Partaimasyumi.id – Petilasan Sultan Syarif Hidayatullah. Di tempat itulah “zawiyya’ Shaykh Syarif Hidayatullah. Yang juga jadi fokus kegiatan ‘kesultanan’ awal dulu. Beliau merupakan anak dari Syarif Abdullah dan Nyi Mas Rarasantang. Ini puteri dari Prabu Siliwangi, raja Pajajaran yang kesohor.
Syarif Abdullah, ayah Sunan Gunung Jati, awal membangun ‘keraton’ ini sebagai pusat sentral pengajaran DIN Islam. Yang kemudian diteruskan oleh Sunan Gunung Jati. Masa itulah dakwah Islam mulai masuk ke tanah Jawa. Di tempat ini pula, konon, sering dilakukan pertemuan para Wali di Jawa. Dikenal dengan Wali Songo. Para Wali ini menegakkan DIN Islam di seantero negeri Jawa.
Ujung dari dakwah Wali Songo ini adalah tegaknya ‘kesultanan-kesultanan’. Periode awal munculnya Kesultanan Cirebon dan Kesultanan Demak. Masa itu, dua kerajaan besar tengah dalam masa keruntuhan di Jawa. Di barat, itulah kerajaan Pajajaran. Sementara ditimur, itulah kerajaan Majapahit. Para Wali pun menebarkan Islam, dengan mendirikan ‘sultaniyya.’ Di barat inilah, Kesultanan Cirebon berdiri awal, dengan wilayah yang masih kecil. Tapi karena Sunan Gunung Jati, memiliki darah bangsawan (dari Mesir dan Pajajaran), beliau didapuk sekaligus sebagai pemimpin syariat dan hakekat. Beliau sebagai Mursyid dan Sultan. Sementara di timur, para Wali ‘menemukan’ Raden Fatah, seorang pangeran dari kerajaan Majapahit, dan menjadi Sultan Demak pertama. Trah ini yang kemudian berlanjut hingga melahirkan kebesaran Kesultanan Mataram di Jawa. Inilah wujud tegaknya syariat dan hekakat di negeri Jawa. Dari Cirebon, Islam kemudian menyebar ke Banten dan berdirinya Kesultanan Banten. Sultan Hasanuddin, putera dari Sunan Gunung Jati, menjadi Sultan Banten pertama.
Inilah jalan menuju ‘sultaniyya’ sebagaimana dulu telah digambarkan para ulama terdahulu. Sultaniyya menjadi jalan tegaknya syariat dan hakekat. Sunan Gunung Jati, sebagai penerus Prabu Siliwangi, tentu tak menjadikan ‘hukum yang berlaku di Pajajaran’, sebagai syariat. Bukan pula dengan dasar ‘maqashid syariat’, hukum itu bisa diberlakukan. Melainkan beliau meletakkan ‘syariat Islam’ sebagai landasan tegaknya Kesultanan. Di wilayah itulah, beliau mengajarkan Tauhid yang kemudian berbondong-bondong kaum Cirebon dan sekitarnya menjadi muridnya dan menyebarkan Islam ke seantero Jawa. Dari situlah sentral DIN Islam di wilayah barat Jawa terbesar lebar.
Tentu dakwah para Wali dalam memperkenalkan Islam di negeri Jawa, tak bisa dielakkan dari tassawuf. Karena tassawuf itulah landasan dari Tauhid. Tegaknya Tauhid, maka memunculkan syariat. Di periode ayah beliau, kesultanan belum estbalish berdiri. Melainkan telah memiliki cikal bakal yang mumpuni, yang diteruskan Sunan Gunung Jati.
Buah dari dakwah Wali Songo ini, maka melahirkan Islam yang rahmatain lil alamin. Tentu dengan syariat dan hakekat yang menyatu. Kemudian masa kejayaan Islam pun berlangsung di negeri Jawa. Hingga kemudian pengaruh kolonialisme (bahasa lain:kapitalisme) memecah belah ‘kejayaan’ Kesultanan. VOC, Portugis, British, memperkenalkan pola kapitalisme pada warga di Jawa. Hingga disitulah titik terbelah: pro pada kolonialisme atau menentang kapitalisme. Para pahlawan nasional, yang melakukan peperangan dengan VOC dan antek-anteknya, tentulah yang mengambil sikap kontra pada kapitalisme. Kontra kapitalisme, tentu vis avis dengan tetap menegakkan syariat. Karena kolonialisme, tentu berlawanan dengan syariat. Kapitalisme, tak bisa di-islamisasi-, dengan seolah-olah maqashid syariat. Karena dulu, Sunan Gunung Jati dan Raden Fatah di Demak, mereka para sultan, yang menegakkan syariat.
Dulu, Sunan Gunung Jati dan para Wali Songo tentu menolak ‘hukum Pajajaran’ dan huku Majapahit di Islamisasi. Mereka teguh dengan syariat Islam sebagai ‘the living law’. Maka, demikianlah bagaimana Islam bersikap. Karena kini, hukum Belanda yang sanadnya dari revolusi Perancis, yang berasal dari Romawi pagan, tentu juga tak bisa “diislamisasi”. Karena itu tak sesuai dengan syariat.