ORDE PERUBAHAN, MENYAMBUT INDONESIA BERKAH (11)
Abdullah Hehamahua
Partaimasyumi.id – Hak asasi manusia ketiga setelah pangan dan sandang adalah papan. Sebab, manusia perlu tempat bernaung. Manusia purba pun menempati gowa sebagai tempat bernaung. Bahkan, hari ini, di beberapa daerah Indonesia, ada yang tinggal di atas pohon. Mereka membuat rumah kecil beratapkan ilalang di atas pohon.
Indonesia termasuk negara kelima di dunia yang banyak memiliki warga tunawisma. Sebab, menurut “United Nation Departement of Economic and Social Affairs,” ada sekitar 3 juta tunawisma di Indonesia. Di Jakarta saja, ada 28.000 orang. Bahkan, pada tahun 2019, ada 77.500 gelandangan dan pengemis tersebar di banyak kota besar, seluruh Indonesia.
Presiden 2024, berdasarkan data-data di atas, wajib merealisasikan pilar ketiga dari sila terakhir Pancasila, Keadilan Sosial. Ia berupa ketersediaan perumahan rakyat yang layak huni. Olehnya, dalam 100 hari pertama, Presiden menerbitkan Perppu atau Inpres tentang perumahan rakyat.
UUD 45 dan Perumnas
BPS, Maret 2023 menyebutkan, ada 26 juta orang miskin di Indonesia. Jika diasumsikan, 26 juta orang miskin tersebut adalah mereka yang tidak punya rumah atau hunian yang tidak layak, maka pemerintah harus menyediakannya.
Apalagi, berdasarkan data PBB, ada 3 juta tunawisma di Indonesia. Padahal, pasal 34 UUD, 18 Agustus 1945, menyebutkan, “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.” Maknanya, Presiden 2024 – 2029 harus membangun, 3 juta rumah. Namun, sensus tahun 2000, ditemukan 1,6% populasi Indonesia adalah tunawisma. Maknanya, pemerintah harus menyediakan 4.320 unit rumah. Belum lagi sensus tahun 2010 yang menemukan 28.364 orang kehilangan tempat tinggal di Jakarta karena bencana alam dan pemutusan hubungan kerja tanpa pesangon.
Kementerian PUPR yang Linglung
Besarnya jumlah penduduk Indonesia perlu didukung ketersediaan perumahan sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia. Kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan tempat tinggal di Indonesia, tahun 2014 diperkirakan mencapai sekitar 17,2 juta unit. Data-data ini berdasarkan sensus BPS yang diadakan setiap 10 tahun sekali.
Rata-rata pertumbuhan kebutuhan akan rumah sebesar 930 unit setiap tahunnya. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah memasukkan perumahan menjadi salah satu skala prioritas pembangunan. Langkah awal yang diambil pemerintah adalah menetapkan target pembangunan perumahan yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019.
Berdasarkan RPJMN tersebut, yang akan dibangun adalah 2,2 juta hunian dalam jangka waktu 5 tahun. Namun target pembangunan rumah rakyat pada tahun 2015 direvisi karena dinilai terlalu lambat untuk dapat menutupi kebutuhan rakyat akan perumahan. Olehnya, target diubah menjadi 1 juta unit perumahan per tahun.
Faktanya, target perumahan rakyat tidak pernah tercapai. Apalagi, target pembangunan perumahan rakyat setiap tahun cenderung meningkat. Namun, realisasinya selalu di bawah target. Hal ini menunjukkan bahwa, masih banyak permasalahan dalam pelaksanaan program perumahan rakyat. Rendahnya tata kelola serta perencanaan program perumahan bagi rakyat menjadi salah satu sebab, rendahnya realisasi rumah bagi rakyat miskin.
Kementerian PUPR berkomitmen melakukan pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan masyarakat melalui usulan dari pemerintah daerah. Namun usulan-usulan program infrastruktur dari daerah tersebut menurut Kepala Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah (BPIW) Kementerian PUPR, Rachman Arief Dienaputra, dievaluasi terlebih dahulu. Sebab, pemerintah mengalami keterbatasan anggaran. Maknanya, Kementerian PUPR dalam keadaan linglung.
Aneh bin Ajaib.!!! Pemerintah sadar akan keterbatasan anggaran. Namun, pemerintah paksakan pembangunan IKN. Padahal, ia bukan sesuatu yang mendesak dalam belasan tahun mendatang. Apalagi, biaya pembangunan IKN tersebut sebesar Rp. 466 trilyun. Deputi IV Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Juri Ardiantoro dalam siaran persnya, 28 Juni 2021 mengatakan, dari total dana tersebut, sekitar Rp 89,4 triliun berasal dari APBN. Sisanya, ditaggung oleh Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dan swasta Rp 253,4 triliun. BUMN dan BUMD Rp 123,2 triliun.
Inilah contoh pemerintah yang paling tidak waras selama 77 tahun Indonesia merdeka. Sebab, persoalan Jakarta bukan diselesaikan dengan memindahkan IKN ke Kalimantan.
Kalau pun harus dipindahkan dalam waktu 25 tahun mendatang, IKN bisa dibangun di daerah Jawa Barat. Sebab, infrastruktur yang sudah mulai terintegrasi, masalah kemacetan lalulintas dan banjir dapat teratasi. IKN baru di daerah Jawa Barat dijadikan sebagai pusat perekonomian nasional. Jakarta, sesuai latar filosofi dan historis, tetap merupakan ibu kota negara. Malaysia misalnya, ibu kota negara tetap Kuala Lumpur. Sedangkan kota pemerintahan dipindahkan ke Putra Jaya, 45 menit perjalanan dari Kuala Lumpur. Itulah cara berfikir pemerintah yang waras.
Presiden dan Bank Tanah
Pemerintah sebelumnya mengeluh, salah satu sebab, lambannya pembangunan perumahan layak huni bagi orang miskin karena keterbatasan ketersediaan lahan. Hal ini jelas bertentangan dengan fakta di lapangan. Sebab, Panglima TNI dengan gagah mengatakan akan memiting rakyat di Rempang yang menghalangi aparat merelokasi sekian ribu hektar. Maknanya, demi kepentingan oligarki, Panglima perintahkan untuk fiting rakyatnya sendiri. Padahal, hal tersebut bukan merupakan tupoksi TNI. Pertanyaannya, jika masyarakat Rempang bisa dihalau demi oligarki, mengapa tidak bisa disediakan lahan untuk kepentingan rakyat sendiri.?
Apakah ada KKN di antara Menteri dan pejabat daerah dengan pengusaha swasta untuk merampok tanah adat yang sudah dimiliki masyarakat ratusan tahun sebelum ada Indonesia.? KPK perlu mengusut hal ini. Dengan demikian, masalahnya bisa diselesaikan secara terang benderang di Pengadilan.
Presiden 2024, memfungsikan secara optimal Bank Tanah yang ada. Pertama, Bank Tanah memastikan lahan-lahan kosong yang ada di 38 ibu kota provinsi, 416 ibu kota kabupaten, dan 7094 ibu kota kecamatan. Lahan-lahan ini dijadikan kawasan satelit dari ibu kota provinsi, kabupaten, dan kecamatan. Hal ini dimaksudkan agar penghuni kawasan satelit ini tidak sulit menjemput rejeki. Sebab, fasilitas dan infra struktur, sudah tersedia.
Kedua, Bank Tanah di bawah kordinasi Menteri Perumahan, kerjasama dengan Menteri Sosial, agar para gelandangan dan pengemis dipindahkan ke wilayah Kalimantan dan Papua yang masih banyak lahan kosong. Mereka selain disediakan rumah layak huni juga dilatih untuk menjadi petani. Jika sudah memiliki komitmen dan keterampilan sebagai petani, mereka diberi lahan sawah atau kebun secara proporsional. Salah satu syaratnya, lahan tersebut tidak boleh dijual ke siapa pun. Jika mereka tidak berminat atau tiada bakat untuk menjadi petani, instansi terkait harus melakukan pelatihan khusus agar golongan ini memiliki jiwa wirausaha. Setidaknya, mereka memiliki keterampilan tertentu sehingga bisa hidup mandiri.
Rumah yang layak huni sesuai pasal 29 ayat 2, UUD 45 memiliki lima kriteria: (1) ketahanan bangunan; (2) memiliki tiga kamar; (3) akses air minum layak; (4) akses sanitasi layak; dan (5) keamanan bermukim.
Simpulannya, Presiden 2024 – 2029 harus memenuhi hak asasi warganegara dengan menyediakan rumah layak huni bagi para tuna wisma dan gelandangan yang ada di seluruh Indonesia.
Tahap berikut, 2029 – 2034, Presiden harus menyediakan perumahan layak huni bagi penduduk yang berpendapatan rendah. Berarti, presiden telah melaksanakan pilar ketiga dari sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. In syaa Allah !!! (Bandung, 2 Oktober 2013)