Abdullah Hehamahua
Konperensi Meja Bundar (KMB) di Denhaag, Belanda, berjalan alot. Sebab, KMB yang berlangsung dari 23 Agustus – 2 November 1949 tersebut, ada dua hal yang sulit diselesaikan: pembentukan Uni Indonesia – Belanda dan utang Belanda. Akhirnya, disepakati beberapa butir rumusan di antara kedua negara, yakni: (a) Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat pada akhir Desember 1949; (b) Dibentuk Uni Indonesia-Belanda. Dalam uni itu, Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam kedudukan yang sederajat; (c) Indonesia akan mengembalikan semua milik Belanda dan membayar utang-utang Hindia Belanda sebelum tahun 1949; (d) Penarikan kapal-kapal Belanda serta beberapa corvet atau kapal perang kecil diserahkan ke Indonesia; (e) Penarikan tentara Belanda dari wilayah Indonesia; (f) Masalah Irian Barat akan dibahas satu tahun kemudian.
Abah Natsir ketika menjawab pertanyaanku (1981), mengatakan tiga alasan penolakannya terhadap hasil-hasil KMB. Pertama, Masyumi menginginkan negara kesatuan, bukan RIS. Kedua, Indonesia adalah negara berdaulat yang mencapai kemerdekaannya melalui perjuangan berdarah para pahlawan Islam, mulai dari Teuku Umar di Aceh sampai dengan Ahmad Lusy (Pattimura) di Maluku. Ketiga, Masyumi menolak Irian Barat tidak dimasukkan dalam wilayah Indonesia. Sebab, masih menurut Abah Natsir, Irian Barat adalah salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Ternate.
Kukuh dengan pendirian Masyumi, Abah Natsir menolak untuk duduk dalam Kabinet Hatta. Beliau justru melobi para sultan dan raja di seluruh Indonesia agar mau bergabung dalam satu negara kesatuan, NKRI. Abah Natsir sebagai Wakil Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP – sekarang DPR) juga melobi fraksi-fraksi di perlemen RIS. Hasilnya, pada tanggal 3 April 1950, Mohammad Natsir, Ketua Fraksi Masyumi mengajukan pidato penomenal yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Mohammad Natsir.” Gagasan Abah Natsir diterima secara aklamasi oleh parlemen.
PM Mohammad Hatta menjadikan Mosi Integral tersebut sebagai dasar untuk membentuk suatu komite yang kemudian menyusun UUD 1950. Presiden Soekarno pada tanggal 15 Agustus 1950, di depan sidang parlemen, membacakan piagam NKRI. Maknanya, tanggal 3 April 1950 adalah hari kemerdekaan kedua Indonesia. Ia diproklamirkan oleh Mohammad Natsir, Ketua Umum Partai Masyumi. Menindak-lanjuti terbentuknya NKRI tersebut, wartawan senior, Rosihan Anwar menanyakan Presiden Soekarno: Apakah Mohammad Natsir yang akan ditunjuk sebagai Perdana Menteri (PM).? “Siapa lagi kalau bukan Natsir,” jawab presiden Soekarno. Jadi, Abah Natsir adalah PM pertama NKRI.
Simpulannya, wajib hukumnya bagi Pimpinan Masyumi sekarang untuk menjaga, melindungi, dan mengamankan NKRI dari pelbagai gangguan. Sebab, fakta di lapangan, oligarki sudah menguasai hampir seluruh aspek kehidupan rakyat. Bahkan, kekayaan empat orang naga, setara dengan yang dimiliki 100 juta rakyat miskin. Pada waktu yang sama, angka penganggguran terus meningkat tapi tenaga kerja asing dan aseng leluasa memasuki wilayah Indonesia. Harga kebutuhan pokok terus naik tapi pemerintah membiarkan koruptor leluasa membawa keluar uang rakyat. Belum lagi, rongrongan ideologi oleh ajaran kapitalis, sosialis, dan komunis yang jelas bertentangan dengan sila pertama Pancasila dan pasal 29 UUD 45 yang menetapkan Indonesia sebagai negara tauhid. Semoga !!! (Depok, 9 Agustus 2022).