakhir ini, cukup lumayan. Beliau mendapat angka 70 (B). Padahal, ada 12 peserta dewasa yang tidak lulus.
Sewaktu acara kesan dan pesan peserta, Vila mewakili DPD Kebumen. Vila dalam sambutannya mengatakan, dia bersyukur karena sudah diberi kesempatan untuk belajar bersama orang-orang hebat yang memiliki ideologi dan konsistensi dalam memperjuangkan kebaikan umat dan negeri ini. Vila sadar, dirinya belum memiliki kapasitas dalam ilmu politik. Apalagi, mengenai perjuangan yang sesungguhnya. Menurutnya, Allah membuka pintu gerbang yang sangat luar biasa bagi dirinya memasuki lingkungan orang-orang hebat dan pakar di bidangnya. Nyatanya, Vila menemukanya di MASYUMI.
Vila dalam sambutannya juga berterima kasih khusus ke Ketua, Sekretaris, dan Wakil Sekretaris Majelis Syuro serta Ketua DPW Jateng sebagai Panitia Pelaksana Diklat. Vila tidak lupa berkomitmen untuk terus belajar dan tidak akan pernah bosan untuk menimba ilmu. Sebab, orang tuanyaberkata “Jangan biarkan dirimu puas dengan biasa-biasa saja karena setiap orang hebat pada satu waktu adalah pemula.”
Vila Menangis Haru
Kamis pagi, 16 Februari, acara penutupan Diklat KIM-2. Acara dimulai dengan pembacaan ayat Al-Qur’an. Qori, Muhammad Zulkarnain, peserta dari Bali membacakan ayat 75 – 76, Surah An Nisaa. Ayat ini mengeritik umat Islam yang tidak mau berperang melawan orang-orang kafir dan tidak membela orang yang terzalimi oleh Penguasa thogut.
Sewaktu acara salam-salaman perpisahan, Vila kelihatan menangis. Kutanyakan, mengapa dia menangis. Mendengar jawabannya, saya terharu. Begini jawabannya:
“Vila merasakan kekeluargaan yang sangat bermakna. Keharmonisan di MASYUMI telah melekat hangat dalam batin Vila. Di ruang kelas saat penyampaian materi, ada proses debat, bercanda, dan feed-back. Suasana gemuruh karena berbeda pendapat. Proses makan bersama, suasana di kamar bersama ummi2 dan teman2 yang sudah saya anggap seperti keluarga. Apalagi saat pemutaran lagu Mars Masyumi. Sepertinya Masyumi bertahan dalam diriku dan membuatku sangat mencintai Masyumi. Apalagi dengan visi, misi, dan kekeluargaan yang seperti rantai persatuan. Ada salah paham/perbedaan pendapat di dalam kelas, bahkan memanas. Namun, pada hari penutupan, semua saling memaafkan. Mereka melupakan semua salah paham. Mereka anggap hal itu suatu bentuk kewajaran dalam persahabatan. Saya lalu seperti menemukan lingkungan yang saling mendidik tanpa mencela, memberi arahan dengan perlahan, menunjukkan contoh akhlak persatuan yang sesungguhnya
Olehnya, saya menangis haru dan bahagia. Pintu gerbang pertama yang kumasuki ternyata memang pintu yang ditunjukkan oleh Allah SWT. (Depok, 19 Februari 2023).