JOKOWI DAPAT DIHUKUM MATI ? (3)
Abdullah Hehamahua
Jokowi, selain terlibat korupsi karena serakah, beliau juga korupsi karena ada peluang. Ia bisa berupa sistem pemerintahan yang longgar juga karena individu yang tidak berintegritas.
Individu tersebut meliputi presiden sampai Ketua RT, anggota legislative, yudikatif, pengusaha, guru, dosen, mahasiswa, pelajar, dan karyawan swasta. Bahkan, pedagang kaki lima, petani, nelayan, buruh, pengemis, dan pemulung.
Korupsi jenis ini sesuai pendapat Donald R. Cressey yang mengatakan, penyebab korupsi adalah niat dan kesempatan. Niat adalah domain individu yang dibangun melalui pendidikan rumah, sekolah, dan masyarakat. Salah satu hasil pendidikan adalah sikap jiwa, pola pikir, dan perilaku yang berintegritas.
Kesempatan adalah adalah sistem yang diterapkan di rumah, masyarakat, perusahan, ormas, LSM, orpol, dan pemerintahan. KPK dalam membaiki keadaan tersebut, mengkampanyekan reformasi birokrasi (2005).
Faktanya, setelah dua puluh tahun, hanya beberapa Kementerian yang menerapkan rekomendasi KPK tersebut. Bahkan, selama 10 tahun kepemimpinan Jokowi, korupsi semakin menggila.
Indikatornya, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indoenesia yang sebelumnya 40, terjun payung ke angka 34. Menteri dalam kabinet Jokowi yang paling banyak ditangkap dibanding presiden-presiden lain. Bahkan, anak-anak dan mantu Jokowi yang dilaporkan ke KPK karena kasus korupsi, tidak diproses Aparat Penegak Hukum (APK). Tragisnya, Harun Masiko yang selama lima tahun berstatus tersangka, belum ditangkap hanya karena beliau adalah anggota partainya Jokowi, PDIP.
Korupsi terbesar Jokowi dalam memanfaatkan peluang yang ada adalah ratusan PSN seluruh Indonesia. Sebab, terungkap keterlibatan Jokowi dalam kasus PIK2. Maknanya, Jokowi juga terlibat dalam kasus PSN lain di seluruh Indonesia. Wajar, jika Jokowi ditetapkan sebagai koruptor nomor dua kelas dunia oleh OCCRP.
Apalagi, menurut Lord Acton, “power tend to corrupt, absolute power, corrupt absolutely” (kekuasan, cenderung ke korupsi. Kekuasaan yang besar, melahirkan korupsi yang juga besar).
Korupsi karena Peluang
KPK, tahun 2005 menangkap mayoritas anggota KPU. Padahal, mereka adalah para dosen yang selama di kampus, bertugas mengtransfer ilmu dan pengetahuan. Mereka pun tidak pernah menemukan uang milyaran rupiah. Sementara di KPU, ada anggaran Pemilu yang jumlahnya triliunan rupiah.
Para dosen ini, berhadapan dengan pengusaha yang hampir setiap hari berusaha menyogok pimpinan dan anggota KPU. Sebab, itulah perilaku pengusaha ketika Orde Baru yang biasa menyogok anggota KPU.
Ketua KPU yang seorang profesor dan anggotanya, tidak mampu bertahan atas “serangan” para peyogok setiap hari. Integritas mereka “jebol”. Akhirnya, mereka menjadi pasien KPK karena menerima suap.
Jokowi dan Korupsi karena Peluang
Jokowi, sejak menjadi walikota, gubernur, sampai presiden, atas masukan para oligarki pendukungnya, memahami peta masyarakat Indonesia sebagai berikut:
1. Indonesia adalah negara agraris. Lazimnya, dalam negara agraris, masyarakatnya cenderung paternalistik, yakni mengikuti perilaku pemimpinnya.
Konsekwensi logisnya, apa pun yang dilakukan dan dikatakan Jokowi, dipercaya serta diikuti. Olehnya, rakyat percaya ketika kampanye (2014), Jokowi mengatakan, tidak akan berutang. Mereka pun pilih Jokowi dalam Pilpres.
Faktanya, Jokowi mewariskan utang negara, Rp. 20 ribu triliun. Jokowi, dalam bab ini, mengalahkan seluruh presiden Indonesia.
Rakyat juga percaya ketika Jokowi sewaktu kampanye, bilang, tidak impor apa pun. Sebagian akademisi, profesor, dan LSM percaya akan hal itu sehingga mereka memilih Jokowi sebagai presiden. Faktanya, garam, sayur, dan buah yang ada di Indonesia pun diimpor.
2. Mayoritas penduduk Indonesia, tinggal di pulau Jawa. Mereka berpendidikan rendah dengan IQ rata-rata, 78, sama dengan yang dipunyai simpanse.
Wajar jika penduduk mudah dibohongi. Bahkan, sampai-sampai guru besar UGM mengeluarkan pernyataan keras terhadap Jokowi yang suka berbohong, tapi rakyat tetap pilih Gibran sebagai wakil Presiden.
3. Mayoritas penduduk Indonesia berpenghasilan rendah. Bahkan, World Bank (2023) menyebutkan, sekitar 60% penduduk Indonesia, miskin. Padahal, Sri Mulyani dan BPS mengatakan, 9 % penduduk Indonesia, miskin.
Perbedaan angka tersebut disebabkan kriteria orang miskin menurut Indonesia dan World Bank, berbeda. Sri Mulyani dan BPS berpendapat, orang miskin adalah mereka yang penghasilannya di bawah satu dolar AS per hari.
Angka ini menunjukkan bahwa, pemulung dan peminta-minta di kota-kota besar, tidak termasuk orang miskin. Sebab, mereka bisa memperoleh Rp. 20 ribu, bahkan lebih, setiap hari. Namun, World Bank menyebutkan, orang miskin adalah mereka yang penghasilannya di bawah 2,15 dolar AS, setara Rp. 40.000. Maknanya, pemulung dan peminta-minta termasuk orang miskin.
Jokowi yang sejak di Solo sudah disiapkan oligarki untuk jadi pemimpin Indonesia dengan mudah memanfaatkan peluang yang ada. Peluang itu berupa: sistem administrasi pemerintah yang amburadul; penduduk yang miskin dan bodoh; akademisi tanpa integritas; LSM bayaran, serta elit politik yang gila jabatan.
Peluang yang menganga tersebut dimanfaatkan Jokowi dan gengnya sehingga dapat terpilih menjadi presiden dua periode. Bahkan, dengan peluang tersebut, Jokowi berhasil menjadikan anaknya yang seorang koruptor, juga menjadi Wakil Presiden. Hal yang sama juga berlaku terhadap mantunya yang disebutkan di Pengadilan Tipikor sebagai terlibat kasus korupsi di Maluku Utara.
Simpulannya, Jokowi sangat licik dalam memanfaatkan peluang yang ada sehingga dirinya dan keluarganya dapat menjadi presiden, wakil presiden, dan gubernur. Namun, kebijakan dan tindakannya selama sepuluh tahun tersebut, maka sesuai dengan pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, dan 12B UU Tipikor, Jokowi dapat dijatuhi hukuman mati. Semoga !!! (bersambung) (Depok, 2 Februari 2025).