Pasca Filsafat

November 14, 2023

PASCA FILSAFAT

Irawan Santoso Shiddiq

“Veni, Vidi, Vici”. Julius Caesar mengumandangkannya. Slogan kemenangan, yang dia pikir akan abadi. Karena Caesar kemudian mati di depan para senator. Brutus dan senator menikamnya. Dalam perhelatan resmi Romawi. Caesar mati. Penguasa berganti. Model ‘monarchomach’ diperkenalkan kembali. Mengganti pemimpin yang dianggap ‘abuse of power’ dalam ruang senator. Bukan impeachment. Masa renaissance, Dupllesis Mornay memperkenalkan Kembali. Antitesa dari mahzab ‘politik’, yang bukan satu-satunya.

Caesar memang digdaya. Romawi megah masanya. Tapi dia tak sebanding dengan Alexander the Great, pujaannya. Alexander membawa Yunani Berjaya hingga Asia Tengah. Dia bukan filosof. Walau dia mengangkat Aristoteles sebagai penasehat resminya. Tapi Alexander tak meletakkan filsafat sebagai pondasi Negara Kota yang dibangunnya. Dia kagum pada Achilles, sosok yang mengangkat trah Yunani. Pelukis Italia, Giovanni Paolo, menukiskan Alexander berziarah ke makam Achilles. Dia tak dibakar. Dikubur dan diziarahi.

Achilles, pria yang jujur pada dirinya sendiri. Ian Dallas memahami, untuk paham suasananya, harus melihatnya pada masyarakat yang tanpa nasionalisme, karena belum ada ‘idea’. Karena Yunani belum terpapar filsafat. Tapi Achilles bukan ksatria primitif. Karena ‘edukos’ (Pendidikan) belum didefenisikan. Manusia modern sulit memahami. Karena ruang filsafat telah membatasi. Bukan membebaskan. Achilles orang bebas. Karena dia tahu takdirnya. Berperang akan mati muda. Menetap, akan berjaya. Tapi tanpa mahsyur. Dia jujur. Memilih mati muda, tapi mahsyur. Inilah bentuk harga diri. Yang tak bisa di defenisi. Filsafat memaksa, kita harus membuat defenisi. Inilah belenggu. Bukan kebebasan.

Hamlet pun berkata, “Di atas segala sesuatu, bersikap jujurlah pada dirimu sendiri, dan jagalah malam dan siangmu, engkau tak akan dikelabui siapapun.” Hamlet mewanti, jujur pada diri sendiri, menjadi pembebas dari sistemik yang membelenggu. Karena kini kita berada dalam peradaban teknikal. Peradaban yang membelenggu manusia. Bukan ‘freedom’. Robbiepierre mungkin akan kecewa. “Egalite, Liberte, Fraternite” yang diteriakkannya, malah membuatnya dikudeta. Oleh kaum borjuis, pemilik harta. Peradaban teknikal inilah penyebabnya. Ian Dallas bertanya, “Apakah manusia menginginkan peradaban teknikal?” melainkan, “Mungkinkah peradaban teknikal dapat menoleransi manusia?” Jujurlah pada diri sendiri.

Dari Homer kita tahu Achilles. Tentang peradaban Yunani, yang bukan teknikal. Karena Yunani tak sekedar epos Socrates, Plato atau Aristoteles. Ini pra filsafat. Negara kota, tak sepenuhnya buah rasionalitas belaka. Aeschylus tersohor juga. Sang Pujangga Yunani, yang membahas tragedy. Kisah Oresteia, makna takdir Tuhan mutlak bekerja. Manusia ‘tak punya kehendak bebas’ dalam ‘tragedy’. Ini yang sibuk dibantah filosof abad pertengahan. Hobbes lantang ‘kehendak bebas’ itulah jalan kebebasan manusia. Voltaire lebih gila. Padahal Socrates mati diracun, karena salah kaprah pada “kehendak bebas”-nya. Pilihannya salah. Tapi Aeschylus, memberi catatan, Yunani masih bebas dari teknikal peradaban. Pra filsafat.
Sopochles menambahi. Tentang makna keseimbangan. Dia yakin, ‘takdir’ itu menimbulkan sebab akibat. Bukan causa prima, yang sumbernya manusia. Filsafat membatasi, ‘causa prima’ seolah buah ‘perbuatan manusia.’ Bukan ‘perbuatan Tuhan.’ Karena filsafat membuat manusia seolah subjek yang mengamati. Bukan objek yang diamati. Tapi Yunani pra filsafat, membantahnya. Sopochles, memberikan jawabannya. “Oedipus”, buah karyanya, lebih memberi bimbingan kaum Yunani ketimbang ‘Republic’-nya Plato ataupun ‘Politeia’- Aristoteles. Karena Sopochles tahu jawaban, antara kebebasan dan Takdir.

Ini yang membuat kagum Jean Cocteau. Drama “Oedipus”-nya, dia berkata, “Mesin telah dibangun, dan jebakan telah dipersiapkan, maka kita akan lihat pegasnya terlontar.” Inilah tentang kebebasan dan takdir. Yang bukan ‘diteorikan’. Hingga Yunani kedatangan Socrates, Plato, Aristoteles dan para pendefenisi. Filosof memaksa, seolah morality kata kunci. Padahal ini hanya resume sakwasangka dari akal. Imam al Ghazali telah mengingatkan, kala filsafat melanda Islam. Masa mu’tazilah. “Akal bisa saja salah, tak sepenuhnya benar,” katanya.

Untungnya Alexander tak mengikuti ‘morality’ sebagai bangunan Negara Kota-nya. Dia menegakkan kejujuran diri. Seperti Achilles, yang dikaguminya tadi. Pasca Alexander, dan penggantinya, Yunani pun berakhir. Berganti peradaban Nasrani. Tentu yang belum terpapar filsafat.

Maka, seperti kata Ernst Junger, “disini dan saat ini.” Tentang peradaban kini. Modernitas, hasil dari gojlokan filsafat, yang telah mati. Heidegger memberikan arti. Karena filsafat –kata Heidegger–“Tak bisa menemukan Kebenaran.” Heidegger menutup ‘kedai filsafat.’ Karena disana tak ada Kebenaran Eksistensialisme. Hanya ada Kebenaran essensialisme. Dan itu bukan Kebenaran. Junger memberikan lagi. Nihilisme. Peradaban modernitas, hanya melahirkan Nihilistik. Matinya nilai-nilai. Matinya harga diri.
Karena, Junger berkata, kita tak ada lagi pertanyaan “apa” dan “mengapa”. Yang ada hanya interogasi. Filsafat memang bersifat memaksa. Seperti masa mu’tazilah, kala filsafat “di-Islam-kan”. Memaksa bahwa Al Quran itu makhluk. Rennaisance, ketika filsafat “di-Kristen-kan”, memaksan manusia untuk mengeliminasi Kebenaran Naqli. Ini ulah Descartes, Kant, Marx hingga Einstein yang ilusionis. Hasilnya hanya Nihilisme.

Nihilisme, membawa manusia mayoritas pada ‘slave’. Bukan “freedom”. Tak ada ‘kehendak bebas’ seperti didengungkan Hobbes. Karena Hobbes keliru. Dia hanya mendeteksi manusia pada satu sifat: hewani. Sementara Imam Ghazali memberi lengkap. Manusia terdiri dari tiga sifat: malaikat, setani, atau hewani. Bukan sepenuhnya ‘homo homini lupus.’ Manusia bukan binatang buas. Bukan pula sepenuhnya ‘zoon logicon.’ Tapi manusia akan mutlak memiliki sifat malaikat, jika fakultas qalbu yang dipenuhi. Filsafat hanya meletakkan pada fakultas akal. Modernisme, malah terdegradasi. Manusia sibuk memenuhi fakultas syahwati. Ini bukan lagi filsafat. Makanya Heidegger menutup kedai filsafat. Karena manusia telah terjebak pada syahwati. Bukan lagi dengan akal. Williem Friedmann berkata, hukum tak lagi dibuat filosof, agamawan atau orang berpikir. Melainkan orang para praktisi. Ini yang jamak menggunakan syahwatinya. Inilah akhir dari filsafat. Karena memang filsafat banyak titik lemah. Seperti diingatkan dalam ‘Tahafut al Falasifah’.

Ibnu Khaldun memberikan gambaran. Naqli harus berada diatas Aqli. Bukan aqli semata. Aquinas masih mensejajarkan Kebenaran Naqli dan Kebenaran Aqli. Dia mengutip Al Farabi, tentang emanasi. Kebenaran Ganda. Tapi Cartesius, Kantian, mengeliminasi Naqli. Alhasil jadilah Nihilistik.

Nietszche menegaskan, metafisika telah mati. Makanya filsafat juga mati. Ini tak bisa lagi jadi pondasi membangun society. Karena menjerat manusia pada ketidakberdayaan eksistensi. Sebab filsafat hanya melahirkan Kebenaran essensi.

Modernitas tak lagi membuat lelaki sejati adalah filosof, tapi ‘bisnis man.’ Inilah yang dianggap Ksatria. Buah dari peradaban teknikal. Buah salah kaprah menggali ‘being’ dengan ‘berpikir.’ Karena Heidegger telah mewanti, apa maksud “berpikir”, selain mengingat, menghitung, menghapal. Dan itu keterbatasan akal.

“Kebudayaan pasca filsafat” bukanlah kesempurnaan metafisika. Junger menjawabnya. Yang ada hanyalah nihilisme. Nietszche pun tegas marah. “Filsafat adalah berhala.” Karena manusia terjebak pada peradaban teknikal. Ini yang kaum “berpikir” bisa memahami. Tapi bukan berpikir ala ‘cogito ergu sum’. Melainkan berpikir untuk ‘freihet’ (merdeka). Bukan ‘freedom’.

Islam sudah punya jawaban. Kebudayaan pasca filsafat telah pernah terjadi. Pasca masa mu’tazilah. Orang-orang meninggalkan filsafat. Karena di sana tak ada Kebenaran. Pasca itu, orang kembali pada orientasi pemenuhian fakultas qalbu. Bukan fakultas akal semata. Apalagi fakultas syahwati. Dan itulah tassawuf. Jalan Kebenaran. “Karena akal bisa dibuat memadai dan tidak memadai,” kata Heidegger menutup. Sopochles pun tahu.