1
KATA PENGANTAR
Masyumi dan Legasi Politik Untuk Republik
Dr. Ahmad Yani, S.H., M.H.
Ketua Umum Partai Masyumi
Dalam sejarah Politik Indonesia, Partai Masyumi memiliki posisi penting dan
menentukan dalam perjalanan politik kebangsaan, lebih khusus lagi politik Islam di
Indonesia. Berdirinya Partai Masyumi tidak terlepas dari akar sejarah Majelis Islam
A’la Indonesia (MIAI) dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi-1943).
Bedasarkan Maklumat wakil Presiden atau Maklumat X tanggal 3 November Tahun
1945, maka Tokoh-tokoh Islam mengadakan Kongres Umat Islam di Muallimin
Muhammadiyah Yogyakarta pada 7-8 November 1945. Hasil Kongres itu menyepakati
berdirinya Partai Politik Islam Indonesia Masyumi dengan diinisiasi oleh organisasi
Islam seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persis, dan Organisasi Lainnya.
Masyumi merupakan kekuatan politik bagi umat Islam dalam percaturan politik
Nasional dan menjadi wadah politik satu-satunya Umat Islam pada masa itu. Sebuah
partai yang telah menjadi ingatan kolektif bangsa ini dengan sikap politik yang
moderat dan berkemajuan. Maka tidak berlebihan kalau saya mengatakan, Masyumi
telah menjadi “telaga keteladanan” politik bagi umat Islam Indonesia. Sebuah Partai
yang berumur lebuh kurang 15 Tahun itu menjadi legenda yang terus dikaji, diteliti
dan dihidupkan dalam diskursus politik, lebih-lebih diskursus akademis.
Buku Partai Islam Dan Pluralisme: Kajian atas Pandangan dan Sikap Politik
Partai Masyumi sebagai satu kajian yang dilakukan oleh Firman Noor dan Ade Wiharso
bukan saja sebagai bentuk legitimasi sejarah bagi partai Masyumi yang dibidani oleh
para ulama dan cendekiawan Islam tetapi juga menjadi sebuah karya akademik untuk
didalami dan dikembangkan kemudian hari agar umat Islam dapat membaca literasi
sejarah atas kegigihan secara ideologis dan pemikiran yang dikembangkan oleh para
tokoh Masyumi di masa pergerakan membangun Indonesia yang sesuai dengan ajaran
Islam dalam bernegara.
Perjalanan Masyumi yang dibangun Masyumi sejak medio 1945-1960 untuk
bangsa Indonesia yang masih memiliki relevansi sangat tinggi disetiap jaman atau
orde pemerintahan meskipun berbagai perubahan, perkembangan dan tantangan
yang dihadapi oleh umat Islam setiap zaman itu berbeda-beda. Sebagai kekuatan
politik terpenting di zamannya, Masyumi menjadi icon perjuangan umat Islam.
terbukti, Masyumi menjadi partai terbesar dengan jumlah 10 juta pengikut yang
tersebar diseluruh wilayah Indonesia, dan menjadi partai egaliter yang diterima
diseluruh Indonesia.
Hasil Pemilihan Umum Tahun 1955 dibawah Kepemimpinan Perdana Menteri
Buhanuddin Harahap (Tokoh Masyumi) disebut sebagai pemilu utrademokrasi. Hasil
Pemilu Tahun 1955 menempatkan Masyumi sebagai Pemenang Pemilu yang tersebar
disepuluh daerah Pemilihan dari 13 daerah Pemilihan di seluruh Indonesia. 2
Kemenangan Masyumi itu memperlihatkan betapa Masyumi menguasai wilayah
Indonesia. Sementara PNI hanya menang di Jawa Tengah dan Nisa Tenggara-Bali dan
NU menang di Jawa Timur. Penerimaan terhadap Masyumi begitu meluas, sehingga
disebut sebagai partai politik yang paling plural dan diterima disemua daerah.
Sebagai kekuatan Politik Islam, Masyumi menyadari Indonesia dibangun atas
rantai keterkaitan gugus entitas kultural yang plural dalam etnis, ras, agama, dan
golongan. Sejak awal, pluralisme telah disadari oleh para tokoh Masyumi (yang juga
pendiri republik). Pluralitas tidak saja sebagai hak dari tiap-tiap orang yang mengaku
menjadi bangsa Indonesia, lebih dari itu, dalam sejarahnya tiap-tiap bagian bangsa
ini telah berkorban, memberi, dan berperan dalam perjuangan membentuk Indonesia.
Kesadaran itu pula yang muncul Ketika tokoh-tokoh Masyumi (Majelis Syuro
Muslimin Indonesia-Masyumi (1943)) Ketika hendak membahasa falsafah dasar dan
Konstitusi Indonesia Merdeka. Diantaranya ada Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Wahid
Hasyim, H. Agus Salim, Kasman Singodimejo, Sukiman Wirjosanjojo, K.H. Kahar
Muzakkir, Abikoesno Tjokrosoejoso dan lainnya. Para tokoh Masyumi ini Bersama
dengan Anggota Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)
bersepakat untuk membentuk sebuah negara Republik Indonesia Merdeka “buat
semua golongan, agama, etnis, dan suku” yang keberagamannya sangat kompleks.
Terbukti, Ketika hendak merumuskan faslafah dasar negara (filosofiche
groundslaag) Indonesia Merdeka, para tokoh-tokoh Islam tidak hendak memaksakan
diri untuk memajukan konsep Negara Islam. Meskipun dalam sidang BPUPKI ada dua
golongan besar yaitu Nasionalis Sekuler dan Nasionalis Islam yang masing-masing
memiliki perbedaan pandangan mengenai bentuk dan dasar negara, tetapi mereka
tetap berupaya untuk mencapai titik temu (kalimatun sawa’), tidak memaksakan
pendapat dan kehendaknya masing-masing.
Setelah perdebatan yang cukup a lot, para pendiri republik ini bersepakat untuk
membentuk negara republik dengan sistem pemerintahan presidensil, tidak
mengadopsi pemerintahan sekuler seperti Kemal attaturk di Turki, maupun sistem
kekhalifahan dalam Islam, atau bentuk negara Islam. Ketika kesepakatan mengenai
falsafah Negara tercapai pada tanggal 22 Juni 1945, golongan Islam memilih kalimat
yang sangat khusus, yaitu “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam
bagi pemeluk-pemelunya”. Kalimat ini merupakan kewajiban internal bagi umat Islam
dalam negara Republik Indonesia untuk menegakkan syariat Islam tanpa harus
memaksa umat-umat lain yang hidup dalam negara merdeka.
Piagam Jakarta (Jakarta Charter) bukan dokumen negara Islam, tapi lebih pada
penegasan menengai penegakan syariat Islam bagi umat Islam dengan tetap
berpegang pada prinsip pluralism. Maka Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
umat Islam itu diikuti dengan kalimat “berdasarkan kemanusiaan yang adil dan
beradap, persatuan Indonesia…” ini menggambarkan betapa syariat Islam itu
dijalankan dengan prinsip kemanusiaan, keadilan, persatuan dan permusyawaratan.
Menariknya Piagam Jakarta diterima oleh seluruh Anggota BPUPKI dan PPKI,
baik Golongan Nasionalis Sekuler Maupun Golongan Nasionalis Islam. Bung Karno 3
sendiri adalah pembela utama Piagam Jakarta, saat Dr. Johanes Latuharhari
mempersoalkan dokumen tersebut. Bagi Bung Karno, Piagam Jakarta adalah titik temu
atas semua golongan dalam bangsa Indonesia. Kata Bung Karno “… Panitia Ketjil
penjelidik usul-usul berkejakinan bahwa inilah préambule jang bisa menghubungkan,
mempersatukan segenap aliran jang ada dikalangan anggota-anggota Dokuritu Zyunbi
Tyoosakai”.
Artinya, Piagam Jakarta adalah dokumen pluralism, bukan dokumen negara
Islam, bukan pula dokumen negara sekuler, tetapi dokumen Negara Indonesia
Merdeka, dimana didalamnya ada golongan Islam, golongan Sekuler, golongan
Kristen, golongan Hindu dan golongan-golongan lainnya.
Meskipun telah disepakati dan diterima oleh semua golongan, tapi Ketika
hendak diubah, Golongan Islam juga tidak mati-matian mempertahankan Piagam itu
sebagai falsafah bernegara. Pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah pembacaan
Proklamasi Indonesia Merdeka, perundingan kedua untuk membahas Piagam Jakarta
dilakukan. Pada hari itulah Golongan Islam merelakan kalimat “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti dengan
“Ketuhanan yang Maha Esa”. Sejak itu pula Piagam Jakarta berubah menjadi
Pancasila. Golongan Islam pun menerima perubahan itu.
Piagam Jakarta menjadi dokumen sejarah yang menuai banyak polemic
dikalangan tokoh Islam dan Tokoh Sekuler. Sejarah lika-liku Piagam Jakarta Kembali
lagi dalam Sidang Konstituante tahun 1955-1959. Dalam meskipun dokumen itu masih
menimbulkan polemic, namun pada saat pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden 5
juli 1959 Piagam Jakarta diakui sebagai dokumen historis dan dokumen yuridis.
Sebagaiman tertulis dalam Biografi M. Natsir (Lukman Hakiem, 2019) Ketika
dukungan terhadap Pancasila dan Islam tidak memperoleh dukungan yang cukup,
para anggota Konstituante bersepakat untuk kembali Ke UUD 1945. Pihak Islam
melalui K.H. Masjkur menghendaki Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dijadikan Pembukaan,
dengan pihak Pancasila menghendaki Pembukaan yang disahkan oleh PPKI 18
Agustus 1945. Ketika divoting, tidak ada yang mampu mencapai suara mayoritas.
Sehubung dengan rencana pemerintah kembali ke UUD 1945, sembilan belas
anggota parlemen mengajukan pertanyaan kepada Perdana Menteri Djuanda. Di
antara 19 anggota parlemen itu, Anwar Hadjono (Masyumi) dan Ahmad Sjaichu (NU)
menekankan pernyataan tertulis tentang pengakuan terhadap adanya piagam Jakarta
22 Juni 1945. Anwar Harjono Anggota Konstituante dari Masyumi mempertanyakan
beberapa hal mengenai rencana keluarnya Dekrit Presiden. “Apakah yang dimaksud
dalam Putusan Dewan Menteri tentang pengakuan Piagam Jakarta, apakah hanya
sekadar pengakuan historis hanya dipergunakan secara insidentil atau pengakuan itu
mempunya kekuatan UUD?”
Pertanyaan itu dijawab secara tertulis oleh Perdana Menteri Djuanda Pada
tanggal 25 Maret 1959. “Dengan kembali ke UUD 1945 diharapkan agar kita dapat
memulihkan potensi nasional kita, setidak-tidaknya memperkuatnya jika dibandingkan
dengan masa sesudah akhir 1949. Dengan memulihkan, mendekati hasrat golongan-4
golongan Islam, pemerintah mengakui pula adanya Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni
1945 yang mendahului pembentukan UUD 1945”. Walaupun Piagam Jakarta tidak
merupakan bagian dari UUD 1945, di antaranya melihat tanggalnya 22 Juni 1945,
tetapi naskah itu sebagai dokumen historis besar, artinya bagi perjuangan bangsa
Indonesia dan bagi bahan penyusunanan UUD 1945 yang menjadi bagian daripada
Konstitusi Proklamasi.”
Kemudian Ahmad Sjaichu mengajukan pertanyaan: “Apakah pengakuan
Piagam Jakarta berarti pengakuan sebagai dokumen Historis saja ataukah mempunyai
akibat hukum, yaitu perkataan ‘Ketuhanan’ dalam Mukaddimah UUD 1945 berarti
‘Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam menjalankan syariatnya’ sehingga atas
dasar itu bisa diciptakan perundang-undangan yang bisa disesuaikan dengan syariat
Islam bagi pemeluknya?”
Perdana Menteri Djuanda Menjawab: “Pengakuan adanya PIagam Jakarta
sebagai dokumen historis, bagi pemerintah berarti pengakuan pula akan pengaruhnya
terhadap UUD 1945. Jadi pengaruhnya termaksud tidak mengenai Pembukaan UUD
1945 saja, tetapi juga mengenai pasal 29 UUD 1945, pasal mana selanjutnya menjadi
dasar bagi kehidupsn hukum di bidang keagamaan… Dengan demikian, perkataan
‘Ketuhanan’ dalam Pembukaan UUD 1945 diberikan arti ‘Ketuhanan dengan kewajiban
bagi umat Islam untuk menjalankan syariatnya, sehingga atas dasar itu dapat
diciptakan perundang-undangan bagi pemeluk agama Islam yang dapat disesuaikan
dengan Syariat Islam’,”.
Dari pertanyaan para anggota parlemen dan jawaban dari pemerintah pada
saat itu, dapat kita katakan bahwa Piagam Jakarta adalah dokumen historis dan
dokumen yuridis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi kembali ke UUD
1945 adalah kembali kepada piagam Jakarta sebagai dokumen hukum yang otentik.
Sebagai jawaban atas tuntutan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, maka
pemerintah membentuk Kementerian Agama sebagai bagian dari badan eksekutif
yang pada dasarnya untuk mengakomodasi kepentingan umat Islam. Kemudian
membentuk Peradilan Agama sebagai badan yudikatif bagi umat Islam. Selain badan
badan itu, negara juga membuat peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang syariat Islam. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; Undang-Undang Nomor
50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama; Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Kemudian Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat; Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah; Undang
Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren; Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun
1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Transformasi syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara berjalan
secara konsisten. Bahkan baru-baru ini pemerintah Indonesia membentuk Masyarakat
Ekonomi Syariah (MES) untuk menjalankan roda ekonomi berbasis syariat Islam.5
Karena itu, syariat Islam sudah menjadi sumber hukum dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara melalui transformasi hukum yang dinamis.
Dengan peristiwa tersebut tergambar jelas bagaimana tokoh-tokoh Islam selalu
menghormati dan mengakomodir perbedaan dengan sikap toleransi tidak mengambil
jalan diluar konstitusi untuk menyelesaikan tuntutan mereka. Egalitarianism yang
terbangun dikalangan tokoh Islam ini menjadi keteladanan berpolitik dengan cara
cara yang beradab.
Semangat egalitarian yang tumbuh dikalangan tokoh Islam (khususnya Tokoh
Masyumi) telah hidup dalam alam politik Indonesia. Semangat kerja-sama sebagai
sebuah bangsa untuk mewujudkan cita-cita nasional dengan semua entitas politik ,
sehingga setelah menjadi Partai Politik pada Tahun 1945, Masyumi menegakkan
prinsip-prinsip egalitarian dan inklusifitas dalam memperjuangkan tujuan dan cita
citanya, tanpa membeda-bedakan golongan, agama, suku, dan etnis dalam Negara
Indonesia.
Sikap menghargai pluralisme itu terefleksi, di antaranya dari Anggaran Dasar
Masyumi yang menyebutkan komitmen “Bekerja sama dengan lain-lain golongan
dalam lapangan yang bersamaan atas dasar harga-menghargai” (AD Masjumi, Ayat
(3), (4) Pasal IV).
Masyumi Mempertahankan Republik
Situasi Politik setelah Proklamasi Kemedekaan dalam ancaman agrasi militer
(Agresi Militer Belanda I (1947)) dan pemberontakan dari dalam dilakukan oleh Muso
di Madiun dan Amir Syarifuddin di Banten pada 18 September 1948. Pemberontakan
Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan mendeklarasikan berdirinya Republik Soviet
Indonesia ditantang oleh Masyumi. Masyumi tampil sebagai kekuatan utama
menghadapi pemberontakan itu.
Beberapa bulan setelah Pemberontakan PKI, Pada 19 Desember 1948 Belanda
melakukan Agresi Militer II dan berhasil menguasai Ibukota Negara Yogyakarta dan
nyaris mengakhiri riwayat Republik Indonesia yang baru berumur lebih kurang 3 tahun
itu. Praktis kekuasaan pemerintah lumpuh, para pemimpin bangsa seperti Soekarno,
Mohammad Hatta, Sutan Syahrir dan Haji Agus Salim ditangkap oleh Belanda di Istana
Negara. Belanda berniat menghancurkan republik dan menghapus TNI untuk
selamanya.
Jenderal Soedirman menolak berunding dengan Belanda karena telah ingkar
janji dan mengajak Bung Karno untuk melakukan Perang Gerilya. Soekarno Menolak
ajakan itu dan tetap bertahan di Yogja untuk menghadapi Belanda lewat perundingan.
Setelah Belanda Menguasai Ibukota, Presiden dan Wakil Presiden melakukan rapat
kilat dan mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara yang masih berada di
Bukittinggi Sumatera Barat untuk membentuk pemerintahan Darurat. Surat yang tidak
pernah diterima Syafruddin itu, dikirim pula ke A.A Maramis dan L.N Palaar di Delhi
untuk membentuk Exil Government apabila ikhtiar Syafruddin tidak berhasil.6
Tanpa mengetahui adanya mandat dari Presiden Soekarno dan Wakil Presiden
Moh. Hatta yang dikirim kepadanya, pada sore hari tanggal 19 Desember 1948,
bersama dengan Komisaris Pemerintah Pusat untuk Daerah Sumatera Mr. Teungku
Muhammad Hasan, bersepakat untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik
Indonesia (PDRI), yang kemudian diumumkan di Halaban, sebuah desa di pedalaman
Sumatera Barat pada tanggal 22 Desember 1948.
Syafruddin Prawiranegara adalah Ketua (Presiden) PDRI yang memimpin
jalannya perang Gerilya itu. Ketika Perang gerilya sedang gencar, beberapa Negara
mengecam tindakan Belanda, dan memaksa mereka untuk melakukan perundingan.
India bahkan mengadakan konferensi Inter-Asia untuk Indonesia. Tapi dengan Siapa
Belanda berunding? Dengan PDRI yang menyatakan diri sebagai Pemerintah RI yang
sah? Lalu dimana mereka?
Jalan pintas yang dilalui adalah mendekati Presiden dan Wakil Presiden, serta
beberapa menteri yang ditahan. Akhirnya Presiden dan Wakil Presiden, menyetujui
untuk melakukan perundingan, ketika itu pula “Pelanggaran Konstitusional” tak
terhindarkan. “Bukankah PDRI yang berkuasa walaupun sifatnya Darurat dan
sementara?”. Kata Taufik Abdullah. (Syafruddin Prawiranegara, Pemimpin Bangsa
dalam Pusaran Sejarah, 2011)
Untuk mengutus delegasi maka diangkatlah Mohamad Roem (Tokoh Masyumi)
sebagai ketua Delegasi Indonesia. Tetapi sebuah “insiden” tak terhindarkan. Ketika
seorang kurir menyampaikan Surat pengangkatan Presiden Soekarno kepada Sutan
Sjahrir sebagai “Penasehat delegasi Indonesia”, Sjahrir menolak dengan nada marah
berkata: “Hanya Sjafruddin yang berhak mengangkat saya”. Betapapun merasa
diberlakukan tidak adil, Sjafruddin dan Soedirman adalah pemimpin yang berjiwa
besar, mereka siap menerima segalanya demi keutuhan Republik Indonesia.
Pasalnya, sejak Agresi Belanda II pada 19 Desember 1948, pemerintah pusat
melalui Presiden Soekarno memandatkan Menteri Pertahanan Syafruddin
Prawiranegara membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Jadi,
seharusnya Syafruddin-lah yang berhak disebut perwakilan sah Indonesia.
Bahkan di internal Partai Masyumi terjadi silang pendapat antara Mohammad
Roem dan M. Natsir, meskipun keduanya terlibat langsung dalam proses perundingan
dan rekan separtai. Natsir mengkritik keabsahan Roem selaku ketua delegasi RI.
Menurutnya, mandat dari Sukarno dan Hatta sebetulnya sudah tidak berfungsi lagi
karena keduanya berada dalam tahanan Belanda. Natsir juga berpendapat seharusnya
Roem membicarakan poin-poin kesepakatan terlebih dulu dengan PDRI. Mestika Zed
dalam buku Pemerintah Darurat Republik Indonesia (1997) menyebut bahwa Natsir
memang lebih condong ke kubu PDRI pimpinan Syafruddin Prawiranegara. PDRI pun
menyatakan ketidaksepakatan serupa.
Meskipun Syafruddin dan Soedirman menilak statemen Roem-Roijen dan tidak
menerima jalannya perundingan Roem-Roijen, mereka tetap Kembali ke Yogyakarta.
Pada penyerahan kembali mandate sebagai Ketua PDRI, T.B. Simatupan berkisah:
“setelah Yogyakarta kembali – sebuah ungkapan yang menyatakan Yogyakarta 7
kembali kepangkuan RI – maka kini, Yogyakarta menanti kedatangan Soedirman dan
Sjafruddin” tulis Simatupang. Kedatangan keduannya adalah sangat krusial, bukan
saja sebagai kelanjutan perjuangan, tetapi juga sebagai keutuhan NKRI. Karena
mereka-lah yang memimpin perjuangan ketika Soekarno dan Hatta ditawan.
Walaupun kembalinya Yogyakarta, tapi hasil perundingannya secara konstitusional
tidak sah. Sjafruddin dan Soedirman bahkan tidak sepakat dengan “Statemen Roem
Roijen” tetapi juga ide perundingan itu sendiri. Bagi Sjafruddin perundingan itu cacat
secara hukum, karena perundingan atas wibawa Soekarno-Hatta bukan atas legitimasi
kekuasaan yang sah.
Syafruddin dan Soedirman lebih memilih nilai yang lebih tinggi untuk bangsa
dan Negara meski diperlakukan tidak adil. Maka pada tanggal 13 Juli 1949 Sjafruddin
sebagai ketua PDRI menyerahkan mandat kepada Soekarno- Hatta. Pada waktu
penyerahan mandat itu, Sjafruddin mengatakan: “PDRI tidak mempunyai pendapat
tentang pernyataan ‘Roem-Roijen’, tapi segala akibat yang ditimbulkannya kita
tanggung bersama”.
Setelah Agresi Militer Belanda II dan Perundingan Roem Roijen, maka
disepakati diadakan konferensi Meja Bundar di Denhaag, Belanda. Hasil dari
konferensi yang dirancang sejak 23 Agustus hingga 2 November 1949 itu
menghasilkan kesepakatan dengan membentuk negara Republik Indonesia Serikat
(RIS). Meskipun bentuknya hanya Negara serikat, namun untuk pertama kalinya
Belanda mengakui dan menyerahkan kedaulatan Indonesia secara penuh Pada 27
Desember 1949.
Tetapi hasil dari Konferensi Meja Bundar telah melucuti persatuan indonesia.
Karena hasil dari konferensi tersebut memutuskan bentuk negara Indonesia menjadi
negara federal, bukan negara kesatuan. Negara Indonesia terpecah-belah. Indonesia
menjadi Negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Setidaknya ada 16 Negara Bagian
yang terbentuk di seluruh Wilayah Indonesia. Terbentuknya RIS merupakan
keberhasilan dari politik adu domba Belanda, untuk menguasai kembali Indonesia.
Jelas itu merupakan ancaman yang sangat serius bagi keutuhan Republik Indonesia
ketika itu.
RIS adalah hasil Kompromi antara Pemerintah Indonesia dengan Kerajaan
Belanda. Kompromi tersebut jelas merugikan Indonesia, dan memecah belah Negara
yang baru merdeka itu. Apalagi dengan adanya Negara RIS justru mengesampingkan
Negara Republik Indonesia yang di proklamasi oleh Soekarno dan Hatta pada Jum’at
17 Agustus 1945. Negara Republik Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945
itu adalah bagian dari Negara RIS yang pejabat Presidennya Mr. Assaat yang berpusat
di Yogyakarta.
Artinya, menghilangkan Republik yang berdiri 17 Agustus itu, berarti Belanda
ingin memotong garis sejarah perjuangan Republik Indonesia hingga menjadi Negara
merdeka. Akibatnya justru lebih berbahaya, karena Negara Republik hanya bertahan
di Jogja dengan wilayah yang sangat kecil, sementara diberbagai daerah telah
terbentuk Negara Serikat yang sangat luas dan besar wilayahnya. 8
Keadaan demikian membuat Orang-orang menunggu sikap seperti apa yang
harus diambil oleh Para Pemimpin RIS dan pemimpin Negara bagian untuk mengakhiri
perpecahan Republik itu. Tidak mudah untuk menyatukan Negara- negara bagian
yang telah dibentuk oleh Belanda, karena secara de facto Belanda masih bebas untuk
ikut campur dalam urusan politik Indonesia. Dalam kondisi demikian, tentu pikiran
besar dan pikiran cemerlang untuk bisa keluar dari keadaan bangsa yang sedang
dipecahkan oleh politik devide et empire Belanda.
Dalam keadaan yang serba sulit itu, Mohammad Natsir muncul dengan sebuah
gagasan yang sangat cemerlang untuk memecahkan kebuntuan itu. Terdapat sebuah
metode untuk menyatukan kembali Republik yang sudah pecah itu. Natsir
menawarkan satu Pernyataan Integral untuk menyatukan kembali Negara-negara
bagian. Apalagi banyak Negara-negara bagian ingin meleburkan diri Pada republic.
Konsep untuk menyatukan republik inilah yang dikenal dengan Mosi Integral
Natsir. Natsir bertekad untuk mengakhiri perpecahan dan mempertahankan Keutuhan
Republik yang sudah bubar itu. Kemudian Natsir melakukan perundingan,
mengadakan pertemuan termasuk berunding dengan M. Assaat di Yogyakarta untuk
membicarakan pemulihan kembali Republik Indonesia.
Setelah berunding dengan pemimpin negara bagian, Natsir mulai melakukan
lobi-lobi politik di semua fraksi di parlemen. Akhirnya pada tanggal 3 April 1950 M.
Natsir menyampaikan pidato yang bersejarah itu dalam Sidang Parlemen RIS, dengan
menyampaikan gagasan, semua negara bagian, bersama-sama mengajukan diri untuk
mendirikan negara kesatuan melalui prosedur parlementer. Semua Fraksi sepakat,
termasuk Fraksi PKI pun ikut menyepakati mosi tersebut. Mosi Integral itu diterima
dengan suara bulat oleh Semua Fraksi di Parlemen RIS.
Perdana Menteri RIS Mohammad Hatta menyambut dengan gembira Mosi
tersebut dan mengatakan “Mosi Integral Natsir kami jadikan sebagai dasar untuk
penyelesaian persoalan-persoalan yang sedang dihadapi”.
Dengan mosi integral dan dukungan semua fraksi di Parlemen RIS maka
pulihlah NKRI secara demokratis dan terhormat pada Tahun 1950. Maka benarlah apa
yang dikatakan oleh Dr. Mohammad Noer bahwa Indonesia Memiliki dua Proklamasi,
yaitu Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 dan Proklamasi NKRI tanggal 17 Agustus
Proklamasi 1950 adalah proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), karena dalam Pernyataannya dikatakan “pembubaran 16 Negara Bagian yang
tergabung dalam RIS, termasuk Negara Republik Indonesia Yogyakarta (yang
diproklamasikan 17 Agustus 1945), dan meleburkan diri dalam sebuah negara yang
bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tidak mengherankan Ketika Asa Bafagih, wartawan harian Merdeka, bertanya
kepada Bung Karno mengenai siapa yang akan dia tunjuk menjadi Perdana Menteri
kabinet pertama di era Negara Kesatuan? Tanpa ragu, Bung Karno menjawab: “Siapa
lagi kalau bukan Natsir dari Masyumi. Mereka punya konsepsi untuk menyelesaikan
masalah bangsa menurut konstitusi.”9
Mungkin ada yang bertanya, kenapa Syafruddin Prawiranegara, M.Natsir dan
tokoh-tokoh Masyumi, Tokoh PSI dan lainnya terlibat dalam Gerakan Membentuk
Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)? Bukankah mereka adalah
pejuang yang mempertahankan Republik Indonesia, baik dari ancaman komunis,
maupun ancaman Belanda?
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari peristiwa sejarah yang terjadi pada Tahun
1955-1960, dimana situasi politik pasca Pemilihan umum Tahun 1955 mengalami
Gejolak yang sangat dahsyat setelah Soekarno menunjuk Ali Sostroamijojo sebagai
Formatur Kabinet. Sejak awal Kabinet Ali banyak menemui kesulitan karena perbedaan
pandangannya dengan presiden dalam menjalankan programnya. Kemajuan
kemajuan yang dicapai terdesak ke belakang terutama terjadinya pemogokan oleh
Serikat Buruh yang dimotori oleh PKI yang makin leluasa dibawah pelindungan
Soekarno, sehingga rencana peningkatan produksi menjadi lumpuh.
Pembangunan daerah terbengkalai, sehingga menimbulkan pergolakan dan
protes dimana-mana. Harga kebutuhan pokok di masa Kabinet Burhanuddin Harahap
yang relative stabil, meningkat semakin tajam. Gerakan anti-Cina menyebar di
berbagai kota dan menimbulkan beberapa insiden kekerasan. Keamanan yang sudah
mantap terutama saat-saat pemilihan umum dibawah Perdana Menteri Buhanuddin
Harahap (tokoh Masyumi), menjadi kacau lagi. Terjadi pengungsian besar-besaran
diberbagai daerah, khususnya di Sumatera, Sulawesi, Aceh dan Jawa Barat.
Kesulitan yang paling serius dihadapi oleh Kabinet Ali adalah terjadinya
penyelundupan berskala besar diberbagai daerah-daerah, yang memiliki latar
belakang politik. Kolonel J.F. Warow dan Letnan Kolonel Andi Mattalata di Sulawesi,
dan Kolonel M. Simbolon di Sumatera Utara, menyatakan secara terang-terangan
berdiri di belakang penyelundupan-penyelundupan tersebut. Dan alasan mereka jelas,
bahwa dengan sikap inilah daerah- daerah diperhatikan. Dimana gaji pegawai, prajurit
dan membiayai operasi militer.
Selain itu kesulitan yang lain yang dihadapi oleh Kabinet Ali adalah timbulnya
kecaman-kecaman keras terhadap berbagai korupsi yang dilakukan oleh pejabat
pemerintah. Kecaman itu tidak saja muncul dari Koran PKI, tetapi juga Koran-koran
satelit PSI, terutama Indonesia Raya pimpinan Muchtar Lubis. Koran terakhir ini
dengan keras menyebutkan adanya korupsi yang dilakukan oleh seorang keturunan
Cina bernama Lie Tok Hay, yang menjabat pimpinan disebuh percetakan Negara.
Kasus Lie ini melibatkan Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani. Sehingga pada
tanggal 13 Agustus 1956 terjadilah penangkapan atas diri Roeslan ketika hendak ingin
pergi ke London untuk menghadiri Konferensi Terusan Suez oleh Sejumlah Militer atas
perintah Deputi KSAD Kolonel Zulkifli Lubis. Namun akhirnya Roeslan di lepas lagi atas
perintah PM Ali yang merangkap menteri pertahanan. Kasus penangkapan diri Roeslan
menyebabkan merosotnya wibawa Kabinet, walaupun Muhammad Roem
mengclearkan keterlibatan Roeslan dalam kasus tersebut. Namun segera Muchtar
Lubis menyiapkan foto copy bukti keterlibatan Roeslan dalam Kasus Lie Tok Hay, 10
Kabinet pun menjadi kehilangan muka. Akhir November 1956, setelah delapan bulan
memerintah, pamor Kabinet Ali menurun tajam.
Keadaan ini mendorong daerah-daerah, untuk lebih memperhebat tekanan
tekanan kepada, supaya pusat memberikan perhatian khusus kepada daerah. Pada
tanggal 1 Desember 1956 Wakil Presiden Moh. Hatta mengundurkan diri karena
perbedaan pandangan dengan Soekarno yang lebih mesra dengan komunis.
Pengunduran diri Hatta ini melipatgandakan ketidakpuasan daerah-daerah kepada
pusat. Banyak orang di luar Jawa, terutama Sumatera menganggap sosok Hatta
sebagai wakil mereka. Aksi Saling tuduh menuduh dalam diri militer tentang “antek
jawa” pun muncul seperti tuduhan Simbolon dan Zulkifli Lubis kepada Nasution yang
menjadi “antek” Soekarno dan Ali.
Di tengah pertentangan politik yang tajam antara pusat dan daerah-daerah, di
Padang pada tanggal 20- 24 November 1956, diadakanlah reuni perwira-perwira,
bekas devisi Banten yang dibubarkan oleh Nasution. 746 orang diberitakan hadir
dalam reuni itu, termasuk Letnan Kolonel Barlian, Komandan Distrik Militer Sumatera
Selatan. Hasilnya ialah terbentuknya Dewan Banteng yang diketuai oleh Kolonel
Ahmad Husen, Komandan Resimen Militer Sumatera Tengah. Dalam bulan November
itu pula Kolonel Zulkifli Lubis mendesak Simbolon untuk memutuskan hubungan
dengan pemerintah pusat, bila tuntutan daerah tidak digubris oleh pusat.
Tanggal 20 Desember 1956, Ahmad Husen mengambil alih pemerintah Sipil di
Sumatera Tengah dari Ruslan Muljohardjo. Simbolon melakukan tindakan serupa di
Sumatera Utara, ia mengambil alih kekuasaan sipil dan menyatakan keadaan darurat
berlaku diseluruh wilayahnya. Dua hari kemudian Barlian melakukan control politis
terhadap pemerintah sipil di Sumatera Selatan. Pada tanggal 15 Januari 1957, Barlian
dan Alamsjah, membentuk Dewan Garuda, yang praksis berkuasa di Sumatera
Selatan.
Tindakan serupa juga terjadi di Sulawesi. Tokoh- tokoh Militer seperti Vantje
Sumual, D. Somba, Saleh Lahade dan lain-lain segera membentuk dewan-dewan
serupa di Sulawesi. Tanggal 2 Maret 1957, Saleh Lahade membacakan Piagam
Perjuangan Semesta, yang mengandung tuntutan kepada pusat, dan kejadian ini
adalah awal berdirinya Permesta.
Tanggal 9 Januari 1957, Masyumi menarik menterinya dari kebinet, karena
perbedaan pandangan mengenai penanganan kesulitan yang dihadapi oleh Negara.
Dari statemen 12 point yang ditandatangani oleh Mohammad Natsir dan M. Yunan
Nasution, dapat diketahui dengan jelas bahwa sebab pokok penarikan mereka dari
koalisi adalah karena Ali dan Nasution telah merencanakan untuk menghadapi
gerakan-gerakan daerah dengan kekerasan militer, sedangkan Masyumi
menginginkan agar masalah itu diselesaikan secara damai dan mengembalikan dwi
tunggal Soekarno-Hatta.
Dalam kondisi yang demikian Kabinet Ali kedua tidak berdaya lagi dengan
mundurnya Masyumi dari koalisi, yang akhirnya tenggelam dalam hiruk biru konsepsi.
Pada tanggal 14 Maret 1957 Ali mengembalikan mandar kepada Soekarno dan 11
diterima dengan baik. Pada saat pengembalian mandat itu sejumlah pemimpin militer
yang hadir untuk mendesak Ali supaya menandatangani pernyataan keadaan bahaya
(SOB). Dengan berat hati Ali menandatangani. Keabsahan Penyataan SOB ini
mengundang kritik yang tak berkesudahan. Natsir mempertanyakan nya, karena tidak
bisa seorang Perdana menteri Demisioner menandatangani penyataan kondisi Darurat
Negara. Tetapi orang seperti Soekarno, Nasution, dan Suryadharma mengerti betul
apa yang dimaksud SOB itu. Berarti kebebasan politik dan pers di bungkam, rapat
umum dilarang, dalam keadaan yang demikian tersedialah jalan mulus bagi Soekarno
dengan dukungan penuh pihak militer untuk menjalankan kemauannya dalam
konsepsi itu. Dan ternyata memang menurut Yusril Inza Mahendra bahwa dengan
konsepsi presiden itu menjanjikan golongan fungsionaris masuk dalam Kabinet
maupun parlemen. Inilah titik awal keterlibatan militer ke politik secara langsung
dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia.
Di bawah gejolak politik yang tertekan akibat SOB, Soekarno dalam bulan Maret
itu memanggil tokoh-tokoh di Istana, sekitar 70 orang hadir, duduk berhadapan
dengan Soekarno, yang didampingi oleh Petinggi-petinggi militer. Semua yang hadir
diberi amplop untuk menulis satu kata setuju atau tidak duduk di Kabinet gotong
royong. Semua proses itu berlangsung sepuluh menit. Hanya beberapa partai politik
yang terang-terangan tidak ingin duduk bersama dengan PKI dalam Kabinet gotong
royong, diantaranya Muhammada Natsir (Ketua Masyumi), dan Kasimo (ketua Partai
Katolik). NU yang semula menolak konsepsi, malam itu juga melalui Idham Chalid
menyatakan setuju ikut Kabinet Gotong Royong.
Lalu presiden soekarno menunjuk Ketua umum PNI Suworjo, untuk menyusun
Kabinet berikutnya, suatu penunjukan yang semula-mula ditolak oleh DPP PNI, tapi
akhirnya diterima juga. Dua kali Suwirjo menyusun formatur namun gagal. Alasanya
sederhana, karena partai- partai agama (Masyumi dan Partai Katolik) menolak untuk
menyusun Kabinet atas selera Soekarno. Akhirnya Soekarno kehilangan kasabaran lalu
membentuk Kabinet atau yang disebut “Zaken Kabinet Darurat Ekstra Parlementer”,
yaitu presiden Republik Indonesia menunjuk warga Negara Indonesia, Dr. Ir.
Soekarno sebagai formatur. Sesuatu tindakan yang mengherankan ditinjau dari segi
tatanegara Indonesia.
Dalam kondisi politik yang memanas tanggal 7-8 September 1957, dibawah
situasi politik nasional yang semakin memanas, di Sungai Dareh di adakanlah
pertemuan tokoh pergolakan daerah. Semua petinggi militer dari Sumatera dan
Sulawesi, yang akhirnya melahirkan Piagam Palembang yang berisi enam point yang
sangat penting diantaranya, dipulihkan nya dwitunggal Soekarno Hatta, Pergantian
pimpinan TNI, Desentralisasi, pembentukan senat, perbaikan sistem bernegara.
Di Padang diadakanlah pertemuan tokoh-tokoh daerah pada tanggal 10
Februari 1958 atas prakarsa Kolonel Dahlan Djambek, yang diikuti oleh tokoh-tokoh
militer di Sumatera dan tokoh nasional yang ke Padang untuk mengamankan diri. Hasil
pertemuan itu melahirkan Dewan Perjuangan yang beranggotakan 16 orang yang
terdiri atas 11 tokoh militer, dan 5 orang tokoh sipil. Dengan terbentuknya dewan 12
Perjuangan ini mereka mengeluarkan ultimatum kepada pusat untuk segera
mengindahkan tuntutan Dewan Perjuangan itu lima hari setelah dibacakan oleh Ketua
Dewan Perjuangan Kolonel Ahmad Husein melalui RRI Padang. Ultimatum yang intinya
adalah agar dalam waktu lima hari Perdana Menteri Djuanda mengembalikan mandate
kepada Presiden, dan dibentuk kabinet baru dibawah Hatta dan Hamengkubuwono
IX, sebagai tokoh yang dapat diterima oleh semua pihak. Kemudian meminta kepada
Presiden Soekarno Untuk menaati Konstitusi baik dalam kata maupun perbuatan.
Apabila tuntutan itu tidak diindahkan maka mereka berhak untuk tidak taat kepada
Presiden Soekarno, dan itu menjadi tanggungjawab Soekarno sendiri.
Setelah lewat lima hari maka berdirilah Pemerintah Revolusioner Republik
Indonesia, dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menterinya. Natsir
sendiri tidak duduk dalam Kabinet. Di Sulawesi Utara berdiri Dewan Manguni yang
dipelopori oleh Perwira militer yang mayoritas beragama Kristen untuk menyokong
berdirinya PRRI. Maka disebutlah sebagai PRRI/Permesta.
Masyumi secara institusi tidak ikut dan tidak menyokong berdirinya
PRRI/Permesta, namun akibat PRRI/Permesta Masyumi dipaksa untuk “membubarkan
diri” oleh Soekarno. Adapun keberadaan para tokoh Masyumi seperti Syafruddin dan
Natsir adalah untuk membentengi pergerakan yang dilakukan oleh Perwira Militer dan
menghalangi keterlibatan langsung pihak Asing (Amerika Serikat) untuk memecah
belah wilayah Indonesia. Mungkin saja tanpa tokoh-tokoh sipil itu, PRRI/Permesta
akan mendeklarasikan negara, tidak hanya Sumatera, Sulawesi pun akan membentuk
negara sendiri. Keberadaan Natsir dan Syafruddin untuk menghalangi jangan sampai
tujuan Asing untuk memecah Indonesia berhasil.
Pada kenyataannya, PRRI/Permesta bukanlah negara, melainkan pemerintahan
Oposisi yang memperjuangkan nasib-nasib daerah. Mereka menantang pembangunan
yang tidak adil dengan menuntut pemerintah pusat untuk memperhatikan daerah
daerah diluar Jawa, menuntut Soekarno untuk taat konstitusi dalam kata dan
perbuatan. Keberadaan Natsir dan Syafruddin dalam PRRI/Permesta telah
menyelematkan republik dari perpecahan. Belakangan konsep pemerintahan yang
dibentuk oleh PRRI/Permesta itu menjadi sistem otonomi dalam negara Indonesia dan
diperkuat setelah reformasi.
Meskipun diperlakukan tidak adil oleh Presiden Soekarno, tokoh-tokoh Masyumi
tidak berkecil hati dan tidak menaruh dendam sedikitpun kepada Soekarno. Para
Tokoh-Tokoh Islam ditangkap tanpa proses pengadilan, dan mereka diantaranya
adayah Syafruddin, Natsir, Buya Hamka dan lain-lain. Sementara Sutan Syahrir (Tokoh
PSI) ditangkap dan akhirnya meninggal dalam tahanan.
Ketika semua tokoh-tokoh ini ditangkap, Pada Bulan September 1965, Partai
Komunis Indonesia (PKI) melakukan pemberontakan atas perlindungan Soekarno
untuk kedua kalinya. Kali ini para Jenderal ditebas. Pemberontakan PKI itu disebabkan
karena mereka sudah merasa telah dilindungi dan tidak ada lawan yang seimbang
seperti Masyumi. Pada saat pemberontakan itu, tokoh-tokoh Islamlah yang pertama-13
tama membela dan mempertahankan republik Indonesia dengan Kerjasama dengan
Tentara-tentara dibawah Komando Jenderal Soeharto.
Menegakkan Konstitusi dalam Kata dan Perbuatan
Partai Masyumi adalah partai yang istiqomah dalam garis perjuangannya, tidak
pernah melanggar konstitusi apalagi korupsi. Ketaatan terhadap konstitusi dilakukan
semenjak awal berdiri dengan memilih berjuang melalui jalur konstitusi. Komitmen
politik itu dapat dibaca dalam sejarah politik Indonesia. Misalnya, Ketika S.M.
Kartosuwirjo mengambil jalan diluar konstitusi, Natsir menulis Surat yang berisi
permintaan agar Kartosuwirjo membatalkan rencana memproklamirkan Negara Islam,
dan mengajak Kartosuwiryo Kembali ke Pangkuan Republik Indonesia.
Surat yang diantar oleh Ahmad Hassan (Persis) itu sampai di Markas
Kartosuwirjo. Tetapi penjagaan yang begitu ketat membuat A. Hassan sulit menemui
Kartosuwirjo. Setelah menunggu 3 Hari baru sang ulama itu dapat dikenali oleh
Pasukan Kartosuwirjo dan dipersilahkan menemui Pemimpin Darul Islam itu. Namun
Surat Natsir baru sampai setelah Negara Islam Indonesia di Proklamasikan tanggal 7
Agustus 1949. Dalam Surat balasannya kepada Natsir, Kartosuwirjo mengatakan
“Imbauan itu terlambat tiga hari. Ludah tidak dapat saya jilat Kembali” kata
Kartosuwirjo.
Usaha-usaha untuk tetap memperjuangkan aspirasi umat Islam melalui jalan
konstitusional terus dilakukan. Natsir Ketika mengajukan mosi Integral tahun 1950
juga melalui prosedur konstitusi, karena itu Soekarno mengatakan “… Natsir dari
Masyumi. Mereka punya konsepsi untuk menyelesaikan masalah bangsa menurut
konstitusi.”
Keberhasilan pelaksanaan Pemilihan Umum juga tidak terlepas dari peran besar
Masyumi dalam mewujudkan Indonesia yang demokratis dan konstitusional. pemilihan
umum pada tahun 1955 dilaksanakan dibawah Kabinet Burhanuddin Harahap, Pemilu
yang disebut-sebut sebagai Pemilu Utrademokrasi itu telah menjadi legasi politik
kepemiluan yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam sejarah
Indonesia. Pemilu 1955 dibawah tanggungjawab Perdana Menteri Burhanuddin
Harahap itu dilaksanakan dengan biaya yang sangat kecil dengan persiapan yang
relative singkat.
Dalam proses pelaksanaanya pemilu 1955 adalah pemilu yang berintegritas,
karena diikuti oleh peserta pemilu yang memiliki integritas moral yang tinggi dan
dilaksanakan oleh penyelenggara pemilu yang memiliki integritas yang sama. Tidak
ada politisasi kebijakan, tidak ada politisasi apparat, tidak ada politik uang. Meskipun
Soekarno sebagai Presiden, tidak melakukan “abuse of power” untuk memenangkan
partainya dengan melakukan politisasi kebijakan dan pengerahan aparatur negara.
Jauh berbeda dengan politik saat Orde Baru yang menggunakan struktur kekuasaan
dan hukum. Pemilu setelah reformasi juga mengalami kerusakan yang kian parah,
hanya pemilu 1999 yang dapat menjadi contoh pemilu yang jujur dan adil serta 14
berintegritas. Selain itu politik kepemiluan menjadi kehilangan etika dan integritas,
baik integritas penyelenggara pemilu maupun kontestan pemilu. Politisasi kebijakan,
penggunaan uang negara yang berlebihan, suap dan kemunafikan terjadi disepanjang
koridor pemilu.
Pemilu 1955 dan pemilu era reformasi memang memiliki kompleksitas yang
berbeda, tetapi pada dasarnya politik kepemiluan memiliki tujuan yang sama yaitu
mencari pemimpin yang berkualitas. Namun tidak mungkin mendapatkan pemimpin
yang berkualitas tanpa penyelenggara pemilu yang berintegritas. Itulah yang
membedakan antara pemilu 1955 dan pemilu era reformasi ini.
Jumlah partai politik peserta pemilu jauh lebih banyak dan lebih kompleks dari
pemilu sekarang. Pemilu 1955 diikuti oleh 45 partai politik. Dari 45 itu hanya sepuluh
yang berhasil memperoleh kursi. Diantara sepuluh partai itu, muncul empat partai
pemenang, yakni PNI dan Masyumi, masing- masing mendapat 57 kursi di parlemen,
NU 45 kursi, dan PKI mendapat 39 kursi. Legasi itulah yang ditinggalkan oleh
Masyumi.
Setelah hasil pemilihan umum 1955 keluar, presiden memiliki hak penuh untuk
menunjuk formatur Kabinet. Tapi tindakan Soekarno menunjuk Ali Sostoamijojo
sebagai Formatur cabinet untuk mewujudkan impiannya tahun 1926 menyatukan
Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme, rupa-rupanya tidak disetujui oleh Partai Islam
Masyumi dan NU, mereka menolak untuk berkoalisi dengan PKI. Melihat kondisi yang
demikian terpaksalah Ali membangun koalisi nasionalisme-Islam sambil mengajak
partai-partai kecil lainnya untuk memperkuat sokongan parlemen.
Mendengar itu Soekarno marah besar, “Saudara sebagai formatur bertindak
tidak adil kepada PKI. Mengapakah suatu partai besar yang mendapat suara dari
rakyat lebih dari enam juta itu, tidak kau ikutsertakan dalam Kabinet baru. Ini tidak
adil”, Kata Soekarno. Ali hanya menjawab bahwa itulah hasil maksimum yang bisa
dicapainya, karena partai Islam menolak keras partai Komunis. Dalam kondisi terpojok
Ali pasrah, dan hanya menunggu presiden menyetujuinya atau tidak.
Namun Soekarno tidak langsung menolak, ia meminta waktu untuk berpikir
selama seminggu. Penguluran waktu tersebut menimbulkan spekulasi dalam
masyarakat, ada ketidakserasian antara presiden dan formatur. Ternyata waktu
seminggu itu dipakai Soekarno untuk memanggil tokoh-tokoh NU dan Masyumi ke
istana. Soekarno mendesak Masyumi dan NU agar mau mengukitsertakan PKI dalam
Kabinet. Namun sikap Masyumi melalui ketuanya Dr. Sukiman Wirjosanjojo dan KH.
Idham Chalid tetap menolak.
Dari sikapnya itu Soekarno tidak saja berlawanan dengan etika demokrasi
parlemen, tetapi juga tidak dibenarkan oleh UUD Sementara 1950. Sebenarnya
sebagai Presiden Konstitusional, ia hanya menolak dan menyetujui anggota Kabinet
yang diajukan oleh formatur, tapi Soekarno adalah Soekarno, yang sudah sejak lama
merasa tidak puas dengan kedudukannya sebagai presiden seremonial, ataupun
presiden “tukan stempel” saja. 15
Perbedaan pandangan antara Soekarno dan Masyumi tidak terlepas dari
masalah konstitusionalitas. Ketika polemic politik yang suram pada tahun 1956,
presiden setelah kembali melakukan lawatan keluar negeri ia menyampaikan sebuah
konsepsi. Dalam pidatonya pada peringatan hari sumpah pemuda di hadapan para
pemuda, Soekarno menyampaikan keinginan setelah bermimpi di Sianghai, dan pada
hari ini ia bermimpi lagi, mimpinya itu ingin menguburkan partai-partai politik.
Ternyata sebab musabab dari semua krisis nasional itu adalah partai menurut
Soekarno. Bahkan ia menyalahkan dikeluarnya Maklumat pemerintah Nomor X
Tanggal 3 November 1945 yang memungkinkan lahirnya partai-partai. Sungguh
sesuatu yang mengejutkan.
Ketika semua orang masih menunggu apa yang sebenarnya diinginkan oleh
Soekarno, muncullah Natsir yang memberikan reaksi, di Koran Abadi, 30 Oktober
1956, Natsir mengatakan bahwa nampaknya presiden mulai merasa banyak hal yang
tidak memuaskan. Rupa-rupanya, sebab-musabab dari semua yang tidak memuaskan
itu adalah partai-partai. Maka Natsir menjelaskan pendirian demokrasi nya, bahwa
“semasih demokrasi itu ada maka partai politik harus ada, dan apabila partai politik
dikubur, demokrasi pun turut pula, yang tinggal berdiri diatas kuburan itu diktatur.”
Kata Natsir.
Reaksi terhadap konsepsi itu cukup seru. Beberapa partai seperti PKI, Murba
dan PNI menyokong konsepsi itu. Tapi partai-partai agama seperti Masyumi, NU, PSII,
Partai Katolik dan Partai Rakyat Indonesia menolak konsepsi itu dengan cara dan gaya
masing-masing. Dalam pernyataan bersamanya tanggal 9 Maret 1957, mereka menilai
bahwa konsepsi itu harus diserahkan kepada Dewan Konstituante, karena
menyangkut perambakan struktur ketatanegaraan secara fundamental. Bahkan Bung
Hatta semenjak mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden, untuk kali
pertamannya menanggapi dengan keras Konsepsi itu pada tanggal 1 Maret 1957 yang
pada prinsipnya menolak konsepsi baik dilihat dari konsepsi nya, dari segi hukumnya
dan pada tingkat pelaksanaannya.
Kebiasaan yang menyimpang yang dilakukan oleh Presiden Soekarno, dengan
cara-cara yang diatur oleh konstitusi itulah yang dikritik oleh Masyumi. Ketika
soekarno membentuk cabinet yang diberi nama “zaken kabinet extra parlementer”
dengan cara, “Presiden Republik Indonesia, menunjuk seorang warga negara Ir.
Soekarno menjadi formatur kabinet”. Suatu yang mengherankan ditinjau dari sistem
tatanegara. Namun Soekarno tidak membentuk kabinet presidentil, karena ia
menunjuk Ir. Djuanda Kartawidjaja sebagai perdana menteri di dampingi oleh Mr.
Hardi, KH. Idham Chalid, dan dr. J. Leimena.
Menanggapi itu anggota parlemen Masyumi, Mawardi Noor juru bicara Masyumi
mengatakan bahwa kabinet tersebut adalah “kabinet haram jadah”. Kabinet katanya,
adalah anak kandung yang sah dari parlemen. Tapi kabinet ini kata Mawardi dibentuk
diluar parlemen, maka tak ada yang tepat kecuali dikatakan kabinet Haram jadah.
Sampai akhir hayatnya Masyumi tetap teguh pendirian bahwa kabinet Djuanda adalah
inkonstitusional. 16
Sikap Soekarno yang berlawanan dengan sistem demokrasi parlementer dan
UUDS Tahun 1950 mendapat kritikan tajam dari semua pihak. Bahkan Ketika Presiden
sudah tidak sabar menunggu hasil kerja konstituante dan menyalahkan konstituante
hasil pemilu 1955 atas kekacauan yang terjadi. Padahal kalau ditilik dari sejarahnya,
masalah pergolakan daerah bukan karena konstituante, tetapi masalah pergolakan
daerah. Namun ketidaksabaran itu umembuat Presiden mengeluarkan Dekri, dan
mebubarkan DPR dan Badan Konstituante hasil pemilu 1955. Dekrit Presiden
merupakan tonggak awal berakhirnya pemerintahan Demokratis dan konstitusional.
Masyumi ditengah Pluralisme
Partai Masyumi tidak hanya memetingkan ideologi dan kelompoknya. Masyumi
adalah partai moderat dan egaliter. Peran tokoh-tokoh masyumi dalam
mempertahankan eksistensi republik sangat signifikan, meskipun mereka diperlakukan
tidak adil. Tidak ada permusuhan terhadap individu, pertentangan Antara Orde Lama
dengan Masyumi bukanlah sentiment antara Soekarno dan Natsir, tetapi lebih pada
kebijakan politik Soekarno yang tidak hanya ditantang oleh Masyumi, tetapi
ditangtang pula oleh Partai Kristen dan PSI.
Kerjasama dengan semua pihak menjadi komitmen politik Masyumi, tanpa
harus membangun sentiment keagamaan. Karena bagi orang Masyumi, Pluralisme
dalam bidang kemanusiaan (politik kemasyarakatan) menjadi penting untuk
membangun kohesi sosial, tapi orang masyumi mengerti batas pluralism dalam
agama. Sebagai Partai Islam, mungkin Masyumi dianggap sebagai partai politik yang
ekstrim, padahal semua tokoh-tokoh Masyumi tidak dikenal kiprahnya menjadi
ekstrimis. Baik para pendirinya maupun penerusnya, Masyumi memperlihatkan sikap
moderat dan egaliter dalam berpolitik.
Muhammad Natsir misalnya, memiliki rekam intelektual yang Panjang
bagaimana mengelola dan menghadapi perbedaan Pendapat. Tulisan-tulisannya yang
bersebrangan dengan Soekarno dan perdebatan keduanya mengenai hubungan
agama dan negara menjadi sumber inspirasi. Bagi Soekarno, agama dan negara harus
dipisahkan, urusan agama adalah urusan individu antara manusia dengan Tuhannya,
karena itu, menurut Soekarno, membawa agama dalam perjuangan akan
menyebabkan perpecahan, cukup nasionalisme saja. Pandangan tersebut sangat
dipengaruhi oleh Pemikiran Kemal Attaturk di Turki. Tapi bagi natsir, agama dan
negara tidak dapat dipisahkan, agama dan negara adalah dua hal yang sejalan. Natsir
berpendapat, untuk mencapai kemerdekaan, tidak cukup hanya dengan dsorongan
nasionalisme, dorongan Islam, jauh lebih kuat.
Meskipun berdebatan keduanya sangat sengit, tapi Soekarno tetap
menghormati Natsir. Tatkala Soekarno membaca tulisan Natsir Soekarno mengirim
Surat kepada A Hassan “Alangkah baiknya kalau Tuan punya mubaligh-mubaligh nanti
yang bermutu tinggi, seperti Tuan M. Natsir, misalnya!. Tulis Soekarno.17
Begitupun sebalinya Natsir tetap menghormati Soekarno, bahkan Natsir
mengaku mengagumi Bung Karno. “Isi pidato Bung Karno, saya sudah hafal. Dia
memiliki keahlian dalam membangkitkan semangat perjuangan” Kata Natsir.
Meskipun keduanya memiliki pandangan yang berbeda, Natsir tetap
meghormati Bung Karno dan berteman baik, Natsir tidak pernah menghujat Soekarno
sebagai kaum liberal atau ateis, begitupun Soekarno tidak pernah menghujat Natsir
dengan Fundamentalis atau radikal.
Terbukti, Ketika Soekarno di Penjara di Sukamiskin, yang pertama kali
menjenguk adalah kelompok natsir, orang yang bersebrangan pemahaman dengan
Soekarno. Begitu pula Ketika Soekarno dibuang ke Ende, Natsir juga mengirim buku
buku melalui pemimpin Persis A. Hassan. Jadi ditengah pertentangan tajam antara
keduanya, persahabatan dibangun dan toleransi atas perbedaan cukup indah. Pada
Begitu juga Persahabatan Natsir dengan I.J Kasimo, Leimena dan tokoh-tokoh
Kristen lainnya. Tokoh Masyumi seperti Burhanuddin Harahap bersahabat baik
dengan Ida Anak Agung Gde Agung yang hindu. Ketika Soekarno menerapkan
demokrasi terpimpin, Natsir dan Kasimo bersama tokoh Masyumi dan Partai Sosialis
Indonesia (PSI) mencoba melawan sistem politik otoritarian Soekarno pada era
demokrasi terpimpin itu (1959-1966).
Baik Natsir, Kasimo, Leimena adalah orang-orang penting dari kelompok
agamanya masing-masing. Mohammad Natsir yang berasal dari Minangkabau ini di
tahun 1950an adalah petinggi Masyumi partai Islam terbesar di masa Sukarno,
sementara I.J. Kasimo, adalah pimpinan pendiri Partai Katolik Indonesia. Di awal
revolusi, orang-orang Katolik, adalah pendukung kemerdekaan Indonesia. Kasimo,
sepemahaman dengan Uskup Soegijapranata yang terkenal dengan slogannya “100%
Katolik 100% Indonesia.” Tetapi dalam politik kadang Partai Kristen dan Masyumi
berbeda sikap, tetapi lebih banyak Bersama-sama, apalagi pada saat Soekarno
menerapkan demokrasi terpimpin.
Johannes Leimena lain lagi. Putra Ambon yang sejak muda ikut pergerakan
nasional ini adalah tokoh Partai Kristen Indonesia. Dia anggota Jong Ambon dan
sebelum lulus sekolah kedokteran sempat terlibat dalam helatan Sumpah Pemuda
sebagai panitia. Seperti Natsir, Leimena juga pejabat yang sederhana keduanya
bersahabat. Di parlemen, mereka pernah bersama-sama mengajukan mosi untuk
menyelesaikan sengketa di tubuh Angkatan Perang.
Meskipun dalam praksis politik, Kasimo bisa bersebrangan dengan Natsir atau
Sjarifudin Prawiranegara, tapi sebagai sosok pribadi, mereka tetap memandang
Kasimo sebagai seorang yang jujur dan tulus hati memperjuangkan kepentingan
bangsanya. Ketika Natsir dan Kasimo tersingkir dari kekuasaan, Johannes Leimena
memang pernah menjabat wakil perdana menteri (Waperdam) III.
Johannes Leimena yang Kristen itu pulalah yang mencegah Sukarno
membubarkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Leimena pula yang menyediakan
Gereja Immanuel sebagai tempat rapat tokoh-tokoh Islam di sekitar tahun 1965.
Ridwan Saidi, yang mantan Ketua PB HMI, pernah bertanya: mengapa Leimena 18
membela HMI? Leimena bilang, “Pembubaran Masyumi dan HMI sangat bertentangan
dengan demokrasi dan HAM.”
Yang lebih menarik adalah perkelahian hebat antara tokoh Masyumi dan PKI
Ketika sidang Parlemen atau Sidang Konstituante. Kedua Partai ini adalah rival politik
yang sangat sengit. Dalam Rapat Antara Aidit (Ketua CC PKI dan Natsir Ketua Umum
Masyumi) saling berkelahi, bahkan hampir-hampir saling lempar kursi karena
perbedaan pandangan dalam sidang, Setelah keluar dari sidang, keduanya dapat
minum kopi dikantin DPR dan berboncengan sepeda menuju Jalan Kramat raya. Begitu
juga K.H. Isa Anshary, sangat benci PKI dan mendirikan Gerakan Front Anti Komunis,
namun Ketika akan pergi ke Kantor DPP Masyumi, dia dapat menumpang Mobil Ketua
CC PKI Aidit.
Kiprah Para Tokoh Masyumi
Peran politik Masyumi dalam konteks kebangsaan dan Keindonesiaan cukup
besar. Hal itu dapat dilihat dari peran tokoh-tokoh Masyumi dalam Pemerintahan. Haji
Agus Salim misalnya, merupakan tokoh penting dalam diplomasi Indonesia. Agus
Salim adalah guru para diplomat yang berusaha memperjuangkan kemerdekaan
Indonesia melalui jalan diplomasi.
Haji Agus Salim adalah tokoh diplomat yang diutus menjadi ketua tim untuk
mendapatkan dukungan kemerdekaan dari Mesir. Dia seorang pemimpin Islam yang
cerdas. Ia mahir berpidato dalam bahasa Belanda, Inggris, Prancis, Jerman, dan
Belanda. pidato-pidato Agus Salim memikat rakyat dan pemerintah Mesir. Mesir
akhirnya memutuskan untuk mengakui Indonesia sebagai negara merdeka dan
berdaulat penuh. Indonesia berhak mengadakan hubungan diplomatik dengan Mesir.
Dukungan Mesir langsung membuat harapan Belanda membentuk Indonesia
Serikat pupus. Setelah pengakuan Mesir, negara-negara Arab lainnya langsung
menunjukkan dukungannya kepada Indonesia. Bukan hanya karena fasih berbahasa
Arab, melainkan juga sikap sederhana yang ditunjukkan Agus Salim mampu
meluluhkan hati negara-negara tersebut. Kesederhanaan adalah identitas pemimpin
yang besar, inilah nilai etis yang dicontohkan. Agus Salim saat berdiplomasi dengan
bangsa-bangsa di dunia internasional memperlihatkan martabat Indonesia yang
berwibawa.
Muhammad Roem seorang diplomat murid Haji Agus Salim dan Kasman
Singodimedjo dalam mengulang perkataan sang guru mereka, yang mengungkapkan
bahwa jalan pemimpin bukan jalan yang mudah, memimpin adalah jalan yang
menderita. Seperti bunyi pepatah kuno Belanda, leiden is lijden, artinya memimpin
adalah menderita.
- Natsir seorang tokoh penting Masyumi ini telah menanamkan legasi politik
yang tidak bisa disepelekan. Selain mengajukan Mosi Integral untuk memulihkan
NKRI, Natsir juga adalah perdana Menteri Pertama NKRI. Sikap dan tindakannya 19
menjadi teladan politik tentang komitmen dan konsistensi dalam memperjuangkan
ideologi dan keyakinan politik.
Natsir merupakan sosok yang bersahaja. Ketika Pemerintah Jepang
menghadapi situasi sulit akibat embargo minyak dari Arab Saudi, Industri Jepang
mengalami collaps. Dalam keadaan tersebut, Pemerintah Jepang mengirim utusan ke
Indonesia untuk melobby pemerintah Arab Saudi agar berkenaan membuka Kembali
embargo minyak tersebut.
Nakajima pernah menulis artikel khusus di Edisi Maret 1993 di Majalah Media
Dakwah. Edisi khusus ini menceritakan tentang wafatnya Mohammad Natsir, yang
meninggal di Jakarta pada 6 Februari 1993. “Kami Banyak Belajar dari Mohammad
Natsir” adalah judul artikel Nakajima. Nakajima menyatakan dalam artikelnya di
Majalah Media Dakwah, ia dan Fukuda pergi ke Indonesia untuk bertemu Pak Natsir
sampai 200 kali, dan dia mengatakan bahwa bagi orang Jepang, Mohammad Natsir
memiliki arti khusus.
Pasalnya Pak Natsir pernah membantu Jepang hanya dengan mengirim
sepucuk surat dari balik penjara, dan hal itu membuat embargo pasokan minyak dari
Arab saudi ke Jepang berakhir. Dengan adanya realisasi pengiriman minyak Arab
Saudi ke Jepang membuat Industri Jepang mulai bangkit, berbagai industri otomotif
merajai pasar dunia.
Industri Jepang bangkit atas jasa baik Pak Natsir. Satu hal yang membuat
bangsa Jepang sangat hormat pada Pak Natsir adalah tidak ada satupun hadiah dari
pemerintah Jepang yang diterima Pak Natsir, semua hadiah dikembalikan. Pemerintah
Jepang kesulitan untuk bisa memberikan imbal jasa pada Pak Natsir karena Pak Natsir
berpesan pada keluarga untuk tidak menerima apapun dari pemerintah Jepang.
Pengakuan Jepang atas jasa Pak Natsir itu, tertera dalam Surat yang ditulis
Takeo Fukuda tertanggal 8 Februari 1993 kepada keluarga besar Mohammad Natsir
“Kami sangat berduka atas kematian Dr. Mohammad Natsir. Berita duka ini terasa
lebih dahsyat daripada jatuhnya bom atom di Hiroshima, karena kita kehilangan
banyak pemimpin dunia, termasuk pemimpin Islam yang signifikan. Beliau masih
sangat penting untuk mengatur dunia yang stabil” (Adian Husaini, Hidayatullah.com
2020).
Begitu besar peran Pak Natsir bagi Jepang. Bukan hanya pemerintah tapi
bangsa Jepang merasa ada ledakan Bom atom yang lebih dahsyat dari Bom Atom
Hiroshima mendengar Pak Mohammad Natsir meninggal.
Pada awal Orde Baru, Natsir dan keluarga besar Masyumi baru saja
dikecewakan oleh Rezim Orde Baru. Bukan hanya karena Rezim Orde Baru menolak
rehabilitasi Partai Masyumi, tetapi kebijakan Orde Baru ketika itu sangat represif
terhadap aspirasi politik Islam. Pada masa Orde Baru, Natsir dikucilkan. Sebagai ketua
Kongres Muslim Sedunia, Sekjen Rabitah al-Alam al-lslami (World Moslem League),
dan Presiden The Oxford Centre for Islamic Studies London, Pak Natsir dilarang ke
luar negeri mengikuti pertemuan organisasi-organisasi itu. Pak Natsir dicekal,
terutama setelah menandatangani Petisi 50 yang mengkritisi Soeharto.20
Namun demikian, sebagai negarawan, Pak Natsir tetap mengambil peran untuk
kebaikan bangsa dan negara. Ketika Presiden Soeharto menemui kesulitan untuk
memulihkan hubungan dengan Malaysia, Pak Natsir mengirim surat kepada
sahabatnya PM Malaysia, Tengku Abdurrahman, agar menerima utusan Soehato
dalam memulihkan hubungan kedua negara. Tidak hanya itu. Saat Orde Baru gagal
meyakinkan Jepang untuk membantu pendanaan untuk Indonesia, Pak Natsir
menyurati sahabatnya, Perdana Menteri Jepang Takeo Fukuda. Dari sini, atas inisiatif
Jepang, didirikanlah International Governmental Group for Indonesia (IGGI). ”Mr
Natsir meyakinkan saya untuk membantu Pemerintah Indonsia,” kata Fukuda. Ketika
Pak Natsir wafat, 14 Maret 1993.
Meskipun diperlakukan tidak adil oleh negaranya Natsir lebih mementingkan
nasib rakyat Indonesia, sehingga bersedia membantu pemerintah untuk membuka
hubungan baik dengan Jepang dan Malaysia. Sampai akhir hayatnya Natsir tetap
menjadi pribadi yang sederhana dan bersahaja. Tidak menyukai kemewahan dan
kemegahan, selalu konsisten dengan cita-cita dan keyakinannya.
Selain Pak Natsir, ada tokoh-tokoh lain yang lahir dari Masyumi. Seperti,
Syafruddin Prawiranegara. Pak Syaf juga merupakan tokoh penting dalam sejarah
Republik. Peran Syafruddin dan PDRI sangat menentukan dalam sejarah. Itulah
sebabnya Syafruddin bukan hanya dianggap sebagai ketua PDRI, tetapi juga Presiden
Republik Indonesia. Selain itu Syafruddin adalah Menteri Keuangan yang cukup
cemerlang dengan menerbitkan Oeang Republik Indonesia (ORI), mata uang sendiri
bagi Indonesia dan Menjadi Gubernur Bank Indonesia pertama.
Terdapat juga nama Burhanuddin Harahap menjabat Perdana Menteri tahun
- Kemudian Kasman Singodimedjo juga seorang politisi Masyumi Menjabat Ketua
Komite Nasional Indonesia Pusat Pertama tahun 1945 (KNIP) adalah parlemen
pertama Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia (1945-1946). Ada juga
Sukiman Wirjosanjojo adalah ketua Umum Masyumi Pertama dan menjadi salah satu
tokoh penting dalam sejarah kemerdekaan dan perpolitikan Indonesia. Sukiman
adalah Perdana Menteri ke-6 Republik Indonesia (1951-1952) yang mengeluarkan
kebijakan mencakup Nasionalisasi Bank Indonesia dan dimulainya sistem tunjangan
hari raya (THR) untuk pegawai pemerintah.
Mohammad Roem adalah seorang Politisi Masyumi yang sangat handal dalam
berdiplomasi. Karena kecakapannya itu Roem memimpin delegasi Indonesia
mengadakan Perjanjian dengan Roijen yang akhirnya dikenal dengan Perjanjian
Roem-Roijen sebagai perjanjian yang menjadi pengantar penyerahan kedaulatan
penuh Indonesia oleh Belanda.
Para Pemimpin Islam dari Masyumi seperti K.H. Hasyim Asy’ari (Pendiri
Nahdlatul Ulama), KI Bagus Hadikusumo (Ketua Umum Pengurus Besar
Muhammadiyah) K.H. Wahid Hasyim, Buya Hamka (Pendiri dan Ketua Umum Majelis
Ulama Indonesia Pertama) dan nama-nama lainnya yang cukup bersahaja. Mereka
mereka ini adalah pahlawan Nasional dan tokoh politik yang cukup andal, mewariskan
legacy bagaimana berpolitik dengan moral dan agama.21
Keteladanan yang Tak Habis
Pada akhirnya Keteladanan yang diajarkan oleh Para tokoh Masyumi selalu
hidup dalam perpolitikan Indonesia, meskipun sebagaian generasi muda sudah mulai
meninggalkan semangat untuk mempelajari sejarah dan kearifan itu.
Perilaku kejujuran dan integritas Muhammad Natsir ini pula yang kemudian
mengundang seorang indonesianis George Mc.T Kahin berkomentar untuk Mohammad
Natsir “dia (Natsir) tidak bakal berpakaian seorang menteri, namun demikian dia
adalah seorang yang amat cakap dan penuh dengan kejujuran, jadi kalau anda hendak
memahami apa yang sedang terjadi dalam republik anda sudah seharusnya berbicara
dengannya”.
Selain itu, Masyumi sebagai partai politik menegaskan keteguhan dalam
mempertahankan ideologi Masyumi dan konsisten dalam memperjuangkan
terwujudnya ideologi itu. Sepanjang perjalanan politiknya selama 15 Tahun itu,
Masyumi telah memberikan legacy politik yang tidak pernah diberikan oleh Partai
Politik apapun. Masyumi telah melahirkan begitu banyak Pahlawan, TOkoh, kaum
intelektual dan cendekiawan, termasuk mereka yang menyebut dirinya sebagai anak
cucu Masyumi.
Begitu pula Partai-Politik yang lahir pasca-reformasi, banyak mengklaim diri
sebagai penerus perjuangan Masyumi. Seperti Partai Umat Islam (Deliar Noor), Partai
Bulan Bintang (Yusril Ihza Mahendra), Partai Politik Islam Masyumi (Abdullah
Hehamahua), Masyumi Baru (Ridwan Saidi), PArtai Amanat Nasional (Amien Rais)
Partai Keadilan Sejartera dan lainnya. Indentifikasi diri sebagai partai penerus
Masyumi memang cukup menggiurkan, namun kenyataannya politik Islam mengalami
kemunduran dari hari ke hari.
Ditengah semakin tenggelamnya partai-partai Islam, tentu ini menjadi bahan
evaluasi diri bagi umat Islam untuk memperjuangkan Kembali kebangkitan politik
Islam di Indonesia. Karena itu, kami Ketika mendirikan Kembali Masyumi (Masyumi
reborn), kami menyadari tidak mudah untuk mengembalikan citra dan perjuangan
masyumi di masa lalu, tetapi paling tidak kami berjuang untuk mengingatkan bahwa
ada partai Islam yang melegenda dalam politik dan menjadi teladan politik yang
mampu membawa bangsa ini menjadi Bangsa yang besar. Keinginan untuk
menghidupkan Kembali Masyumi, bukan hanya infrastruktur partai, tetapi juga
ideologi, keteladanan politik yang ideal bagi Indonesia, ditengah rusaknya moralitas
dan etika politik bangsa Indonesia.
Masyumi yang kemudian digagas oleh anak cucu masyumi bertujuan untuk
Membangkitkan Politik Islam, Mengikat Persatuan dan Kesatuan Umat, Meluruskan
kiblat politik Indonesia yang sudah mulai melenceng dari tujuannya. Maka bagi kami
kebangkitan masyumi adalah kebangkitan politik yang berbudi luhur, yang
mengedepankan nilai-nilai moral dan etika, serta berjuang untuk kepentingan bangsa
dan negara.22
Masyumi memiliki banyak generasi yang hidup, ada yang secara biologis dan
ada yang secara ideologis membangun dan mengembangkan masyumi. Meskipun ada
juga anak-anak Masyumi yang hanya mengetahui Masyumi tetapi tidak melakukan
internalisasi nilai-nilai dan keteladanan dari perjuangan tokoh-tokoh masyumi di masa
lalu. Internalisasi nilai perjuangan dan semangat kepahlawanan itu menjadi penting
hari-hari ini, ditengah pragmatism politik yang semakin merugikan bangsa dan negara.
Tokoh-tokoh Masyumi selalu konsisten memperjuangkan ideologinya, dan tidak
pernah melakukan konfrontasi politik dengan kelompok manapun, kecuali dengan
cara-cara yang demokratis, sah dan konstitusional.
Sebagai penutup, saya ingin mengatakan Buku ini sangat Penting sebagai ilmu
pengetahuan yang akan menjadi pedoman untuk generasi mendatang. Selaku Ketua
Umum Partai Masyumi saat ini, buku yang membahas persoalan latar belakang
pemikiran Masyumi yang mengkaji dari sisi praktis secara mendalam sikap Masyumi
atas keragaman politik dalam konteks internal umat Islam, sikap terhadap kelompok
kelompok politik non- Muslim (minoritas), sikap partai ini terhadap kalangan sekular,
termasuk kalangan nasionalis, sosialis, komunis, program Masyumi dan karakter
agenda serta kebijakan politik atau pemerintahan yang dipimpin oleh Masyumi. Buku
ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa pemikiran, sikap dan tindakan
Masyumi yang mencerminkan penghormatan yang sungguh-sungguh terhadap
pluralisme.
Bahan Bacaan:
- Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional Indonesia Studi
Sosio Legal atas Konstituante 1956-1959, Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1995.
- Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan
dalam Konstituante, Jakarta, LP3ES, 1985.
- Anwar Harjono, Dr., S.H., Indonesia Kita Pemikiran Berwawasan Iman Islam,
Jakarta, Gema Insani Press, 1417/1997.
- dan Lukman Hakiem, Disekitar Lahirnya Repuublik Bakti Sekolah
Tinggi Islam dan Balai Muslim Indonesia kepada Bangsa, Jakarta, Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia, 1997.
- Badruzzaman Busyairi, Catatan Perjuangan: H. M. Yunan Nasution, Jakarta,
Pustaka Panjimas, 1985.
- Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Gagasan dan Praktik Politik
Islam di Indonesia, Jakarta, Democracy Project, 2011.
- Cornelis Van Dijk, Darul Islam Sebuah Pemberontakan, Jakarta, Grafiti Press,
- Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, Jakarta, PT. Pustaka
Utama Grafiti, 1987.
- , Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta, LP3ES,
10.Endang Saifuddin Anshari, H.,M.A., Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah
Konsensus Nasional antara Nasionalis Islam dan Nasionalis Sekuler tentang
Dasar Negara Republik Indonesia 1946-1959, Jakarta, CV Rajawali, 1986.23
11.Lukman Hakiem, Biografi Mohammad Natsir, Jakarta, Pustaka Al
Kautsar, 2019.
- dkk, MR. Sjafruddin Prawiranegara Pemimpin bangsa dalam
pusaran sejarah, Jakarta, Republika, 2011.
- , 100 tahun Mohammad Natsir berdamai dengan sejarah,
Jakarta, Republika, 2008.
- , Dari Pangung Sejarah Bangsa Belajar dari Tokoh dan
Peristiwa, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2020.
- , Utang Republik Pada Islam: Perjuangan Para Tokoh Islam
dalam Menjaga NKRI, Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2021.
16.Mohammad natsir, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Jakarta, Media
Dakwah, 2001.
- , Capita Selecta, Jakarta, Yayasan Bulan Bintang Abadi, 2008.
- , Islam Sebagai Dasar Negara, Bandung, Sega Arsy, 2014.
19.Mohammad Yamin, Himpunan Risalah Sidang-Sidang Dari: Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jilid Pertama tahun 1959.
20.Muhammad Kamal Hassan, Modernisasi Indonesia: Respon Cendekiawan
Muslim, terjemahan Ahmadie Thaha, Jakarta, 1987.
21.Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, Jakarta, Dabara Publishers, 1964.
22.Yusril Ihza Mahendra, Modernisme Dan Fundamentalisme dalam Politik Islam:
perbandingan Partai Masyumi (Indonesia) dan Partai Jama’at-i-Islami
(Pakistan), Jakarta, Paramadina, 1999.