Perubahan IdeologiI Pengelolaan PLN !

February 20, 2023

Oleh : Ahmad Daryoko
Koordinator INVEST.

Saat berdiri pada 27 Oktober 1945, PLN ditetapkan sebagai Jawatan berdasar Ideologi Etatisme (nasionalisme) sekaligus Ta’jul Furudz (Ideologi Islam), karena diprakarsai oleh MR. Kasman Singodimedjo (Menteri Kehakiman sekaligus tokoh Masyumi). Tegasnya berdirinya PLN saat itu jelas memiliki “stand point ideology” sesuai pasal 33 ayat (2) UUD 1945 “Cabang produksi yang penting bagi Negara dan menguasai hajad hidup orang banyak dikuasai Negara”. Yang saat ini entitas hajad hidup itu sudah dikuasai oleh “segelintir” Aseng/Asing dengan keterlibatan “Oligarkhi Peng Peng” seperti Luhut BP,JK, Dahlan Iskan, Erick Tohir dkk.

Dan orientasinya, PLN bukan lagi sebagai Infrastruktur kelistrikan (sesuai Konstitusi), tetapi sudah berubah menjadi “instrumen komersial” demi keuntungan pribadi dan kelompok !

Pertanyaannya, mengapa bisa terjadi hal seperti diatas ?

Hal tersebut bisa terjadi manakala para penguasa Negeri tidak memiliki lagi Ideologi dan pragmatis untuk kepentingan pribadi !

PERUBAHAN IDEOLOGI.

Perubahan Ideologi Pengelolaan PLN “melenceng” dari Konstitusi secara signifikan atas pengaruh sosok John Perkins agen CIA bidang ekonomi pada 1975 (“The Confession Of an Economic Hitman “, 2004). Saat itu ybs berkantor di PLN Distribusi Jabar, Jl. Asia Afrika – Bandung.

Lewat Perkins kemudian muncul ide pembangkit swasta IPP (“Independent Power Producer”) dengan pola Investor Asing datang ke Indonesia membangun sendiri pembangkitnya di Indonesia, kemudian di ikat melalui Kontrak jual -beli listrik dengan PLN bernama “The Power Purchase Agreement” (PPA). Disinilah muncul ide Clausul TOP (“Take Or Pay”) dimana pembangkit kerja maupun “tidur” tetap dibayar oleh PLN minimal 70% daya perharinya. Akibatnya saat ini PLN harus keluarkan dana Rp 3,5T pertahun saat terjadi “over supply” 25.000 MW lebih.

Disamping itu Perkins juga mulai men setting System interkoneksi untuk Transmisi dan Distribusi Jawa-Bali yang kedepan direncanakan di “Unbundling” secara Vertikal, yang kemudian dikaitkan dengan “The Power Sector Restructuring Program” (PSRP) sebagai “grand design” privatisasi PLN.

Tidak ketinggalan pula dilakukan perubahan “mind set” Ideologi pengelolaan kelistrikan, yang semula komoditas listrik (sejak berdirinya PLN) sebagai “Public goods” (kepemilikan publik) dirubah menjadi “Commercial goods”, sehingga PLN bukan berfungsi sebagai Perusahaan Infrastruktur Kelistrikan Negara tetapi hanya sebagai “Host” System Kelistrikan. Sementara instalasi nya sudah bukan milik PLN lagi. Oleh karenanya PLN (Jawa – Bali ) rawan di permainkan oleh pelaku Kartel Liswas karena mereka saat ini sudah memonopoli seluruh pembangkit di Jawa-Bali, sementara ritail di kawasan ini mulai 2010 sudah dijual seluruhnya oleh Dahlan Iskan ke Taipan 9 Naga.

Dengan demikian PLN Jawa-Bali saat ini hanya menguasai dan meng operasikan jaringan Transmisi dan Distribusi. Dan jaringan itupun saat ini sudah di sewa oleh Kartel Liswas Jawa-Bali dalam skema Pemanfaatan Jaringan secara bersama (“Power Wheeling System”).

KOMPETISI PENUH (MBMS) JAWA-BALI.

Mulai 2010 System Ketenagalistrikan Jawa-Bali sudah dalam kondisi kompetisi penuh atau “Multy Buyer and Multy Seller” (MBMS) System . Ini semua merupakan konsekuensi logis tidak dikuasainya lagi instalasi pembangkit dan ritail oleh PLN, karena sudah dalam kondisi “Unbundling Vertikal” secara total .

Sebelum MBMS, yang terjadi di Jawa-Bali adalah “Single Buyer” System dengan PLN bertindak selaku institusi pembeli tunggal kelistrikan, sedangkan bermacam IPP yang ada sebagai penjual “stroom” yang mereka produksi ke PLN . Selanjutnya PLN menjual “stroom” tersebut secara monopoli ke berbagai macam konsumen yang ada.

Dalam posisi “Single Buyer” System ini , PLN memonopoli penjualan “stroom” ke konsumen. Dan PLN masih mengikuti Regulasi UU No 15/tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dimana PLN masih sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK).

Namun, ketika jaringan Ritail Jawa-Bali pun dijual oleh Dirut PLN Dahlan Iskan mulai awal 2010 ke Taipan 9 Naga, maka monopoli jual/beli “stroom” yang semula dipegang PLN akhirnya lepas menjadi perdagangan bebas yang tidak bisa di kontrol lagi oleh Negara (PLN). Sehingga mulai 2010 Pemerintah terpaksa mengeluarkan subsidi listrik sebesar Rp 100,2T guna menutup lonjakan tarip akibat MBMS yang terjadi (padahal subsidi listrik tahun 2009 dan sebelumnya rata2 hanya Rp 50T). Selanjutnya makin lama subsidi listrik akibat MBMS makin besar, dan pada 2020 mencapai Rp 200,8T (Repelita Online 8 Nopember 2020) meskipun PLN mengumumkan bahwa 2020 untung Rp 5,95T. Dan hal tersebut tidak dapat ditutupi lagi dengan mundurnya Zulkifli Zaini sebagai DIRUT PLN pada 6 Desember 2021.

Diperkirakan tahun 2021 subsidi listrik masih sama dengan tahun 2020 yaitu sebesar Rp 200,8T meskipun PLN dalam Laporan Keuangan menyatakan untung Rp 13,97T. Namun pada 2022 Menkeu SMI menyatakan bahwa subsidi listrik sebesar Rp 133,33T (Energy.com, Januari 2023), itupun setelah tarip listrik dinaikkan rata2 15% pada 2022.

JAKARTA, 17 PEBRUARI 2023.