Kasus sambo membayangi tubuh Polri sepanjang 2022

January 1, 2023

Oleh: Dr. Ari Yusuf Amir, SH, MH, Pakar Pidana Korporasi dan Pendiri LBH Yusuf

Kaleideskop penegakkan hukum 2022, diwarnai banyak drama yang menguras perhatian publik. Ironisnya, lakon antagonisnya justru diperankan oleh aparat hukum sendiri. Bahkan di level elit. Fenomena ini seakan mempertontonkan fakta, betapa hukum seringkali tumbang justru ditangan aparatnya sendiri. Adagium bahwa mahkota keadilan tidak terletak pada bunyi undang-undang, tetapi dalam hati nurani aparat yang melaksanakannya, sungguh benar adanya. Tanpa integritas aparat, hukum serupa teks yang ditulis di atas air, alias nir fungsi. 

Situasi ini membuat kinerja penegakkan hukum selama tahun 2022 mendapatkan persepsi yang buruk. Sebagaimana ditunjukan hasil survey tingkat kepercayaan publik yang dilakukan oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI), 43% menyatakan penegakan hukum buruk. Hanya 23,4 persen yang menilai kondisi penegakkan hukum baik. Begitu juga, hasil Survei Litbang Kompas yang dirilis akhir Oktober lalu menunjukkan selama setahun ke belakang, tingkat penerimaan publik terhadap lembaga ini memiliki tren negatif.

Bayang Hitam di Tubuh Polri

Fenomena diatas terkonfirmasi dari beberapa kasus yang terjadi sepanjang tahun 2022. Kasus pertama yang membuat bangsa ini geger terjadi di Korp Bhayangkara. Tak lain adalah kasus pembunuhan terhadap Brigadir J (Nofriansyah Joshua Hutabarat) di Rumah Dinas Polri, Jalan Duren Tiga Utara, Jakarta pada 8 Juli 2022. Kasus ini diduga kuat dilakukan oleh FS, yang saat itu menjabat sebagai Kadiv Propam Polri yang merupakan atasanya sendiri. Kasus ini menyeret banyak petinggi kepolisian yang berupaya mengaburkan kejahatan itu. 

Awalnya kasus ini dibuat skenario tembak-menembak, namun belakangan skenario itu buyar berkat kegigihan Menko Polhukam Mahfud MD membongkar kasus ini. Bak drama serial, kasus ini penuh bumbu yang membuat semua mata media tertuju padanya, bahkan dalam rentang waktu lama. Polri, Kejaksaan, MA, DPR, pemerintah dan semua entitas Lembaga penegak hukum seakan dibuat senewen. 

Kini kasus FS disidangkan di PN Jakarta Selatan. FS didakwa terlibat pembunuhan berencana dan dijerat Pasal 340 subsidair Pasal 338 juncto Pasal 55 KUHP. FS juga didakwa menghalang-halangi penegakan hukum obstruction of justicedengan menghilangkan alat bukti rekaman CCTV di lokasi pembunuhan Brigadir J.  FS dijerat Pasal 49 subsidair Pasal 48 ayat 1 juncto Pasal 33 dan 32 ayat 1 UU ITE juncto Pasal 55 KUHP.  Jaksa juga menggunakan Pasal 223 subsidair Pasal 221 ayat 1 juncto Pasal 55 KUHP.  

Belum usai kasus FS, kita kembali dikejutkan kasus besar yang mencoreng kewibawaan Korp coklat itu. Kali ini datang dari Jendral bintang dua, berinisial TM. Baru empat hari ditetapkan sebagai Kapolda Jatim, TM tersandung kasus peredaran narkoba dengan volume yang menghentak nalar publik. Polda Metro Jaya menetapkan TM sebagai tersangka usai gelar perkara pada Jumat, 14 Oktober 2022. Kasus ini juga melibatkan beberapa personil kepolisian. 

TM yang saat itu menjabat sebagai Kapolda Sumatera Barat diduga memerintahkan anak buahnya mengganti barang bukti 5 kilogram sabu dengan tawas. TM kemudian memerintahkan agar sabu itu diserahkan kepada LP untuk dijual. Sabu tersebut bahkan sudah terjual 1,7 kg. Kejahatan ini dibongkar kolega TM di kepolisian.  Atas kejahatannya itu, TM dijerat Pasal 114 Ayat 2 Sub Pasal 112 Ayat 2 Juncto Pasal 132 Ayat 1 Juncto Pasal 55 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dengan ancaman maksimal hukuman mati atau minimal 20 tahun penjara.

Banyak pihak mensinyalir, terbongkarnya kejahatan di korps bhayangkara tersebut wujud dari adanya ‘perang bintang’. Isu ini bahkan terus menggelinding setelah FS dan Kabareskrim Komjen AA saling tuding soal kasus tambang batu bara ilegal di Kalimantan Timur. 

Terlepas dari itu, isu paling mendasar adalah belum berjalannya reformasi di tubuh kepolisian secara menyeluruh, sehingga muncul parasit-parasit dari dalam yang menggerogoti tubuh kepolisian itu sendiri. Karena itu, Polri mesti serius menyelamatkan institusinya. Banyak hal krusial yang harus dibenahi. Diantaranya adalah kecurigaan publik terhadap oknum kepolisian yang menjadi beking bisnis ilegal hingga melakukan pungutan liar. Persoalan ini menjadi modus yang jauh-jauh hari pernah disampaikan oleh Timur Pradopo sewaktu menjabat sebagai Kapolri dalam rapat kerja dengan Komisi III pada 24 Januari 2010 silam. 

Persoalan krusial lainnya adalah soal mutasi dan promosi ditubuh Polri. Selama ini kebijakan mutasi dan promosi ditengarai tertutup dan banyak dipengaruhi faktor kedekatan. Dari sinilah faksi-faksi ditubuh Polri tumbuh subur. Padahal dalam Peraturan Kapolri No 16 tahun 2012 tentang mutasi anggota Polri sudah diatur, bahwa mutasi dilaksanakan berdasarkan prinsip akuntabel, keadilan, transparan, obyektif dan anti KKN. Praktiknya seakan masih jauh panggang dari api. Promosi TM adalah tamsil faktualnya. 

Di sisi lain, kita perlu mengapresiasi komitmen Kapolri yang secara tegas menyatakan siap menghabisi parasit dalam tubuh Polri, mulai dari kepala sampai ke akar-akarnya, agar tak ada lagi prasangka negatif publik terhadap Polri. Diatas itu, peran Presiden dalam reformasi Polri tentu sangat menentukan sebagai pemimpin tertinggi.