Indonesiamu,Indonesiaku,Indonesia Kita (9)

February 11, 2025

INDONESIAMU, INDONESIAKU, INDONESIA KITA (9)
Abdullah Hehamahua

Hutan Indonesia termasuk nomor delapan terluas di dunia, 92 juta hektar.
Namun, Indonesia termasuk hutan tropis ketiga terluas di dunia setelah Brazil dan Kongo. Olehnya, selain hutan lindung, Indonesia juga punya perkebunan karet, kelapa sawit, cengkeh, pala, kakao, rami, dan lain-lain.

Artikel seri ini mengkomunikasikan perkebunan kelapa sawit Indonesia di mana ia merupakan salah satu komoditi ekspor yang signifikan. Tragisnya, Indonesia sebagai negara pengekspor kelapa sawit nomor satu dunia, tetapi emak-emaknya pernah antri beli minyak goreng.
Satu dari sejumlah penyebabnya, penguasaan perkebunan sawit, produksi, dan distribusi minyak goreng dimonopoli oligarki. Hal ini terbukti ketika covid 19, minyak goreng hanya bisa dibeli di indomart atau alfamaret.

Kelapa Sawit Anda
Anda bangga dengan ekspor minyak sawit (CPO) nasional yang mendatangkan devisa, relative besar. Sebab, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Joko Supriyono bilang, devisa selama Maret 2021 misalnya, 3,74 miliar dolar AS.
Jumlah tersebut, 80 persen lebih tinggi dari bulan sebelumnya, 2,08 miliar dolar AS. Ini karena menurutnya, ekspor minyak sawit bulan itu sebanyak 3.244 ribu ton, 62,7 persen lebih tinggi dari ekspor bulan sebelumnya, yakni 1.994 ribu ton.

Anda bangga dengan jumlah ekspor di atas, tapi abai terhadap kenyataan sebenarnya. Setidaknya anda abai terhadap tiga hal, yakni: (a) mayoritas pengeskpor CPO adalah perusahaan swasta; (b) maraknya pembakaran lahan; dan (c) KKN dalam pembakaran lahan.

Mayoritas pengekspor minyak sawit (CPO) adalah perusahaan swasta. Sebab, perkebunan kelapa sawit milik BUMN hanya 5% dari total lahan yang ada di Indonesia.
Konsekwensi logisnya, devisa yang diperoleh sebagai hasil ekspor, tidak masuk ke Indonesia. Ia diparkir dalam rekening perusahaan swasta tersebut di luar negeri.
Ada delapan perusahaan raksasa kelapa sawit milik aseng di Indonesia, yakni: Martua Sitorus (Thio Seeng Haap); Anthoni Salim (Liem Hong Sien); Sukanto Tanoto (Chén Jiānghé); Peter Sondakh, nonpribumi yang lahir di Manado; Theodore Rachmat (Oei Giok Eng); Bachtiar Karim (Lim Ek Tjioe); Ciliandra Faniago, anak dari Pung Kian Hwa: dan Keluarga Widjaja (Huáng Yìcōng).

Aneh, tapi nyata. Sebab, data tahun 2021 menyebutkan, ada 7,9 juta konsesi perkebunan sawit milik investor asing di Indonesia. Ada 3,7 juta hektare milik Malaysia. Malaysia menguasai 23% lahan sawit Indonesia (15,98 juta hektar), tahun 2022.

Anda masih terperangkap dalam sangkar kapitalisme. Sebab, anda hanya mau dengan modal kecil, tapi mendapatkan keuntungan yang besar tanpa mempersoalkan caranya. Aplikasinya, anda membakar lahan, sesuka hati.

Dampak negativenya, terjadi kebakaran hutan di mana-mana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menyebutkan, dari September 1997 sampai Juni 1998, terjadi kebakaran hutan yang dahsyat di Kalimantan dan Riau. Bahkan, ia termasuk salah satu kebakaran hutan terbesar di dunia dalam dua abad terakhir.
Kebakaran ini, selain memusnahkan 19,7 juta hektare lahan, juga mengakibatkan 100 ribu orang terserang penyakit akibat asap. Tragisnya, 240 orang dinyatakan meninggal dunia. Bahkan, selain jutaan orang terpapar polusi dan musnahnya keragaman hayati, seluruh Asia Tenggara pun menjadi gelap.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga menyebutkan, 2,61 juta hektar lahan terbakar sepanjang tahun 2015. Jumlah ini hampir sama dengan lahan yang terbakar sepanjang 2016 – 2019 yakni, 2,78 juta hektar.
World Bank menyebutkan, kerugian mencapai Rp.211 triliun. Khusus sektor kehutanan dan pertanian, kerugian yang terjadi mencapai Rp120 triliun. Padahal, praktik pembersihan lahan dengan metode pembakaran, sudah dilarang sejak 1995.

KKN dalam pembakaran lahan perkebunan melibatkan anak Jokowi, Gibran dan Kaesang dalam kasus PT BMH. PT ini adalah anak usaha grup PT SM yang diduga terlibat pembakaran hutan yang merugikan negara, Rp. 7,8 triliun.
Ubedilah Badrun, akademisi UNJ, berdasarkan data-data di atas, melaporkan Gibran dan Kaesang serta anak petinggi PT SM ke KPK. Sebab, ada dana penyertaan modal dari perusahaan ventura kurang lebih Rp 99,3 miliar ke Gibran dan Kaesang. Mereka kemudian membeli saham di sebuah perusahaan sebesar Rp 92 miliar.

Kelapa Sawit Menurut Saya
Mayoritas eksportir CPO adalah swasta. Sebab, lahan milik BUMN hanya 5% dari seluruh Perkebunan sawit Indonesia. Pemerintah hanya mendapatkan pajak ekspor. Tragisnya, devisa yang diperoleh, disimpan oleh pengekspor di rekening mereka di luar negeri. Olehnya, pengembangan kelapa sawit Indonesia masa datang, perlu memerhatikan beberapa kualifikasi kualitatif dan kuantitatif, antara lain:
(a) Tanaman sawit tidak boleh ditanam di kawasan yang dipersiapkan dengan cara membakar lahan; (b) Perlu ada koperasi petani sawit yang bertanggung jawab dalam penyediaan bibit unggul dan pupuk yang murah; (c) BUMD dan atau Dinas terkait di setiap kecamatan, mengsosialisasi dan mengsupervisi para petani, baik mengenai cara penanaman, pemupukan, perawatan, panen, maupun penghantaran ke pabrik pengolahan; (d) Perlu ada pabrik bergerak yang masuk perkebunan untuk mengolah buah sawit menjadi CPO; (e) CPO yang diekspor merupakan sisa dari penggunaan bagi keperluan domestik; (f) BUMD, Pemda, dan Koperasi Petani Sawit harus memproduk hasil olahan CPO dalam jumlah yang menyamai pencapaian Malaysia, yakni 260 produk hilirisasi.

Kelapa Sawit Kita
Anda, saya, dan kita semua sepakat bahwa, kelapa sawit merupakan salah satu komoditas primadona Indonesia. Sebab, selain merupakan perkebunan padat karya yang menyerap tenaga kerja dan menumbuhkan ekonomi nasional, sawit juga menjadi salah satu penyumbang devisa Indonesia.

Kementan menyebutkan, tahun 2023, total luas perkebunan sawit, 16,38 juta hektare dengan rincian: 53% (8,64 juta hektare) milik perusahaan swasta; 42% (6,94 juta hektare, perkebunan rakyat); dan 800.000 hektare (5%), milik BUMN.
Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa, sekalipun areal perkebunan sawit Indonesia, terluas di dunia, tapi bukan seluruhnya milik negara. Wajar jika produk hilirisasi sawit di Malaysia jauh lebih banyak dibanding Indonesia.
Penyebabnya: (a) Iklim usaha di Malaysia lebih terjamin keamanan serta keteraturan regulasi; (b) Industri hilir kelapa sawit Malaysia lebih maju; (c) Malaysia lebih berkomitmen terhadap standar keberlanjutan global; dan (d) Malaysia fokus terhadap penanaman kembali tanaman sawit.
Pemerintah mengatakan, kelapa sawit Indonesia menghadapi tantangan-tantagan besar. Namun, kelapa sawit juga punya peluang cemerlang.

Simpulannya, kelapa sawit dapat menjadi komoditas yang selain menyumbang APBN/APBD juga dapat mengantongi devisa dalam jumlah besar. Syaratnya, tiada KKN dalam segala bentuk dan lahan sawit milik BUMN/BUMD di atas 50%.
Dampak positifnya, selain emak-emak tidak lagi antri beli minyak goreng, juga perekonomian nasional, bebas dari oligarki seperti yang terjadi selama ini. Semoga !!! (bersambung) (Depok, 9 Februari 2025).