Bulan Syawal, Momentum Meneguhkan Ketakwaan Di Seluruh Aspek Kehidupan (Pasca Ramadhan)

April 17, 2025

Bulan Syawal, Momentum Meneguhkan Ketakwaan Di Seluruh Aspek Kehidupan
(Pasca Ramadhan)

Alhamdulillah kita telah selesai menjalankan ibadah puasa di bulan ramadhan, telah sebulan penuh kita dilatih untuk taat kepada Allah melalui ibadah puasa. Kita menunaikan yang menjadi rukun-rukun puasa dan kita menjauhkan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa.

Sehingga puasa seolah-olah seperti miniatur dari takwa, karena takwa adalah imtiṡālu awāmirillahi wajtinābu nawāhih yakni melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya, sedangkan dalam puasa itu ada perintah-perintah dan larangan-larangan yang harus kita taati. Sehingga dikatakan puasa dapat membuat pelakunya memiliki sikap takwa, yakni kesediaan untuk taat dan tunduk terhadap segala perintah dan larangan Allah. Sebagaimana Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. QS. Al-Baqarah [2]: 183

Maka yang jauh lebih penting dari ibadah puasa itu adalah agar kita meneguhkan ketakwaan itu di bulan-bulan lain setelah ramadhan. Dan Allah memerintahkan kita agar bersungguh-sungguh dalam bertakwa kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقٰىتِهٖ وَلَا تَمُوْتُنَّ اِلَّا وَاَنْتُمْ مُّسْلِمُوْنَ
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. QS. Ali Imran [3]: 102

Diiwayatkan secara marfu, Rasulullah ṣalallahu ‘alaihi wassalam bersabda dalam menjelaskan ayat ini:
حَقَّ تُقَاتِهِ هُوَ أَنْ يُطَاعَ فَلَا يُعْصَى، وَيُذْكَرَ فَلَا يُنْسَى، وَيَشْكُرَ فَلَا يُكْفَرَ
“sebenar-benar takwa kepada-Nya adalah hendaknya Allah ditaati, tidak boleh bermaksiat kepada-Nya, selalu ingat kepada-Nya dan tidak melupakan-Nya serta bersyukur kepada-Nya dan jangan ingkar kepada (nikmat)-Nya.”

Maka jika ada pejabat negara yang masih korupsi selepas ibadah puasa di bulan ramadhan, bisa dipastikan dia tidak lulus dari latihan takwa selama ramadhan, karena pejabat yang korupsi itu jelas telah bermaksiat kepada Allah, melupakan Allah dan tidak bersyukur atas nikmat menjadi pejabat yang telah diberikan oleh Allah Subhanahu wata`ala.

Ibadah puasa yang sudah kita jalankan sebulan penuh ini harusnya bisa menjadi pendorong kuat untuk ketaatan yang lebih sempurna. Dijelaskan oleh Fakhruddin Ar Razi dalam kitab tafsirnya Mafaatih al-Ghaib bahwa keinginan terhadap makanan dan istri (yang dinikahi) itu jauh lebih besar dibandingkan keinginan terhadap segala sesuatu yang lain, ketika telah mudah atas orang-orang yang beriman untuk bertakwa kepada Allah dalam meninggalkan makanan dan istri, maka bertakwa kepada Allah dalam meninggalkan segala sesuatu yang lain akan jauh lebih mudah dan ringan.

Sehingga ketaatan kita kepada Allah haruslah mencakup seluruh aspek kehidupan, karena Islam adalah agama yang diturunkan Allah secara sempurna. Kita tidak boleh hanya mengambil Islam dalam apek spiritual saja dan membuang aspek-aspek yang lainnya.

Sebagaimana kita ketahui bahwa perintah puasa menggunakan kata “kutiba”. Makna kata (كُتِبَ) kutiba secara tekstual adalah “telah ditulis”, namun para ulama menjelaskan makna kutiba pada ayat tersebut adalah “furidha wa utsbita” yaitu telah diwajibkan dan ditetapkan, sehingga makna kutiba `alaikum as-shiyam adalah faradha Allahu `alaikum as-shiyam yaitu Allah telah wajibkan atas kalian berpuasa. Yang menariknya lagi, menurut al-Farra semua frasa kutiba alaikum dalam al-Qur’an bermakna furidha alaikum (diwajibkan atas kalian). Dan kita mengetahui Allah menggunakan kata kutiba tidak hanya pada ayat perintah puasa, namun juga pada perintah-perintah yang lain seperti perintah qishas dan perintah berperang.

Allah Subhanahu wata`ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِى الْقَتْلٰىۗ
Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kepadamu (melaksanakan) qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. QS. Al-Baqarah [2]: 178

Allah berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تَكْرَهُوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۚ وَعَسٰٓى اَنْ تُحِبُّوْا شَيْـًٔا وَّهُوَ شَرٌّ لَّكُمْ ۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ
Diwajibkan atasmu berperang, padahal itu kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. QS. Al-Baqarah [2]: 216

Lalu mengapa kewajiban puasa dapat dijalankan, sedangkan kewajiban qishas dan berperang tidak dilaksanakan? bukankah semuanya sama-sama bermakna diwajibkan?. Maka sudah seharusnya semua perintah Allah kita laksanakan, karena semuanya sama-sama perintah dari Allah yang tidak boleh kita beda-bedakan. Kita tidak boleh menjadikan ada ayat dalam al-Qur’an yang kita terima dan laksanakan dengan senang hati, sedangkan sebagian ayat lainnya kita tolak, bahkan diberi label radikal dan ekstrim.

Maka momentum bulan syawal ini menjadi momentum bagi kita untuk meneguhkan ketakwaan di seluruh aspek kehidupan, sekaligus menjadi momentum untuk meneguhkan perjuangan menerapkan aturan Islam di seluruh aspek kehidupan secara maksimal, tidak boleh berjuang bermalas-malasan dengan hanya ala kadarnya saja.

Karena Allah Subhanahu wata`ala berfirman:
فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Maka bertakwalah kepada Allah semampu kalian! QS. At-Taghabun [64]:16

Maksud dari ayat ini adalah Allah tetap memerintahkan kita bertakwa dengan semaksimal kemampuan kita bertakwa. Sebagaimana penjelasan Syaikh Mutawali Asy-Sya’rawi yang mengatakan:
Sesungguhnya makna firman Allah: “Maka bertakwalah kepada Allah semampu kalian” adalah bahwa setiap orang harus bertakwa kepada Allah sesuai dengan batas kemampuan dan kekuatannya. Maka, segala sesuatu yang ada dalam kemampuanmu, wajib untuk kamu lakukan. Jangan sampai ada yang menyelewengkan maknanya dengan beralasan “saya tidak mampu,” karena Allah mengetahui batas kemampuan setiap manusia.

Dari penjelasan ulama di atas, maka tidak boleh seorang muslim beropini bahwa kondisi masyarakat saat ini tidak mampu menerapkan aturan Allah atau syariah Islam, dengan beribu alasan yang dikemukakan.

Namun yang seharusnya disadari adalah pasti syariah itu akan mampu diterapkan dan akan membawa keberkahan. Maka sudah seharusnya kita semangat memperjuangkan tegaknya syariah secara kaffah dengan semaksimal kemampuan kita. Sehingga turunlah keberkahan dari seluruh penjuru langit dan bumi yang dijanjikan dalam firman Allah Subhanahu wata`ala:
وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami). Maka, Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka. QS. Al-`Araf [7]:96.

Wallahu’alam bi ash-shawab. (Tisna As Syirbuni)