Jokowi Dapat Dihukum Mati?(15)

April 20, 2025

JOKOWI DAPAT DIHUKUM MATI ? (15)

Abdullah Hehamahua

Penulis, dalam seri 1 sampai 14, mengkomunikasikan korupsi material dan politik yang dilakukan Jokowi selama 10 tahun. Penulis, hari ini, mengkomunikasikan jenis korupsi ketiga yang dilakukan Jokowi, yakni: KORUPSI INTELEKTUAL.
Korupsi intelektual adalah kejahatan yang dilakukan oleh guru, dosen, ustadz, ustadzah, kiyai, ulama, pendeta, pastor, romo, biku, dan profesi sejenisnya. Perkataan lain, korupsi intelektual adalah kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang punya ilmu, pengetahuan, informasi, dan data, tapi dirahasiakan, dimanipulasi atau disalah-gunakan untuk kepentingan tertentu.
Kasus paling telanjang saat ini adalah sikap UGM dan sebagian akademisi yang seakan-akan merahasiakan kasus ijazah Jokowi. Bandingkan dengan universitas Erasmus, di Rotterdam, Belanda yang sangat transparan. Sebab, universitas ini memajang foto ijazah Bung Hatta sebagai bukti bahwa, mantan Wakil Presiden Indonesia itu adalah lulusan kampus tersebut.

Korupsi Intelektual Orde Reformasi
Ijazah palsu atau aspal (asli tapi palsu) di Indonesia boleh dibilang, sudah jamak. Sebab, setiap Pemilu dan Pilkada, khususnya dalam era reformasi, ijazah aspal menjadi salah satu berita media massa.
Panwaslu Propinsi DKI Jakarta misalnya, 4 Maret 2004, melaporkan 23 caleg ke Polda Metro Jaya karena menggunakan ijazah palsu dalam Pileg 2004. Bahkan, dikatakan, ada caleg yang membeli ijazah SMA di Jakarta seharga Rp. 2 juta. Hal serupa terjadi di daerah lain,
Anggota Bawaslu, Wirdyaningsih, 4 November 2009, di Bareskrim Polri, meyebutkan, ada 44 kasus caleg DPR Pusat bermasalah. Mayoritas mereka terlibat kasus ijazah palsu.
Tragisnya, mantan Bupati Bangkalan yang ditangkap KPK (2014) dipersoalkan ijazahnya, dengan santai menjawab: “saya akan laporkan orang yang mengurus ijazahku tersebut.” “Mengapa.?” “Sebab, saya suruh beli yang asli, mengapa beli yang palsu,” kata Fuad Amin, sang mantan bupati, tanpa risih.
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa, korupsi intelektual cukup marak di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah:

1. Pimpinan dan anggota KPU ditangkap KPK, 2004. Sebab, mayoritas pimpinan dan anggota KPU waktu itu adalah profesor dan doktor yang sehari-hari bertugas sebagai dosen.
2. Mantan Menteri Agama-nya Megawati ditangkan Kejaksaan Agung, tahun 2012. Beliau ditersangkakan karena penyalah-gunaan dana abadi milik calon jamaah haji. Bahkan, Menteri Agama-nya SBY juga ditangkap KPK (2014) karena kasus yang sama, pelaksanaan ibadah haji
3. Korupsi pengadaan Al-Qur’an yang dilakukan pejabat Kemenag, tahun 2012.
4. Beberapa ulama dari Kutai Kertanegara, Kalteng meminta agar KPK membebaskan bupati Kutai Kartanegara, Syaukani yang ditahan pada tahun 2006. Sebab, menurut mereka, bupati biasa membantu dakwah di wilayah tersebut. Jadi, dakwah dilaksanakan dengan menggunakan dana korupsi.

Fakta-fakta di atas menunjukkan, Kementerian yang mengurus hati dan iman rakyat, korup. Ternyata, hal yang sama terjadi pula di Kementerian yang mengisi otak anak didik: Kementerian Pendidikan Nasional.

ICW dalam laporannya mengenai korupsi di Kemendiknas, (2004 – 2009), cukup memprihatinkan. Sebab, terdapat 142 kasus korupsi di mana 287 pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka.

Korupsi Intelektual Rezim Jokowi
Rezim Jokowi, selama sepuluh tahun, melakukan puluhan korupsi intelektual. Penulis, karena keterbatasan ruangan, hanya mengkomunikasikan beberapa korupsi intelektual rezim Jokowi, antara lain:
1. ICW dalam laporannya, menyebutkan, dalam enam tahun terakhir kepemimpinan Jokowi, ada 240 kasus korupsi di Kemendiknas. Kasus-kasus tersebut meliputi Pengadaan Barang dan Jasa, penyalah-gunaan dana BOS, serta penerimaan mahasiswa baru. Bahkan, KPK, tahun 2022 menangkap rektor Univ. Lampung (Unila) karena terlibat penyuapan dalam penerimaan mahasiswa baru.
2. Mantan Menteri Agama-nya Jokowi, Yaqut Cholil Qoumas sampai hari ini menjadi buronan Komisi VIII DPR karena kasus jatah calon jamaah haji khusus.
3. Jokowi bergelar Drs ketika mengikuti Pilkada Solo, tahun 2005. Padahal, kuliahnya di Fakultas Kehutannan UGM, jika betul beliau kuliah di situ.
Jika UGM langsung meluruskan kesalahan berita tersebut, kasus ijazah Jokowi tidak berkembang secara nasional seperti sekarang. Mungkin, pihak UGM tidak membaca berita tersebut sehingga tidak memberikan klarifikasi.
Namun, Humas Kota Solo tentu membaca berita tersebut. Sebab, salah satu tugas Humas adalah membuat kliping koran atas semua kegiatan bosnya. Jokowi dengan sendiri membacanya. Malangnya, tidak ada koreksi dari beliau.

4. Korupsi intelektual yang penomenal adalah sebagian alumni UGM, khususnya yang berstatus akademisi, tidak transparan mengenai status kemahasiswaan Jokowi dan ijazahnya. Sampai-sampai, Jokowi tidak mau menunjukkan ijazah aslinya ke orang lain, baik wartawan maupun pengunjuk rasa. Ada dugaan, Jokowi enggan memperlihatkan ijazah aslinya karena dua hal:

(a) Foto wisudah Jokowi (1985), menimbulkan polemik. Sebab, orang keempat dari kiri di barisan belakang adalah mahasiswa yang berkacamata dan gondrong, Padahal, Jokowi tidak berkacamata, dan juga tidak gondrong.
Bentuk struktur bibir, kuping, gigi dan hidung di foto ijazah, jauh beda dengan yang dimiliki Jokowi . Uji “deep fake detection,” membuktikan, foto di ijazah, tidak sama dengan foto Jokowi. Beliau bilang, dosen Pembimbingnya Kasmudjo, tapi tidak ada nama tersebut di lembar pengesahan skripsi.
Pencatuman gelar Profesor bagi Dekan di ijazah Jokowi (tahun 1985), padahal pegukuhannya baru dilakukan tahun 1986 Tanda tangan dan ejaan nama Dekan, berbeda dan salah.

(b) Format skiripsi dan font serta jenis huruf yang digunakan dalam skripsi Jokowi, berbeda dengan yang lazim pada masa itu.
Prof. Saratri Wilonoyudho, Guru Besar Univ. Negeri Semarang (Unnes), juga alumni UGM, turut berkomentar. Melalui akun Instagram @saratri_wilonoyudho, beliau mengunggah foto ijazah sarjana tekniknya yang terbit tahun 1986. Saratri mengatakan, jenis font yang digunakan di ijazahnya masih bergaya lama. Padahal, ijazah Jokowi, setahun sebelumnya, tapi font-nya seperti mirip Times New Roman.
Saratri juga mengatakan, ada dua perbedaan lain yang kentara. Ijazah Saratri tidak ada materai sementara ijazah Jokowi ada meterai. Perbedaan mencolok kedua, Jokowi mengenakan kacamata. Padahal, waktu itu, tidak diperkenankan memakai kacamata dalam ijazah.
Roy Suryo, pakar telematika, malah mengatakan, foto yang diakui sebagai Jokowi tersebut adalah sepupuhnya.

Simpulannya, Penulis menyarankan Aparat Penegak Hukum, menguji semua ijazah Jokowi, sejak SD sampai sarjana di laboratorium. Uji carbon misalnya, dapat diketahui usia kertas dan tinta yang digunakan oleh mereka yang bertanda-tangan di situ. Hasilnya dapat dijadikan sebagai barang bukti, apakah Jokowi dapat dihukum mati atau tidak. Semoga !!! (Shah Alam, 19 April 2025).