Kewajiban Konstitusional Presiden Indonesia(13)

October 5, 2024

KEWAJIBAN KONSTITUSIONAL PRESIDEN INDONESIA (13)
Abdullah Hehamahua

Presiden Indonesia, sesuai dengan pasal 29 ayat 2, UUD45, wajib menikahkan warga negaranya yang karena beberapa sebab, belum menikah. Hal ini sesuai dengan salah satu ayat Al-Qur’an yang mafhumnya, “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [QS An-Nur:32].

Presiden dalam kontek ini, harus meneladani tindakan khalifah Umar bin Abdul Aziz. Sebab, Umar memerintahkan gubernurnya di Bagdad, agar menikahkan pemuda-pemuda lajang yang karena masalah ekonomi, belum menikah. Gubernur, berdasarkan ayat Al-Qur’an di atas, langsung melaksanakan perintah khalifah tersebut dengan menggunakan dana Baitul Mal.
Konsekwensi logisnya, presiden Indonesia mendatang, sesuai konstitusi, memerintahkan 38 gubernur agar menikahkan warganya yang masih lajang dengan menggunakan APBD masing-masing daerah.

Presiden, Belajarlah dari Singapura
Singapura, negara pertama di Asia Tenggara yang menerima dampak negatif dari program Keluarga Berencana (KB) yang dipaksakan pelaksanaanya awal tahun 1970-an. Hal serupa dilakukan pemerintah Indonesia. Bahkan, PNS hanya boleh punya dua anak. Putra/putri ketiga dan selebihnya, dianggap anak swasta. Sebab, mereka tidak mendapat tunjangan anak dalam gaji setiap PNS.

Singapura, sejak tahun 2001 mulai kekurangan tenaga kerja produktif akibat KB. Sebab, kawan-kawan di Singapura yang bersamaku menolak gagasan KB tersebut, sekarang sudah memasuki usia pensiun. Pada waktu yang sama, tenaga kerja produktif, 18 – 55 tahun, sangat terbatas.
Pemerintah Singapura, dalam kontek ini melalukan program yang revolusioner, yakni mendorong muda-mudi menikah dini dan mempunyai banyak anak. Sebab, pemerintah menargetkan, pada tahun 2030, penduduk Singapura harus bertambah sebanyak 30%. Bahkan, mereka akan diberikan bonus pernikahan. Bonus juga diberikan bagi setiap bayi yang baru lahir.

Skema Bonus Bayi diciptakan demi mendorong orang tua memiliki lebih banyak anak dengan menawarkan insentif tunai. Aplikasinya, semua warga Singapura yang memiliki bayi mendapat hadiah uang tunai. Mereka juga akan mendapatkan uang yang dimasukkan ke Akaun Perkembangan Anak (“Child Development Account,” CDA). Uang ini digunakan untuk perawatan anak dan pemeliharaan kesehatan.
Dampak positifnya, semakin banyak anak yang dimiliki, uang yang diperoleh, tambah banyak. Pemerintah Singapura, sejak Maret 2016, menyediakan hadiah berupa uang tunai sebesar SG$.8.000 (Rp. 80 juta) untuk anak pertama sampai SG$10.000 (Rp100 juta) untuk anak ketiga dan berikutnya. Pemerintah juga memasukan sejumlah uang ke rekening CDA sebagai biaya perawatan anak.

Pemerintah Singapura, ternyata sejak belasan tahun lalu menerapkan salah satu hadis Nabi Muhammad yang mafhumnya, “Nikahilah kamu wanita yang penyayang, subur kerana aku merasa bangga dengan memiliki umat yang banyak.” (HR Abu Daud). Olehnya, Presiden Indonesia mendatang, tidak usah malu untuk meneladani kebijakan pemerintah Singapura tersebut. Sebab, hal tersebut dijamin pelaksanaannya oleh pasal 29 ayat (2) UUD 45.

Presiden dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz
Suami, isteri, dan anak adalah unit terkecil dari sebuah negara. Olehnya, berumah tangga, selain merupakan tuntutan biologis manusia normal, juga agar lahir keturunan guna kelanjutan eksistensi manusia di bumi. Itulah sebabnya, banyak nabi yang pada usia senja berdoa agar diberi keturunan guna kelanjutan estafet ketauhidan di muka bumi.

BPS menyebutkan, penduduk Indonesia, semester satu 2024, mencapai 282.477.584 jiwa. Tragisnya, terdapat 61,1 juta jiwa penduduk yang sudah masuk usia kawin, tetapi masih membujang. Bahkan, Indonesia termasuk negara tertinggi di Asia Tenggara yang penduduknya berstatus lajang. Anehnya, BPS menyebutkan, dalam satu dekade terakhir, angka pernikahan di Indonesia menurun, 28,63%.
Pada waktu yang sama, BPS menyebutkan, angka perceraian mencapai 516.344 kasus pada 2022, meningkat sekitar 15,31% dibanding 2021. Sebab, tahun sebelumnya (2021), ada 447.743 kasus perceraian.
Pada tahun 2022, sebanyak 388.358 kasus atau sekitar 75,21 persen total kasus perceraian di Indonesia karena gugatan cerai oleh isteri. Sisanya, 127.986 kasus (24,78%) perceraian terjadi karena keinginan suami.
Meningkatnya perceraian justru berbanding terbalik dengan penurunan angka perkawinan. Data BPS 2022, terdapat 1,7 juta perkawinan yang tercatat di Indonesia. Jumlah ini mengalami penurunan sekitar 2,1% disbanding tahun 2021, yaitu 1,74 juta perkawinan.

Presiden mendatang, berdasarkan data-data BPS di atas, mempunyai peluang besar untuk meniru khalifah Umar bin Abdul Aziz. Salah satunya, presiden membiayai pernikahan para lajang yang karena masalah ekonomi, tidak bisa menikah.

Presiden, Belajarlah sama Malaysia
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menekan angka perceraian. Dirjen Bimas Islam misalnya mengadakan bimbingan perkawinan pra-nikah bagi calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan pernikahan.
BKKBN juga menginisiasi kelas orangtua hebat untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan mereka dalam pengasuhan dan pembinaan tumbuh kembang anak yang diselenggarakan secara virtual. Hasilnya, tidak signifikan.

Presiden mendatang, dalam kontek ini, tidak usah malu untuk belajar dari Malaysia. Dokter Malaysia akan membenarkan pasangan suami isteri membatasi kelahiran jika mereka sudah punya lima anak. Sebab, pemerintah Malaysia, tahun 1982 menargetkan, punya 70 juta penduduk, beberapa tahun mendatang. Tahun ini, penduduk Malaysia baru mencapai 32 juta jiwa.
Program kedua pemerintah Malaysia yang berhasil adalah, murid sekolah SMU wajib mengikuti kursus perkawinan selama dua hari. Dampak positifnya, sewaktu mendaftar pernikahan di KUA, calon suami isteri harus melampirkan sertifikat kursus perkawinan. Tanpa sertifikat tersebut, permohonan pernikahan ditolak KUA.

Simpulannya, presiden mendatang dapat meniru kebijakan Umar Abdul Aziz yang menikahkan pasangan yang belum bisa menikah karena masalah pembiayaan dengan menggunakan APBN/APBD. Presiden juga bisa meniru pemerintah Singapura dengan memberikan bonus bagi mereka yang menikah dini dan menyediakan bonus bagi anak-anak yang banyak, termasuk biaya perawatan. Presiden juga bisa meniru Malaysia dengan cara wajibkan murid SMU mengikuti kursus pernikahan sehingga menurunkan angka perceraian. In syaa Allah (Shah Alam, Malaysia, 2 Oktober 2024).1