Politik Halal Di Partai Masyumi

April 23, 2025

 

Politik Halal Di Partai Masyumi

SYAHRIR, REFERENSI POLITIK KAUM PROLETAR

The legend party, adalah Masyumi. Korelasinya, sebagai basis politik peradaban Islam, dan

bersingkron pada suara demokrasi mayoritas umat Islam di Indonesia. Sinergisnya, terlihat

pada Pemilu tahun 1955, Partai Masyumi, peraih kursi terbanyak di Parlemen. Resonansi

suara dan kursi diparlemen tersebut tak bertahan lama, akibat tergerus oleh kekuatan politik

pemerintah berkuasa, dan Partai Masyumi pun dihilangkan dari sistim pemilu nasional,

berikut sejumlah basis pendukung bermigrasi. Rangkaian resiko berikutnya ketika Partai

Masyumi dilepaskan dari pemilu, imbasnya, umat Islam di Indonesia berkategori, “Mayoritas

tapi minor di suara parlemen.” Seperti disebutkan akademisi Belanda, Willem Frederik

Wartheim, tentang ummat Islam di Indonesia, “Majority with minority mentality” (mayoritas

dengan mentalitas minoritas), atau tertindas secara politik dan terpinggirkan secara ekonomi.

Konsennya, posisi umat Islam di panggung politik, pemilih terbesar tapi kalah dalam meraih

suara terbanyak. Aktualnya, pemilu tahun 2024 lalu, sejumlah partai berbasis Islam, tidak

lolos dalam penetapan hitungan nilai ambang batas kursi diparlemen. Fakta tersebut,

berkategori rasional, umat Muslim di Indonesia cenderung memilih partai berideologi

nasionalis. Antara lain, pengaruh lain mengemuka, Indonesia sebagai penduduk muslim

termayorits, akan tetapi dasar negaranya berbasis sosialis, dan berhaluan “kapitalis –

komunis” atau dalam kurung, dasar negara, bukan Alquran dan hadits. Kategorinya, Umat

Islam di Indonesia terisolasi, atau terlampau menjauh dari ungkapan ilmuan Islam Siauddin

Sardar, “umat Islam harus melewati lokalitas ideologi, wilayah serta pertarungan paradigma.

Tesis itu, melahirkan sejumlah tafsir, dan jika ditarik masuk keruang politik umat Islam di

Indonesia, merekomendasi pemikiran untuk mendorong umat Islam mewujudkan kemajuan

dan berkesejahteraan, dan terdepan dalam kepemimpinan politik. Lalu mengapa momen

tersebut terhambat dan tidak tercapai, prediksinya, karena umat Islam di Indonesia,

terpecah dan gagal bersatu, kecenderungan berikutnya, umat Islam terjebak di pemahaman

konvensional, politik bukan bagian dari perintah agama, bahkan aktivitas politik dan juga

profesi politisi bergumul dengan dosa, seperti politisi mudah berbohong, rekayasa, tak jujur,

suliti dipercaya serta tidak amanah. Hampir seluruh respon politik berkategori percepatan

jalan masuk neraka.

Artikulasi simbolik, bagi umat Islam di Indonesia, super sulit menemukan tokoh atau

pemimpin untuk di jadikan “Kiyai (dalam) Politik”. Asumsinya, melalui gerakan dan aktivitas

politik, mereka dapat tegakkan amar ma’ruf nahi mungkar. Justru terjadi sebaliknya, sebelum

terlebel sebagai politisi, syariat agamanya baik, bergelar ustad dan kiyai, akan tetapi di saat

berpredikat politisi, hampir seluruh larangan agama di “halalkan”. Level tertingginya, “halal

bisa jadi haram dan haram berubah jadi halal.”Sejumlah referensi tersebut, adalah kembali merasionalisasi keteladanan politik Islam seperti

Imam Bonjol, Diponegoro, Cut Nyak Dien, Rohana Quddus. Mereka terbilang sukses berpolitik

berbasis syariat agama Islam, pada momen perlawanan terhadap penjajah.

Interaksi gerakan perjuangan politik para tokoh tokoh Islam terdahulu, direspon sebagai

bagian dalam meluruskan persefsi, sehingga umat Islam di arena politik, tak menjauh dari

koridor syariat agama dan juga para politisi Islam, tak banyak berisiko.

Rangakiannya, ketika seluruh sumberitas perlawanan untuk menegakkan keadilan,

kebenaran dan kesejahteraan umat serta masyarakat dapat disuguhkan dalam arena poitik

di Partai Politik, termasuk Partai Masyumi, maka tersimpulkan politik adalah tempat halal

untuk berjuang meluruskan keadilan dan berkesejahteraan sesuai syariat Islam.

Dari Hutan Kaki Gunung, Di Timur Indonesia