Orde Reformasi Yang Tergadai

April 7, 2023

ORDE REFORMASI YANG TERGADAI (3):
POLITIK TANPA JATI DIRI
Abdullah Hehamahua

Politik orde lama, berwajah sinkretisme. Ia tampil dalam bentuk tubuh: Nasionalis, Agama, dan Komunis (NASAKOM). Politik Nasakom itu berakhir dengan peristiwa G30S/PKI. Enam jenderal dan satu perwira diculik, dibunuh secara sadis. Mereka ditimbun secara biadab ke dalam sumur tua di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Politik orde baru berwajah monolitik. Ia tampil dalam bentuk tubuh “regrouping” partai-partai. Pemerintah bubarkan partai-partai secara paksa. Lahirlah PPP dan PDI. Sentralisasi politik rakyat dilakukan melalui Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7).
Politik orde reformasi tidak punya jati diri. Pemerintah mencoba mengulangi pola orla dan orba. Pancasila diperas menjadi Trisila dan Ekasila. Tubuhnya bernama Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP). Ketuanya bilang, musuh utama Pancasila adalah agama. Persis ucapan Aidit, Ketua PKI: “Agama adalah candu.” Jokowi ancam, “jangan campurkan politik dan agama.” Meniru Ketua PKI.?

Pembentukan Parpol
Sejatinya, UUD 45 (asli) tidak kenal partai politik. Sebab, setiap putusan politik diambil secara musyawarah. Hal ini ditegaskan dalam sila keempat Pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Praktiknya, perwakilan golongan profesi, daerah, dan ormas yang ada dalam PPKI, pada 18 Agustus 1945, memilih Soekarno dan Hatta sebagai presiden dan wakil presiden.

KH Wahid Hasyim, Moh. Roem, dan Abdul Kahar Muzakir bertemu, membicarakan posisi politik umat Islam yang kurang repsesentatif di Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Tetiba, Wakil Presiden, Hatta menerbitkan No. X/1945 tanggal 16 Oktober 1945 yang isinya menganjurkan pembentukan partai politik.
,
Tokoh-tokoh Islam, pimpinan pondok pesantren serta perwakilan NU, Muhammadiyah, Persis, PUI, dan lain-lain berkumpul di Yogyakarta. Mereka merespons Maklumat Wakil Presiden tersebut dengan menyelenggerakan Kongres Umat Islam pertama. Kongres tersebut berlangsung pada tanggal 6 – 7 November 1945 di Gedung Mu’alimin Muhammadiyah. Hasil kongres, lahir Partai Politik Islam Indonesia Masyumi. Kongres juga menetapkan KH Hasyim Asy’ari sebagai Ketua Majelis Syura dan Soekiman Wirosandjojo sebagai Ketua Umum Eksekutif.

Politik Orde Lama: Poros Jakarta – Peking
Deliar Noer, doktor ilmu politik pertama di Indonesia mengisahkan ikhwal terbitnya Maklumat X dari Wakil Presiden. Menurutnya, Bung Hatta menginformasikan bahwa, Soekarno akan terapkan kepemimpinan tunggal. Kepemimpinan model komunis China. Soekarno lalu umumkan Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai kendaraan politiknya. Sutan Syahrir bereaksi keras. Syahrir mengusulkan sistem parlementer.
Hatta sebagai cucu dari Syekh Abdurrahman yang terkenal di Sumatera Barat, memahami ajaran Islam mengenai politik dan kenegaraan. Apalagi di daerah Minang, berlaku adagium, “adat bersandikan syara, syara bersandikan kitabullah.” Olehnya, Hatta menolak ide Soekarno tersebut. Dalam kontek itulah, Hatta menerbitkan Maklumat No.X/45 yang menyerukan dibentuknya partai politik.

Badan Konstituante yang dipilih dalam Pemilu paling demokratis dalam sejarah Indonesia, dibubarkan Soekarno. Diterapkan ideologi “demokrasi terpimpin.” Konon, rakyat diberi kebebasan berpendapat tapi tidak boleh bertentangan dengan keinginan Soekarno. Olehnya, selama orde lama, tidak ada Pemilu.
Demokrasi terpimpin Soekarno berkiblat ke Peking, negara komunis terbesar di dunia. Poros Jakarta – Peking mengakibatkan PKI mengdominasi politik nasional. Bahkan, PKI berhasil memengaruhi Soekarno untuk mempersenjatai Angkatan kelima: buruh, tani, dan nelayan. PKI juga memprovokasi Soekarno untuk konfrontasi dengan negara serumpun, Malaysia.
Soekarno dalam upaya mengokohkan kekuasaannya, menerima Tap MPRS No. III/MPRS/1963 yang menetapkan dirinya sebagai Presiden seumur hidup. Jelas, Tap ini bertentangan dengan UUD 45. Tidak ada yang melawan. Satu-satunya partai yang vokal melawan Soekarno dan PKI, Masyumi, sudah dibekukan. Akhirnya, terjadilah peristiwa G30S/PKI yang korbankan enam jenderal dan seorang perwira. Namun, Soekarno meninggal dalam status tahanan rumah. Risiko politik tanpa jati diri.

Politik Orde Baru: Poros Jakarta – Wasington
Soeharto anggap, politik adalah kejahatan. Sebab, menurutnya, politik Nasakom Soekarno berujung dengan peristiwa G30S/PKI. Soeharto lalu mengalihkan politik luar negeri dari Peking ke Washington, AS.
Soeharto pun meniru sistem kepartaian AS. Partai-partai dibubarkan. Istilahnya “regrouping.” Melalui UU No 3/75, hanya ada PPP dan PDI. Sejatinya, semua partai tidak mau dilebur. Namun, kepercayaan Soeharto, Ali Murtopo, membajak partai-partai tersebut. Untuk pribadinya, Soeharto membentuk partai sendiri, Golkar.
Langkah kedua, disatukan semua ormas. Organisasi guru disatukan jadi PGRI. Tani menjadi HKTI. Nelayan menjadi HKNI. Wartawan menjadi PWI. Buruh disatukan dalam FBSI. Wanita menjadi Kowani. Organisasi pemuda menjadi KNPI. Ormas Islam disatukan dalam Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Terakhir, politik orde baru digembok dengan asas Tunggal Pancasila. Semua partai dan ormas yang tidak berasas Pancasila, dibubarkan. Operasionalisasinya, dibentuk BP7 (Badan Pembinaan, Pendidikan, Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). BP7 melahirkan P4 dan PMP. Akhir perjalanan, Soeharto meninggal dalam status terdakwa kasus korupsi. Risiko politik tanpa jati diri.

Orde Reformasi: Poros Jakarta – Beijing – Washington
Orde Lama, Soekarno melawan imprealisme dengan kepemimpinan komunisme. Dibangunlah poros Jakarta – Peking. Orde Baru, Soeharto terapkan kepemimpinan monolitik. Dibangun poros Jakarta – Washington. Orde Reformasi.? Tiada jati diri.

Orde Reformasi mau meniru Soekarno, tapi politiknya, oligarki. Jika Soekarno menerapkan politik anti imprealisme AS dengan keluar dari PBB, orde reformasi justri merangkul Israel, AS, dan Tiongkok. Jika orde baru menerapkan politik monolitik dan anti komunisme, orde reformasi berangkulan dengan komunisme China. Bahkan, secara regular, dikirim perwira, pejabat, dan anggota legislative mengikuti Bimtek di Beijing. Pola komunisme orde reformasi diterapkan melalui pemberangusan hak politik rakyat melalui “parliamentary threshold.” dan “president threshold.”

Hak politik rakyat diberangus tanpa Pemilu selama orde lama. Politik pemerintahan Soeharto didominasi Dwifungsi ABRI. Pada orde reformasi, TNI dikandangkan di barak-barak. Namun, kepolisian merajalela di seluruh sektor kehidupan. Klimaksnya, ada negara dalam negara. Hal ini terbukti dengan adanya Satgasus Polri dan pembunuhan brigadir Yosua oleh jenderal Sambo.

Orde Lama terapkan “demokrasi terpimpin.” Sebab, tidak ada Pemilu. Orde Baru, Pemilu gunakan sistem proporsional tertutup. Sebab, peserta Pemilu adalah partai politik. Jadi, yang dipilih, partai. Orde reformasi terapkan proporsional terbuka. Jadi, yang dipilih, bukan partai, tapi individu. Itulah sebabnya, ada artis yang jadi kepala daerah atau anggota legislative. Banyak pengusaha yang jadi anggota legislative.
Pada masa Orba, produk legislasi, relative berkualitas. Sebab, naskah akademik suatu UU disusun para pakar. Orde reformasi, hampir semua UU dibawa ke MK. Ini karena naskah akademik RUU, kurang berkualitas. Sebab, tidak ada guru besar dan doktor pelbagai disiplin ilmu terlibat dalam penyusunan naskah akademis RUU. Ini karena, UU melarang PNS menjadi anggota DPR. Wajar jika “The Economist Intelligence Unit”(EUI), menyebutkan, skor indeks demokrasi Indonesia, 6,3 (2020), peringkat 64 dunia. Simpulannya, Orde Reformasi telah tergadai. Sebab, rezim Jokowi tidak punya jati diri, apakah Pancasilais, komunisme, atau liberalisme. (Depok, 5 April 2023).