Politik Halal Di Partai Masyumi
SYAHRIR, REFERENSI POLITIK KAUM PROLETAR
The legend party, adalah Masyumi. Korelasinya, sebagai basis politik peradaban Islam, dan
bersingkron pada suara demokrasi mayoritas umat Islam di Indonesia. Sinergisnya, terlihat
pada Pemilu tahun 1955, Partai Masyumi, peraih kursi terbanyak di Parlemen. Resonansi
suara dan kursi diparlemen tersebut tak bertahan lama, akibat tergerus oleh kekuatan politik
pemerintah berkuasa, dan Partai Masyumi pun dihilangkan dari sistim pemilu nasional,
berikut sejumlah basis pendukung bermigrasi. Rangkaian resiko berikutnya ketika Partai
Masyumi dilepaskan dari pemilu, imbasnya, umat Islam di Indonesia berkategori, “Mayoritas
tapi minor di suara parlemen.” Seperti disebutkan akademisi Belanda, Willem Frederik
Wartheim, tentang ummat Islam di Indonesia, “Majority with minority mentality” (mayoritas
dengan mentalitas minoritas), atau tertindas secara politik dan terpinggirkan secara ekonomi.
Konsennya, posisi umat Islam di panggung politik, pemilih terbesar tapi kalah dalam meraih
suara terbanyak. Aktualnya, pemilu tahun 2024 lalu, sejumlah partai berbasis Islam, tidak
lolos dalam penetapan hitungan nilai ambang batas kursi diparlemen. Fakta tersebut,
berkategori rasional, umat Muslim di Indonesia cenderung memilih partai berideologi
nasionalis. Antara lain, pengaruh lain mengemuka, Indonesia sebagai penduduk muslim
termayorits, akan tetapi dasar negaranya berbasis sosialis, dan berhaluan “kapitalis –
komunis” atau dalam kurung, dasar negara, bukan Alquran dan hadits. Kategorinya, Umat
Islam di Indonesia terisolasi, atau terlampau menjauh dari ungkapan ilmuan Islam Siauddin
Sardar, “umat Islam harus melewati lokalitas ideologi, wilayah serta pertarungan paradigma.
Tesis itu, melahirkan sejumlah tafsir, dan jika ditarik masuk keruang politik umat Islam di
Indonesia, merekomendasi pemikiran untuk mendorong umat Islam mewujudkan kemajuan
dan berkesejahteraan, dan terdepan dalam kepemimpinan politik. Lalu mengapa momen
tersebut terhambat dan tidak tercapai, prediksinya, karena umat Islam di Indonesia,
terpecah dan gagal bersatu, kecenderungan berikutnya, umat Islam terjebak di pemahaman
konvensional, politik bukan bagian dari perintah agama, bahkan aktivitas politik dan juga
profesi politisi bergumul dengan dosa, seperti politisi mudah berbohong, rekayasa, tak jujur,
suliti dipercaya serta tidak amanah. Hampir seluruh respon politik berkategori percepatan
jalan masuk neraka.
Artikulasi simbolik, bagi umat Islam di Indonesia, super sulit menemukan tokoh atau
pemimpin untuk di jadikan “Kiyai (dalam) Politik”. Asumsinya, melalui gerakan dan aktivitas
politik, mereka dapat tegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Justru terjadi sebaliknya, sebelum
terlebel sebagai politisi, syariat agamanya baik, bergelar ustad dan kiyai, akan tetapi di saat
berpredikat politisi, hampir seluruh larangan agama di “halalkan”. Level tertingginya, “halal
bisa jadi haram dan haram berubah jadi halal.”Sejumlah referensi tersebut, adalah kembali merasionalisasi keteladanan politik Islam seperti
Imam Bonjol, Diponegoro, Cut Nyak Dien, Rohana Quddus. Mereka terbilang sukses berpolitik
berbasis syariat agama Islam, pada momen perlawanan terhadap penjajah.
Interaksi gerakan perjuangan politik para tokoh tokoh Islam terdahulu, direspon sebagai
bagian dalam meluruskan persefsi, sehingga umat Islam di arena politik, tak menjauh dari
koridor syariat agama dan juga para politisi Islam, tak banyak berisiko.
Rangakiannya, ketika seluruh sumberitas perlawanan untuk menegakkan keadilan,
kebenaran dan kesejahteraan umat serta masyarakat dapat disuguhkan dalam arena poitik
di Partai Politik, termasuk Partai Masyumi, maka tersimpulkan politik adalah tempat halal
untuk berjuang meluruskan keadilan dan berkesejahteraan sesuai syariat Islam.
Dari Hutan Kaki Gunung, Di Timur Indonesia