Korupsi Ala Prabowo (10)

January 26, 2025

KORUPSI ALA PRABOWO (10)
Abdullah Hehamahua

Seri terakhir ini merupakan simpulan dari sembilan artikel sebelumnya yang memuat tujuh jenis korupsi.
Menariknya, hampir semua presiden pada era reformasi, dalam kampanyenya, berjanji akan memberantas korupsi. Hasilnya.? Jauh panggang dari api.

Namun, SBY, presiden pertama, hasil pilpres 2004, menunjukkan beberapa langkah dan kebijakan positif. Kenegarawanan SBY muncul ketika besannya ditangkap KPK. Beliau tidak intervensi KPK. Bahkan, sewaktu Bendahara Umum partainya sendiri, Nazaruddin ditahan, SBY memberi dukungan moril terhadap KPK.
Hal ini ditunjukkan dengan komitmen Polri yang membantu KPK untuk menangkap Nazaruddin. Hasilnya, konkrit. Hanya dalam waktu empat bulan, KPK dengan dibantu Polri, menangkap Nazarudin di Colombia.

Jokowi berbeda dengan SBY. Sebab, Harun Masiku, anggota partainya, PDIP, belum ditangkap selama lima tahun. Bahkan, Jokowi menghancurkan KPK dengan mengamandemen undang-undangnya. Indikatornya, IPK Indonesia terjun payung, dari angka 40 menjadi 34.

Prabowo, baik dalam pidato pelantikan, maupun kesempatan lain, menyatakan sikapnya untuk memberantas korupsi. Beberapa langkah positifnya, seperti sikap beliau terhadap kasus PIK-2. Kasus PIK-2 ini merupakan salah satu indikator, apakah Prabowo bisa melepaskan diri dari bayang-bayang Jokowi dan sembilan naga atau tidak.

Prabowo dan Pemberantasan Korupsi

Judul artikel ini “Korupsi Ala Prabowo” adalah koreksi terhadap pemahaman yang keliru dari Prabowo mengenai korupsi. Sebab, Prabowo, antara lain mengatakan, kalau koruptor mengembalikan kekayaan yang dikorup maka mereka akan dimaafkan.
Padahal, menurut UU Tipikor, mengembalikan kerugian keuangan negara, tidak mengugurkan pidana. Namun, Prabowo sebagai kepala negara dapat memaafkan koruptor melalui hak prerogatifnya – amnesti, abolusi, grasi – setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Olehnya, Prabowo perlu tahu tujuh jenis korupsi yang diatur dalam UU No. 31/99 jo UU No. 20/21 sebagai berikut:

1. Merugikan Keuangan/Perekonomian Negara

Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor tidak menyebutkan, seseorang harus memperkaya diri sendiri, baru disebut sebagai koruptor. Sebab, meski dia tidak mengambil uang negara tersebut, tapi ada orang lain atau perusahaan yang menikmati hasil korupsi tersebut.
Prinsipnya, ada tindakan melawan hukum, terjadi kerugian keuangan/ perekonomian negara, dan ada yang menikmati hasil korupsi tersebut. Penikmat tersebut bisa sang koruptor itu sendiri, orang lain, atau korporasi.

Data-data menunjukkan, selama 10 tahun kepemimpinan Jokowi, ada beberapa kasus yang merugikan keuangan/perekonomian negara terbesar, yakni: (a) PT Timah, Rp. 300 triliun; (b) PT Asabri, Rp. 22.7 trilun; (c) PT Jiwasraya, Rp. 16,8 triliun; (d) ijin ekspor minyak sawit mentah, Rp. 12 triliun; dan (e) proyek BTS 8G, Rp. 8 triliun.

2. Suap Menyuap

Suap, ada yang aktif dan ada pula yang pasif. Suap aktif misalnya, anda menyerahkan amplop berisi cek, kunci rumah, kunci mobil, saham, atau sejumlah uang pada awal berhubungan dengan petugas di suatu layanan publik.
Suap pasif, anda berjanji akan memberikan sesuatu jika keinginannya dalam urusan perijinan atau layanan publik lainnya, dipenuhi petugas terkait, sekalipun tidak memenuhi syarat.

Kasus suap yang pernah ditangani KPK misalnya: (a) Proyek pembangunan di Kalsel; (b) Pengurusan perkara di MA yang menjerat eks Sekretaris MA Nurhadi, menantunya, Rezky Herbiyono serta hakim Agung Gazalba Saleh; (c) Jual beli jabatan oleh walikota Bekasi, bupati Nganjuk, walikota Tanjung Balai; bupati Probolinggo serta mantan Menteri Pertanian, SYL; (d) Kasus BLBI; (e) Kasus Harun Masiku; (f) Kasus pembangunan Wisma Atlet SEA Games di Palembang; dan (g) Kasus Ketua MK, Akil Mochtar yang dijatuhi hukuman seumur hidup.

3. Penggelapan dalam Jabatan

Penggelapan dalam jabatan, bisa berupa manipulasi jumlah barang milik negara. Ia bisa berupa pemanfaatan harta negara yang ada dalam kekuasaannya, atau merusak dokumen negara demi kepentingan pribadi atau orang lain yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan.

Kasus penggelapan dalam jabatan yang pernah ditangani KPK antara lain: (a) Rehabilitasi dan Rekontruksi Sektor Perikanan Tangkap Pascagempa dan Gelombang Tsunami pada Satuan Kerja Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jateng; (b) kasus anggaran penanganan flu burung (2006); (c) Paket Pengerjaan Pengadaan Kitab Suci Al-Quran APBN-P 2011 dan APBN 2012 di Dit. Dinas Islam Kemenag; (d) Penetapan APBN-P, 2013 Kementerian ESDM oleh Komisi VII DPR; (e) Pengurusan Anggaran di DPR untuk Alokasi Provinsi Sumbar pada APBN-P, 2016; (f) Kasus besan SBY, Aulia Pohan yang menggunakan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI), Rp. 100 milyar untuk BI.

4. Pemerasan

Pemerasan, bisa yang aktif maupun pasif. Pemerasan aktif adalah perilaku seorang pejabat yang meminta bayaran tertentu sebelum transaksi berlangsung di mana permintaan tersebut bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan.
Kasus pemerasan yang pernah ditangani KPK adalah kasus e-KTP di mana Ketua DPR, Setya Novanto menerima uang senilai 7,3 Juta dollar AS dari dua Perusahaan. Kasus yang penomenal lainnya adalah pemerasan yang dilakukan Ketua KPK, Firlu Bahuri terhadap Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo.

5. Perbuatan Curang

Perbuatan curang dalam tindak pidana korupsi adalah kebijakan atau tindakan yang bertentangan dengan ketentuan yang ada di mana negara dirugikan. Kerusakan jalan tol Cepularang, Cipali, dan Palembang – Lampung yang berkali-kali rusak misalnya merupakan contoh perbuatan curang. Kasus yang pernah ditangani KPK, antara lain:

(a) Pengadaan proyek fiktif server dan storage oleh PT PNB untuk PT SCC/Telkomsigma tahun 2017; (b) Investasi fiktif di PT Taspen; (c) Kecurangan di sektor pendidikan, pungutan liar, dan nepotisme seperti yang pernah melibatkan Rektor Univ. Lampung; (d) Jual beli gas alam untuk pembangkit listrik di Gresik dan Gili Timur Bangkalan Madura Jawa Timur

6. Benturan Kepentingan dalam Pengadaan

Mayoritas kasus yang ditangani KPK, berkaitan dengan Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ), antara lain: (a) Pengadaan server dan storage oleh PT Prakarsa Nusa Bakti (PNB) kepada PT Sigma Cipta Caraka (SCC) atau Telkomsigma, anak perusahaan PT Telkom; (b) Kasus proyek di Kalimantan Selatan; (c) PBJ di Pemerintah Kota Bima, NTB; (d) Perizinan dan pembangunan infrastruktur di Pemprov Sulsel; (e) PBJ di Kementerian Pertanian; (f) PBJ di Dinas PUPR Kabupaten Muara; (g) Pengadaan Proyek di Badan Keamanan Laut (Bakamla).

7. Gratifikasi

Gratifikasi adalah penerimaan sesuatu oleh PN/PNS dalam kaitan dengan pelaksanaan tugasnya.
Mayoritas kasus yang ditangani KPK, berkaitan dengan gratifikasi. Kasus-kasus yang pernah ditangani KPK, antara lain: (a) Proyek pembangunan infrastruktur di Aceh; (b) Proyek tambang batu bara di Kab. Kutai Kartanegara; (c) Proyek pengadaan infrastruktur di Kabupaten Sidoarjo dan Kota Bandung.

Simpulannya, Prabowo agar bisa satunya kata dengan perbuatan, maka beberapa hal perlu dilakukan: Pertama, Prabowo harus menjadi teladan dalam memberantas korupsi. Ia dimulai dari diri sendiri, partainya, dan kabinetnya. Konsekwensi logisnya, dalam masa enam bulan, sesuai janjinya, Prabowo harus keluarkan para Menteri yang diketahui, terlibat korupsi.
Kedua, Prabowo menerbitkan Perppu yang memberlakukan kembali UU KPK lama. Dampak positifnya, KPK bisa kembali menjadi lembaga negara yang independen. Dampak posiitif lanjutannya, pemberantasan korupsi dilakukan demi penegakkan hukum. Bukan sebagai alat yang dimanfaatkan elit politik dan konglomerat untuk kepentingan tertentu.
Ketiga, Prabowo harus bertindak cepat sebelum krisis melanda dunia. Sebab, krisis tersebut akan digunakan kelompok tertentu dalam internal kabinet yang berniat menusuk dari dalam pemerintahan. Semoga !!! (Tamat) (Shah Alam, 20 Januari 2025).