POSISI MASYUMI DALAM CARUT MARUT PILKADA DKI JAKARTA
Oleh Samsudin Dayan
Perdebatan di internal partai Masyumi mengenai Pilkada DKI Jakarta sebenarnya cerminan terpecahnya suara ummat Islam dalam pilkada DKI Jakarta tahun 2024. Jika ketika Anies melawan Ahok ummat Islam berada dalam satu barisan yang kokoh, hari ini umat Islam Jakarta terbelah dengan ijtihad politiknya masing-masing.
Salah satu kelemahan ummat Islam selama ini senang “menari” di atas tabuhan gendang orang lain dan selalu tak mampu “menabuh gendang” sendiri.
Pilkada saat ini jauh-jauh hari dirancang oleh kekuatan rezim yang berkuasa selama 10 tahun untuk mempertahankan hegemoni kekuasaannya, meskipun tidak lagi duduk secara formal di kursi kekuasaan. Sementara pemimpin ummat tidak pernah duduk bersama untuk menghadapi situasi yang akan terjadi.Wajar jika hari ini terjadi perpecahan bukan hanya ditingkat akar rumput tapi juga dikalangan para ulama dan tokoh Islam.
Partai Masyumi, sebagai salah satu simbol perjuangan politik Islam di Indonesia, telah lama menjadi bagian dari sejarah politik bangsa.
Kembalinya nama Masyumi ke pentas politik pasti menimbulkan banyak pertanyaan baik dari kalangan anak cucu tokoh Masyumi, para pengagumnya, para tokoh politik dan tentunya elit kekuasaan dan publik pada umumnya, mau kemana arah Partai Masyumi sekarang ini?
Sejarah Partai Masyumi sebagai kendaraan politik umat Islam, telah mengukir kejayaannya dan telah mewariskan nama besar dan keharuman akhlaq politik yang bukan hanya diakui dalam negeri tapi juga dicatat oleh banyak pengamat politik luar negeri sebagai satu2nya partai politik Islam modernis yang memiliki rekam jejak luar biasa sehingga menjadi salah satu partai terbesar di Indonesia.
Namun, Masyumi saat ini, dihadapkan pada realitas politik yang jauh berbeda dari masa lalu. Saat ini, Pilkada bukan hanya soal kompetisi ideologi, tetapi juga pragmatisme, dan aliansi strategis antara rezim yg berkuasa 10 tahun dengan para oligharky untuk mengamankan aset mereka di Jakarta.
Pada posisi ini Partai Masyumi yang seharusnya melalui Majelis Syura-nya menetapkan pilihan, namun tak mudah memutuskan hal tersebut.Saya menduga Majelis Syura sedang menerapkan strategy pak Nasir “bergantung ke pinggir” karena begitu kencangnya “arus” dimana jika Masyumi tetap “berkayuh” kemungkinan justru akan hanyut ke hilir.
Dalam konteks ini, posisi partai Masyumi menjadi penting untuk dianalisis.
Partai Masyumi dihadapkan pada beberapa tantangan:
Minimnya Basis Massa yang solid
sebagai partai yang baru kembali tentu Masyumi harus membangun kembali basis pendukungnya. Dalam pilkada, di mana pemilih cenderung lebih pragmatis, ini menjadi tantangan tersendiri. Masyumi sedang mencoba memperkenalkan diri kembali ditengah publik ketika suara ummat sedang terpecah dan tidak adanya calon yang betul2 mewakili suara ummat Masyumi lebih memilih untuk melepaskan kadernya berijtihad masing-masing tanpa melibatkan nama partai.Pilihan ini terasa “aneh” dan “pahit” tapi demi tujuan strategis kedepan saya lebih setuju atas sikap ini, meskipun tanpa diputuskan secara formal.
Kompleksitas Koalisi Politik
Pilkada di Jakarta dan umumnya seluruh Indonesia saat ini merupakan hasil dari kebijakan politik rezim berkuasa 10 tahun yg menghancurkan sendi2 demokrasi dalam sistem politik Indonesia saat ini.
Dalam situasi ini apakah Masyumi harus menjadi pemain aktif dalam koalisi yang ada atau sekadar mengamankan posisi di balik layar? Sepertinya pilihan kedua dianggap lebih strategis.
Strategi dan Peluang Masyumi
untuk bisa bertahan dalam situasi yang sulit demi membangun kekuatan setelah pilkada ini relevan dalam Pilkada DKI Jakarta. Dimana Masyumi perlu memainkan strategi yang “berpirau” untuk tujuan yang lebih besar.
Pendekatan yang akan datang pada basis Islam Modernis di DKI diharapkan
Masyumi bisa menonjolkan diri sebagai partai Islam yang inklusif, modernis dan terus membangun narasi persatuan umat tanpa terjebak dalam situasi politik yang dapat menyulitkan gerak masyumi kedepan.
Kesimpulan
Posisi Masyumi dalam carut marut Pilkada DKI Jakarta berada di persimpangan penting. Di satu sisi, partai ini membawa nama besar sejarah politik Islam; di sisi lain, ia menghadapi tantangan besar untuk bertahan dalam realitas carut marut politik pada pemilih yang lebih modernis namun tetap pragmatis. Dengan strategi yang tepat, Masyumi diharapkan dapat menjadikan situasi ini menjadi “modal” membangun kekuatan aliansi strategis dengan semua kelompok ummat di Jakarta tanpa ada beban pilkada.
Masyumi kelak diharapkan dapat menjadi salah satu elemen penting dalam peta politik DKI Jakarta, memperjuangkan aspirasi Islam di tengah situasi politik yang terus menghadapi tantangan hegemoni kekuatan “tirai bambu” baik dalam penguasaan wilayah, ekonomi, politik dan teknologi. Persaingan yang amat berat ini harus menjadi kesadaran kita bersama mengapa kita harus BERSATU.
Kepada para kader tak usah kita bertikai di dalam, tapi ruang sudah diberikan secara personal “berselancar” di antara gelombang politik DKI Jakarta saat ini.
Semoga Allah ridho atas sikap politik ini.Aamiin
wallahu’alam