Mengenang Sosok Ulama Betawi dari Kalibata – Kyai Raden Haji Muhammad Amin atau Guru Amin (1901-1965)

November 4, 2025

Mengenang Sosok Ulama Betawi dari Kalibata – Kyai Raden Haji Muhammad Amin atau Guru Amin (1901-1965)
Oleh : Roys Qaribilla, S.Ud., M.Pd., M.H., M.Sos.

Seorang ulama betawi yang lahir pada tanggal 3 Juni 1901 di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Guru Amin Wafat pada tanggal 31 Agustus 1965 yang bertepatan pada tanggal 04 Jumadil Ula 1385 H, Awalnya, jenazahnya akan dimakamkan di TMP Kalibata. Sebab, tokoh ini memang layak dikebumikan di sana. Guru Amin termasuk figur nasional yang telah menerima Surat Veteran sebagai tanda resmi pengakuan negara atas jasa-jasanya. Namun, Ketua DPR-RI waktu itu H Syaikhu dan Wakil Gubernur DKI Jakarta H Syafi’ie menyarankan agar jenazah Guru Amin tidak dimakamkan di TMP Kalibata. Saran disampaikan agar para murid-murid almarhum Guru Amin bisa dengan mudah untuk berziarah. Kemudian dimakamkan di komplek pesantrennya, di jalan raya Pasar Minggu, Kalibata Jakarta-Selatan. Sesuai Keputusan Gubernur Nomor 565 Tahun 2022 tentang Penetapan Nama Jalan, Gedung, dan Zona dengan Nama Tokoh Betawi dan Jakarta, nama Guru Amin dijadikan nama Jalan KH Guru Amin, menggantikan Jalan Raya Pasar Minggu.

Nasabnya yang berujung kepada Pangeran Sanghiang Jatinegara Kaum, ayahnya bernaman KH Raden Muhammad Ali (dikenal sebagai Guru Ali) dari Jatinegara Kaum – Jakarta Timur, dan ibunya bernama Maryam menunjukkan rekam jejak leluhurnya sebagai bangsawan Jayakarta yang terus menerus melakukan perlawanan sejak kedatangan belanda ke tanah betawi. Nasab / silsilah keturunan dari pihak ayah beliau dikatakan bersambung ke Pangeran Muhammad Syarief atau Pangeran Sanghiyang, tokoh agama asal Banten yang berperan melawan kolonialisme.
Ia pernah memimpin para santri dan pemuda dalam pertempuran melawan Belanda di Kalibata, tepatnya sekitar pabrik sepatu yang kala itu masih berupa hutan karet. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Padahal, kekuatan persenjataan Pribumi tak secanggih yang dimiliki serdadu kolonial. Berdirinya taman makam pahlawan di Kalibata antara lain diilhami dari peristiwa heroik tersebut.
Pada saat usia 10 tahun, ia sudah mempelajari ilmu-ilmu dasar agama Islam. Sebagai contoh, ilmu nahwu, tauhid, fikih, dan lain-lain. Ia memang sudah terlihat cemerlang sejak usia belia. Oleh karena itu, ayahnya tidak terus mendorongnya agar kelak menjadi seorang ulama.
Semasa kecil Guru Amin tinggal di Kalibata Pulo dan belajar ilmu agama dari ayahnya. Saat usianya baru menginjak usia 12 tahun, ayahnya meninggal dunia pada 1913. Amin pun merasa sangat sedih kehilangan bapak sekaligus guru tercintanya. Setelah itu, ia mempelajari sendiri kitab-kitab peninggalan almarhum. Ia juga belajar kepada kakaknya, KH Zainudin atau Guru Ending. Ia melanjutkan belajar sendiri kitab-kitab yang ditinggalkan ayahnya. Selain kepada ayah dan kakaknya, Amin juga berguru kepada Guru Marzuqi Cipinang Muara, Guru Mansur Jembatan Lima, Guru Abdurrahim Kuningan, dan Syaikh Mukhtar At-Tharid

Pada tahun 1919 saat usianya masih 18 tahun, ia menikah dengan Fatimah. Pasangan itu lantas hijrah ke Kalibata, Jakarta Selatan. Untuk menghidupi keluarganya, Amin berbisnis barang-barang bahan bangunan. Profesi yang banyak digeluti para haji di Betawi pada masa itu, dari pernikahan itu dia dikaruniai 19 orang anak. Ia berhasil merintis usahanya dengan baik. Pada 1930, ia dapat membeli tanah seluas kira-kira satu hektare di pinggir Jalan Raya Pasar Minggu (kini menjadi bagian dari Taman Makam Pahlawan Kalibata). Di atas tanah itu, Amin tak hanya membangun rumahnya, tetapi juga Pondok Pesantren Unwanul Huda.[. ]
Tahun 1946 Guru Amin pindah ke Cikampek setelah menyadari bahwa kondisi di Kalibata sudah tidak lagi kondusif. Dua tahun kemudian, ia kembali ke Kalibata dan menemukan kediamannya telah diobrak-abrik. Di sisi lain, kedatangannya kembali disambut sangat baik oleh masyarakat setempat. Guru Amin juga kerap mendatangi rumah-rumah warga untuk bersilaturahmi. Namun, kegiatan kunjungannya sempat membuat Belanda curiga bahwa ia sedang melakukan mobilisasi massa. Akibatnya, Guru Amin dilarang keluar rumah kecuali mengajar di Pesantren Unwanul Huda.

Sejak pertempuran di Kalibata, Guru Amin selalu dicari-cari oleh Belanda dan antek-anteknya. Pernah suatu hari, pasukan Belanda menemukan Guru Amin sedang berada di rumah mertuanya, H Abdullah. Saat itu, ia sedang ditemani putranya, Hasbullah Amin, dan seorang sanak familinya yang keturunan Arab, Syarifah. Ia memimpin santrinya dalam pertempuran melawan belanda di Kalibata, sehingga Guru Amin menjadi salah satu target penangkapan tentara belanda. Bahkan beberapa kali rumah Guru Amin dan keluarga Guru Amin didatangi belanda, sehingga Guru Amin akhirnya melarikan diri ke Cikampek.
Belanda mengira, Guru Amin adalah bapak dari Syarifah. Perempuan itu pun ditanya, “Apa dia bapakmu?”
Syarifah menjawab tanpa ragu, “Iya.”

Mendengar jawaban itu, para serdadu Belanda itu pun meninggalkan kediaman mereka. Pencarian atas Guru Amin pun dilanjutkan di tempat lain. Sang alim pun selamat dari penangkapan, karena situasinya sudah tidak kondusif lagi, maka pada 1946 Guru Amin hijrah ke Cikampek. Untuk sampai di sana, ia menggunakan kereta api dari Stasiun Manggarai. Sepanjang perjalanan, ia menyamar sebagai seorang tukang beras. Selama dua tahun, Guru Amin ditampung oleh sahabatnya, KH Syafi’i Ahmad.
Ketika berada di Cikampek bersama para santrinya ia juga memimpin pertempuran melawan belanda di beberapa front. Berbagai pertempuran pun pecah di sejumlah front. Hingga akhirnya, Guru Amin kembali lagi ke Kalibata pada 1948. Ternyata, rumahnya sudah diacak-acak Belanda. Semua kitab yang disimpan di tiga lemari dihancurkan sehingga tidak bisa digunakan lagi. Kendati demikian, masyarakat setempat tetap menyambut kedatangan Guru Amin dengan suka cita.

Bahkan, hampir tiap hari rumah Guru Amin dikunjungi oleh santri dan khalayak umum. Belanda kemudian mencurigai, sosok yang sedang diburunya itu hendak melakukan mobilisasi massa. Penguasa kolonial lantas melarang Guru Amin dan keluarganya untuk keluar rumah kecuali dalam menunaikan tugas mengajar di Pesantren Unwanul Huda.
Pada masa kemerdekaan ia ikut serta dalam KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) dan juga Dewan Perumus Persiapan Proklamasi Kemerdekaan. Guru Amin menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan anggota Dewan Perumus Persiapan Proklamasi Kemerdekaan bersama Soekarno, Mohammad Hatta, Abdul Kahar Muzakkir, Moh Yamin, Soepomo, dan masih banyak lagi. Sejak proklamasi pada 17 Agustus 1945, Indonesia berdiri sebagai suatu negara berdaulat. Pemerintah pusat melalui Ir Sofwan akhirnya meminta Guru Amin menjadi ketua Mahkamah Islam Tinggi (MIT) yang berkedudukan di Solo, Jawa Tengah. Namun, mubaligh itu menolak tawaraan tersebut secara halus. Ia mengaku, dirinya tidak mendapat restu dari sang ibu. Akhirnya jabatan tersebut diserahkan kepada KHR Muhammad Adnan.

Bersama para tokoh nasional, ia sering mengadakan rapat penting di rumah Soekarno, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta Pusat. Guru Amin berkawan akrab dengan Kyai Noer Ali Ujung Harapan, yang kemungkinan mempengaruhi aktifitas Guru Amin kemudian dalam perjuangan kemerdekaan dan Partai Masyumi. Dalam hal organisasi sosial, Guru Amin dikenal sebagai tokoh Nahdlatul Ulama. Di dunia politik pergerakan, Guru Amin pernah berkiprah dalam Partai Masyumi. Oleh karena itu, rumahnya kerapkali dikunjungi para tokoh Masyumi, seperti Muhammad Natsir, Buya Hamka, Abu Bakar Aceh, Harsono Cokroaminoto dan lain-lain.

Ketika Guru Amin kembali ke rumahnya di kalibata pada 1948, ternyata isi rumahnya sudah berantakan karena didatangi dan digeledah paksa oleh belanda yang mencari keberadaan Guru Amin. Semua kitab yang disusun dalam tiga lemari berantakan, dan tidak bisa digunakan lagi. Namun demikian, karena situasi Jakarta yang masuk ke dalam kawasan zona damai, membuat Guru Amin tidak lagi menjadi target penangkapan. Namun demikian, karena setiap hari rumah Guru Amin selalu didatangi oleh para santrinya, maka pihak belanda curiga bahwa Guru Amin akan memobilisasi massa untuk melawan belanda. Alhasil kemudian, aktifitas Guru Amin dibatasi belanda, dimana beliau hanya diperbolehkan keluar rumah hanya untuk mengajar di madrasahnya di Pesantren Unwanul Huda. Guru Amin tidak diperkenankan ke tempat lain, hinga kemudian belanda angkat kaki setelah penyerahan kedaulatan 1950.[. Ahmad Fadli HS. Ulama Betawi: Studi Tentang Jaringan Ulama Betawi dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Islam Abad ke-19 dan 20.. Jakarta: Manhalun Nasyi’in

Pada 1950, Guru Amin diminta oleh menteri agama saat itu, KH Masykur, untuk membentuk penghulu (sekarang Kantor Urusan Agama) di sekitar Jakarta, Bekasi, Tangerang, serta Karawang, dan menjadi ketuanya. Guru Amin juga sempat diminta menjabat sebagai Ketua Mahkamah Islam Tinggi (MIT) di Solo, Jawa Tengah, tetapi menolak karena tidak mendapat restu dari sang ibu.

Setelah belanda angkat kaki, Guru Amin berkhidmat di organisasi Nahdlatul Ulama dan Partai Masyumi. Guru Amin adalah orang yang berhasil mengorganisir keberadaan penghulu agama di Jakarta, bekasi, tangerang dan karawang atas perintah menteri agama, KH. Masykur. Setelah berhasil menyelesaikan tugas itu, Guru Amin ditunjuk sebagai kepala para penghulu atau KUA kawasan tersebut.

Guru Amin merekrut santrinya dan dalam waktu singkat terbentuk 22 penghulu di 22 kecamatan se-Jakarta dan sekitarnya, termasuk kawasan-kawasan yang kala itu cukup terpencil, semisal ; Tambun, Cibitung, Lemahabang hingga Pebayoran dan Cabangbungin. Guru Amin kemudian diminta untuk menjabat sebagai Kepala Penghulu untuk mengawasi kepala-kepala KUA. Setelah tugas membentuk KUA selesai, Guru Amin kemudian melaporkan langsung kepada Menteri Agama KH Masykur. Selanjutnya KH Masykur meminta bantuan Guru Amin untuk bersedia menjadi Kepala Penghulu yang mengawasi kepala-kepala KUA.

Diantara beberapa karya Guru Amin, sebagai berikut;[. Majalah Risalah NU Edisi 123. (2021). Majalah Risalah NU Edisi 123, Mewujudkan Kebenaran dalam Kebersamaan. Edisi 123. Tahun XIV. 1443 H. ]
-Kitab Badi’atul Fikriyah
-Kitab Mudzakaratul Ikhwan
-Kitab Riyadhul Abrar
-Kitab Hidayatul Ikhwan
-Kitab Sabilal Mubtadi