WHOOSH BUKAN BARANG PUBLIK BUKAN INVESTASI SOSIAL
Oleh: Radhar Tribaskoro
Dalam teori ekonomi publik, setiap kebijakan negara yang menggunakan uang rakyat seharusnya didasarkan pada satu pertanyaan fundamental: apakah barang atau jasa yang dibiayai negara itu termasuk kategori barang publik (public good) atau tidak. Jawaban atas pertanyaan ini menentukan apakah penggunaan uang negara sah secara moral dan rasional secara fiskal.
Barang publik memiliki dua ciri utama. Pertama, non-rivalrous, artinya penggunaan oleh satu orang tidak mengurangi kesempatan orang lain untuk menikmatinya. Kedua, non-excludable, artinya tidak mungkin atau tidak efisien untuk mencegah seseorang mengaksesnya meski ia tidak membayar. Pertahanan negara, udara bersih, sistem hukum, atau penerangan jalan umum adalah contoh klasiknya. Barang-barang semacam ini memang pantas dibiayai negara karena manfaatnya bersifat kolektif dan tidak dapat disediakan secara efisien oleh mekanisme pasar.
Sebaliknya, barang privat memiliki sifat sebaliknya: ia bisa habis karena penggunaan (rivalrous) dan bisa dikecualikan dari akses publik (excludable). Barang seperti mobil, rumah, atau tiket pesawat tidak pantas dibiayai APBN karena manfaatnya terbatas bagi individu pengguna, bukan bagi masyarakat luas. Negara hanya dapat menggunakan uang publik untuk membiayai barang privat jika barang itu menghasilkan manfaat sosial eksternal (positive externalities) yang besar — misalnya pendidikan, vaksinasi, atau transportasi massal perkotaan yang terbukti menurunkan kemacetan dan polusi.
Dari sinilah muncul istilah antara: barang semi-publik (quasi-public goods) atau investasi sosial. Barang-barang ini tidak sepenuhnya publik, tetapi memiliki manfaat sosial yang cukup signifikan untuk dibenarkan sebagai tanggung jawab negara. Namun pembenaran ini tetap mensyaratkan satu hal: harus ada bukti nyata bahwa manfaat sosial yang dihasilkan melampaui biaya yang dikeluarkan. Jika manfaatnya semu atau tidak terbukti, maka penggunaan uang negara untuk pengadaannya kehilangan dasar moral dan rasionalitas ekonominya.
Whoosh Bukan Investasi Sosial
Dalam terang prinsip itulah, klaim bahwa proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) adalah sebuah investasi sosial harus diuji. Dan begitu diuji, klaim itu runtuh. Hampir semua manfaat sosial yang dijanjikan pemerintah ternyata tidak benar-benar ada. Bahkan sebagian besar externalities yang disebutkan hanyalah ilusi kebijakan — substitusi yang disamarkan sebagai penciptaan nilai baru. Dengan kata lain, Whoosh tidak menambah manfaat sosial, ia hanya mengganti sistem lama yang sudah berfungsi dengan sistem baru yang lebih mahal dan eksklusif.
Pemerintah sering mengatakan bahwa Whoosh akan mengurangi kemacetan antara Jakarta dan Bandung. Tetapi klaim itu tidak pernah terbukti, karena jalur itu sebelumnya sudah dilayani oleh kereta Argo Parahyangan yang efisien, padat, dan terjangkau. Ketika Whoosh beroperasi, Argo Parahyangan justru dihentikan, membuat masyarakat kehilangan moda transportasi yang dulu memenuhi fungsi sosialnya dengan baik. Jumlah orang yang beralih dari mobil pribadi ke kereta cepat sangat kecil, karena tarif Whoosh jauh lebih mahal. Maka, tidak ada pengurangan lalu lintas yang signifikan di jalan tol; tidak ada perbaikan struktural pada mobilitas masyarakat. Secara ekonomi, net social benefit-nya nol. Secara sosial, bahkan negatif.
Klaim kedua, bahwa Whoosh ramah lingkungan karena menggunakan tenaga listrik, juga mudah dipatahkan. Sumber listrik yang digunakan PLN untuk menggerakkan Whoosh sebagian besar masih berasal dari batu bara. Artinya, Whoosh hanya memindahkan sumber emisi, bukan menguranginya. Ia menciptakan carbon shifting, bukan carbon reduction. Dalam konteks transisi energi nasional yang masih terbelakang, klaim “ramah lingkungan” ini hanyalah kemasan retoris yang tidak mengubah realitas: polusi tetap ada, hanya bergeser lokasi.
Klaim berikutnya — bahwa kecepatan Whoosh akan meningkatkan produktivitas ekonomi — juga tidak memiliki dasar empiris. Sebelum proyek ini dibangun, rute Jakarta–Bandung sudah dilayani oleh penerbangan komersial yang memakan waktu kurang dari 40 menit. Dengan hadirnya Whoosh, moda udara itu perlahan mati, bukan karena kalah bersaing secara efisien, tetapi karena disingkirkan oleh kebijakan negara sendiri. Dengan kata lain, Whoosh tidak menciptakan efisiensi baru; ia menggantikan efisiensi lama dengan biaya investasi yang jauh lebih tinggi.
Sementara itu, klaim pemerataan pembangunan di sekitar jalur Whoosh pun belum terbukti. Kawasan sekitar stasiun seperti Tegalluar memang mengalami lonjakan harga tanah, tetapi lonjakan itu bukan karena tumbuhnya ekonomi rakyat, melainkan karena spekulasi properti. Fenomena ini disebut rent-seeking spatial development: infrastruktur besar dibangun bukan untuk melayani masyarakat, melainkan untuk mengerek nilai aset pihak-pihak tertentu. Dalam konteks seperti ini, pertanyaannya berubah: siapa sebenarnya yang menikmati “manfaat sosial” dari proyek ini? Publik, atau lingkar rente yang membangunnya?
Akhirnya, klaim terakhir — bahwa Whoosh adalah simbol kemajuan bangsa — justru paling berbahaya. Sebab di sinilah logika ekonomi berhenti dan digantikan oleh logika simbolik. Jika kemajuan diukur dari kemampuan membangun proyek mahal tanpa menghitung kelayakan sosialnya, maka kemajuan menjadi bentuk baru dari pemborosan. Negara maju justru diukur dari kemampuannya menimbang manfaat dan biaya secara rasional, bukan dari keberaniannya menumpuk utang untuk membangun sesuatu yang tampak megah di permukaan. Jepang membangun Shinkansen setelah kebutuhan transportasi antarkota benar-benar melonjak; Cina membangun high-speed rail setelah urbanisasi masif menciptakan mobilitas ratusan juta orang. Indonesia tidak berada dalam kondisi serupa. Whoosh bukan jawaban atas kebutuhan sosial, melainkan jawaban atas kebutuhan politik: kebutuhan untuk diakui sebagai negara maju sebelum waktunya.
Implikasi Fiskal dan Politik
Menjadikan Whoosh sebagai “barang publik” atau “investasi sosial” hanya karena ia sudah terlanjur ada adalah kesalahan kedua setelah kesalahan perencanaannya. Uang publik seharusnya digunakan untuk menciptakan manfaat bersama, bukan untuk menalangi risiko politik dari kebijakan yang salah. Jika pemerintah menggunakan APBN untuk membayar utang Whoosh, negara sedang mengaburkan batas antara tanggung jawab kebijakan dan tanggung jawab publik. Kesalahan elite berubah menjadi beban rakyat, sementara para pengambil keputusan di masa lalu menikmati impunitas.
Inilah yang disebut impunitas fiskal — ketika kegagalan perencanaan ditutup dengan alasan sosial. Bahayanya, preseden ini akan menjadi pola. Setiap proyek ambisius dapat diklaim sebagai investasi sosial, setiap kerugian dapat ditutupi dengan APBN, setiap kesalahan dapat diselamatkan dengan slogan nasionalisme. Ketika ini terjadi berulang, sistem kehilangan kemampuan koreksinya sendiri. Negara tidak lagi belajar, melainkan menutupi. Ia berhenti menjadi institusi rasional dan berubah menjadi mesin pembenaran.
Mengembalikan Rasionalitas
Mengembalikan rasionalitas Whoosh bukan berarti menolak pembangunan infrastruktur modern. Ia berarti mengembalikan batas-batas moral dan rasional penggunaan uang publik. Negara berhak membiayai barang publik sejauh manfaatnya benar-benar kolektif. Negara juga boleh menanggung investasi sosial sejauh manfaat eksternalnya terbukti nyata. Tetapi negara tidak boleh membiayai proyek yang manfaat sosialnya fiktif, atau yang sejak awal dibangun bukan untuk kebutuhan rakyat, melainkan untuk ambisi politik.
Whoosh mungkin akan terus berjalan. Tetapi agar negara berjalan dengan benar, ia harus diakui sebagaimana adanya: bukan barang publik, bukan investasi sosial, melainkan proyek politik yang gagal memisahkan kebanggaan dari akal sehat.
Dan langkah pertama untuk memulihkan akal sehat itu adalah menolak menjadikan kegagalan ekonomi sebagai tanggung jawab sosial. Karena begitu uang publik mulai digunakan untuk menalangi kesalahan politik, maka demokrasi fiskal berhenti — dan yang tersisa hanyalah negara yang bekerja untuk menutupi jejaknya sendiri.===
Cimahi, 7 November 2025

