Mahkamah Konstitusi “Haram” Membentuk Norma

August 24, 2024

Mahkamah Konstitusi “Haram” Membentuk Norma

Oleh Dr. Ahmad Yani, S.H. M.H.
Ketua Umum Partai Masyumi

Dalam menanggapi putusan Mahkamah konstitusi yang sedang gencar dipersoalkan ini, saya tidak hendak menjadi pendukung maupun menjadi pengkritik. Saya tidak merasa diuntungkan karena itu saya tidak memuji, dan saya juga tidak merasa dirugikan karena itu saya tidak memaki.

Selama ini kita menyaksikan, masyarakat selalu terbelah dalam menerima setiap keputusan yang berkaitan dengan politik. Ini karena ada perasaan suka dan tidak suka. Dan inilah yang merusak car akita melihat keadaan bangsa ini, sehingga sulit objektif.

Bagi saya Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai syarat pencalonan belakangan ini, semakin memperlihatkan “keganjilan” yang cukup serius. Dengan dalih menguji norma, MK justru menciptakan norma yang melampaui produk legislasi DPR dan Pemerintah.

Sebagai Lembaga yang memiliki kewenangan menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) MK memiliki kewenangan yang terbatas. Sekarang ini antara Kewenangan MK sebagai Lembaga penguji dengan DPR dan Presiden sebagai Lembaga produk legislasi sepertinya tidak memiliki batas yang jelas.

Keberadaan MK bukan sebagai pembuat undang-undang (positif legislator). MK adalah penguji undang-undang yang menguji konstitusionalitas suatu produk legislasi, dan hanya berwenangan untuk menyatakan konstitusional atau tidak konstitusional (negative legislator).

Sebagai penguji, kewenangannya terbatas untuk “menidakan” pasal yang bertentangan dengan UUD dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Selebihnya rumusan untuk melakukan perubahan dan perbaikan ada di DPR dan Presiden.

Muncul pertanyaan, kalau DPR dan Presiden tidak mau melakukan perubahan terhadap putusan MK, bagaimana cara mengatasinya? Atau kalau MK menyatakan suatu pasal yang bertentangan dengan UUD dan tidak mempunya kekuatan hukum mengikat, bagaimana kalau terjadi kekosongan hukum? Atau meskipun MK merekomendasik ke DPR dan Presiden untuk merubah norma, Tapi DPR dan Presiden tetap menggunakan norma yang dibatalkan MK, apa yang akan terjadi?

Pertanyaan ini seringkali muncul dalam diskursus mengenai kewenangan MK. Bahkan menjadi dalil bagi MK untuk membenarkan tindakannya dengan merumus norma sendiri dalam putusannya. Sehingga seringkali putusan MK itu dianggap sebagai jalan yang cepat untuk merubah norma.

Hal ini membuat MK menjadi kehilangan wibawa dan kemuliaannya, karena dalam beberapa putusannya sangat kental nuansa politiknya, terutama sekali dalam putusan mengenai Usia Capres dan Cawapres yang pernah membuat heboh seluruh Indonesia. Kehebohan ini terjadi karena MK merasa dirinya sebagai Lembaga yang “paling berkuasa” dalam menentukan konstitusionalitas suatu norma dan hanya mereka yang bisa merumuskan norma yang konstitusional.

Menurut saya, setiap putusan MK memang memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum sebagaimana diatur dalam pasal 47 UU Nomor 24 tahun 2003 tentang MK yang telah diubah beberapa kali. Tetapi norma yang memperoleh kekuatan hukum tetap belum tentu dapat dilaksanakan seketika Ketika di bacakan dalam sidang pleno terbuka untuk umum.

Karena itu, dalam Pasal 49 ada jangka waktu 7 hari yang diberikan kepada MK untuk mengirimkan Salinan putusan agar dapat dilaksanakan oleh para pihak sejak putusan itu dicapkan. Karena itu putusan MK tidak langsung dapat dilaksanakan meskipun sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Bagaimana kalau Para Pihak (Presiden, DPR, Lembaga negara lain yang memiliki keterkaitan dengan norma itu, dan Pemohon) tidak melaksanakan putusan MK? Berkaitan dengan pertanyaan ini, sikap Para Pihak adalah wajib melaksanakan Putusan MK itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Kapan mereka melaksanakannya? Dalam pasal 57 ayat (3) UU MK menyatakan Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan.

Pemuatan dalam berita negara inilah baru dapat dianggap diketahui oleh umum dan baru mempunyai kekuatan perintah, atau bisa dilaksanakan. Apabila masih menggunakan norma yang dinyatakan inkostitusional itu setelah dimuat dalam berita negara, Maka tindakan hukum apapun yang diambil adalah illegal.

Begitu juga dengan Lembaga terkait yang berkaitan dengan norma yang dinyatakan oleh MK inkonstitusional, wajib diperbaiki. Cara seperti inilah yang dilakukan Oleh Hakim MK diawal-awal. Mereka hanya membatalkan saja norma, tetapi mereka memerintahkan kepada DPR dan Presiden untuk segera menyesuaikan dengan keputusan MK.

Namun belakangan ini, sudah menjadi ‘style’ MK menyatakan norma bertentangan dengan UUD, namun mereka sendiri yang merumuskan normanya. Sehingga MK terkesan mengambil peran Presiden dan DPR sebagai Pembuat Undang-Undang.

Putusan MK Bukan Produk Perundang-Undangan

Kesalahan terbesar kita adalah menganggap putusan MK seperti peraturan perundang-undangan. Putusan MK bukanlah aturan perundang-undangan, bukan produk legislasi. Putusan MK hanya dapat dilaksanakan apabila norma yang dibatalkan diperbaiki atau dihapus, sesuai dengan amar putusan.

Putusan MK memang menjadi hukum, namun dalam batas tertentu, putusan MK bukanlah UU yang dapat berlaku setelah diundangkan. Putusan MK tetap harus membutuhkan pelaksanaan dari pihak-pihakyang diberi kewenangan oleh UU untuk mematuhi putusan tersebut.

Berbeda dengan MK, MA dalam kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU, memiliki jangka waktu tertentu berlakunya suatu putusan. Misalnya setelah keputusan dibacakan, baru dianggap diketahui oleh umum setelah dimuat dalam Lembaran Negara. Dan putusan itu paling lambat wajib dilaksanakan atau dijadikan pedoman setelah 90 hari.

Kelembagaan MK dengan menggunakan kekuasaan pengujian undang-undang untuk menandingi DPR dan Presiden memang diluar batas. Putusan MK bukan UU. Karena itu, tidak disebutkan dalam hierarki peraturan perundang-undangan dalam UU Nomor 15 Tahun 2019 Perubahan UU No 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Kerancan ini mestinya harus dipahami oleh para yang mulia hakim MK, sehingga setiap keputusannya hanya boleh menyatakan suatu norma bertentangan dengan UUD dan TIdak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka MK memerintahkan DPR dan Presiden untuk mengaturnya. Begitulah seharusnya cara MK menguji UU, bukan membuat UU.

MK Dibentuk untuk Menguji UU Bukan Membuat UU

Kecenderungan MK menguji UU terhadap UUD sudah memasuki tahap pembuatan UU. Ini bertentangan dengan niat awal pembentukan fungsi judicial review. Kalau kita baca Risalh Sidang Badan Pekerja MPR Tahun 1999-2002, pemberian kewenangan Judicial Review itu bermula dari Mahkamah Agung.

Pada waktu itu para anggota BP MPR memberikan kewenangan kepada Mahkamah Agung untuk secara aktif melakukan uji materiil judicial review atas undang-undang dan peraturan di bawahnya.

Amin Aryoso ketua Rapat PAH III BP MPR 1999, memberikan penjeasan mengenai Pengujian UU yang diberikan kepada MA. Pengujian yang dimaksud adalah pemeriksaan oleh Mahkamah Agung terhadap peraturan perundang-undangan mulai tingkat undang- undang dan di bawahnya bertentangan dengan peraturan lebih tinggi maupun isinya bertentangan dengan nilai keadilan,kebenaran, dan kepatutan, maka Mahkamah Agung dapat menyatakan tidak sah dan memerintahkan lembaga pembuat peraturan itu untuk segera mencabutnya.

Kewenangan judicial review MA tidak dibenarkan mengeluarkan ketentuan yang mengikat umum. Hendy Tjaswadi dari Fraksi TNI/Polri mempertegas bahwa Mahkamah Agung juga tidak dibenarkan mengeluarkan ketentuan yang mengikat umum dan berlaku seperti halnya peraturan perundang-undangan.

Lalu apa yang dimaksud dengan judicial review itu? Prof. Ismail Sunny dan Prof Harun Al-Rasyid Ketika didengar keterangannya dalam sidang PAH BP MPR. “Judicial review Kata Kedua Guru Besar itu, adalah kewenangan daripada hakim untuk menyatakan tidak sah undang- undang, peraturan yang melanggar Undang-Undang Dasar karena Undang-Undang Dasar itu merupakan the supreme law of the land, yang tertinggi.

Lebih lanjut Harun al-Rasyid mengatakan “Kita ini bilang Undang- Undang Dasar tertinggi, tapi kalau ada yang melanggar tidak boleh diuji. Itu tidak benar, itu. Tapi sekarang sudah benarlah bahwa juga undang-undang harus bisa diuji. Judicial review juga mencakup hal di mana tindakan Presiden itu yang melanggar Undang-Undang Dasar bisa dibatalkan oleh hakim. Ini pernah, Presiden Truman itu menasionalisir industri baja dengan alasan keadaan darurat. “Omong kosong,” kata hakim, “nggak ada keadaan darurat, saya batalkan tindakan Presiden.” Nah, ini judicial review”.

Artinya maksud dari judicial review itu hanya sebatas membatalkan norma, bukan merumuskan norma sebagaimana yang dilakukan oleh MK sekarang ini. Hal ini dibicarakan pula oleh Soewoto. Hak menguji (istilahyang digunakan saat itu) di Indonesia Kata Seowanto adalah kewenangan untuk menyatakan peraturan itu hanya tidak sah. Jadi, kita ketahui tidak mempunyai kewenangan untuk menyatakan tidak berlaku.

Lebih lanjut Soewanto menyatakan “hak menguji secara materiil yang ada itu, hanya mengingatkan agar supaya dilaksanakan legislatif review. Jadi, peran pembuat suatu peraturan itulah yang akan mencabut sendiri peraturan yang dibuat.”

Membaca original intens dari perumus UUD NRI 1945, terlihat jelas bahwa Putusan MK yang merumuskan sendiri normanya adalah bertentangan dengan kewenangannya yang diberikan oleh konstitusi.

Menyoal Putusan MK

Putusan Mahkamah konstitusi Nomor 60/2024 ini bagi saya hanya sekedar keputusan setengah hati. Bahkan dalam dugaan tertentu, hanya sebagai putusan akomodatif terhadap partai-partai politik. Seharunya menurut saya MK tidak boleh setengah hati menghapus ambang batas itu. Seluruh angka yang menyangkut ambang batas harus dihapus.

Tetapi tata caranya tetap harus sesuai dengan konstitusi, tidak boleh MK membuat norma sendiri dalam memutuskan suatu Pasal dalam UU.

Menurut hemat saya Penafsiran MK terhadap ketentuan pasal 18 ayat (4) UUD 1945 masih menyimpan banyak persoalan. Penyimpangan itu terlihat dari cara MK menguji Norma yang berkaitan dengan angka. Disatu sisi MK menolak gugatan Presidential threshold dengan alasan open legal policy, namun disisi lain MK melakukan penafsiran mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah.

Apakah karena ada kata “demokratis”nya? Kata itulah yang dijadikan temeng oleh MK untuk menentukan angka-angka. Sebuah penyimpangan yang menurut saya tidak boleh dibiarkan.

Penggunaan ambang batas baik itu pencalonan presiden maupun pencalonan kepala daerah tidak hanya menciderai pemilihan yang umum yang bebas, rahasia, jujur, adil dan demokratis, tetapi juga membuat partai politik semakin kehilangan relevansinya dalam pemilihan kepala daerah.

Seharusnya ketentuan penggunaan ambang batas itu harus dihilangkan dengan catatan bahwa setiap partai politik peserta pemilu dalam pemilihan umum dapat mengusulkan calon. Ketentuan seperti itu akan menciptakan pemilihan yang Luber, jurdil dan demokratis.

Lalu bagaimana dengan calon Independen? setiap calon independent juga tidak boleh terbebani dengan syarat-syarat yang tinggi sehingga menjadi lebih rumit. Akibatnya yang terjadi adalah tukar-menukar data yang berujung pada. Pencatutan nama-nama orang seperti belakangan yang terjadi di Jakarta.

Seharunya putusan MK menghapus ambang batas bagi calon dari partai politik dengan syarat bahwa partai politik itu adalah peserta pemilu. Sehingga tidak ada lagi perebutan partai yang berujung politik uang menjelang pendaftaran, seperti pembiayaan rekomendasi parpol dan semacamnya.

Pilkada ini menjadi mahal dan hanya dapat diakses oleh mereka yang punya modal besar untuk “membayar partai’. Itulah yang menyebabkan beberapa daerah hanya memiliki satu pasangan calon, yang berujung pada pertarungan dengan kotak kosong.

Akibatnya, politik local menjadi politik transaksional. Lebih jauh lagi politik local hanya melahirkan dinasti politik yang tak berujung. Hal itu potensial tidak akan terjadi kalau semua partai peserta pemilu tidakterbebani dengan angka threshold, semua partai peserta pemilu dapat mengsulkan kadernya sendiri.

Semua partai di Indonesia yang ikut pemilu sudah memiliki legalitas sebagaimana yang ditentukan oleh UU. Dimana keanggotaannya sudah terpenuhi menurut peraturan yang ada. Angka ambang batas adalah penilaian yang tidak adil bagi partai politik.

Mengamati kehebohan akibat putusan MK ini, rasa-rasanya perlu ada evaluasi yang menyeluruh dari sistem hukum dan konstitusi kita, sehingga tidak menimbulkan keributan demi keributan yang menguras energi bangsa ini.

Karena itu kita berharap agar setiap Lembaga negara lebih khusus MK, dalam menjalankan kekuasaan tetap dalam koridor konstitusi. Pilihan kita Demokrasi konstitusional, ketaatan pada konstitusi adalah syarat utama bagi penyelenggara negara. ketidaktaatan terhadap konstitusi sama dengan membegal konstitusi