Tambang Nikel di Raja Ampat dan Pengurus PBNU
Belum lama ini publik dikejutkan oleh kabar bahwa salah satu pengurus PBNU menduduki posisi komisaris di perusahaan tambang nikel yang beroperasi di Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Informasi ini menimbulkan keprihatinan mendalam, bukan hanya karena dampaknya terhadap lingkungan, tetapi juga karena menyangkut marwah sebuah organisasi keagamaan yang sangat berpengaruh di Indonesia.
Keterlibatan tokoh ormas dalam bisnis ekstraktif yang kontroversial menyimpan potensi bahaya besar terhadap fungsi ideal ormas itu sendiri: sebagai kekuatan moral dan sosial yang berdiri di pihak rakyat dan keadilan.
Bahaya Ketika Ormas Merapat ke Oligarki
Keterlibatan pengurus ormas dalam industri tambang bukanlah sekadar pilihan pribadi. Ketika seorang tokoh dari organisasi keagamaan duduk dalam struktur bisnis yang beroperasi di wilayah sensitif seperti Raja Ampat, publik punya hak untuk mempertanyakan: apakah ormas tersebut masih dapat bersikap independen dan kritis terhadap kebijakan negara dan kekuatan modal?
Ketika ormas terlampau dekat dengan lingkaran kekuasaan atau investasi, risiko utamanya adalah pembungkaman suara kritis. Bahkan lebih jauh, bisa terjadi pembelokan arah perjuangan dari membela kepentingan rakyat menuju pembelaan terhadap kepentingan ekonomi segelintir elite.
Ini bukan asumsi kosong. Kita telah menyaksikan banyak contoh bagaimana kekuatan sipil menjadi lemah ketika diberi akses pada kekuasaan dan keuntungan bisnis.
Raja Ampat: Simbol Warisan Alam yang Tak Tergantikan
Raja Ampat bukanlah kawasan kosong tanpa makna. Ia adalah salah satu wilayah dengan keanekaragaman hayati laut terkaya di dunia. Kerusakan lingkungan di sana bukan hanya soal lokal ; tapi akan menjadi kehilangan besar bagi ekosistem global.
Industri tambang, tak peduli seberapa ramah teknologi yang dijanjikan, memiliki jejak kerusakan yang panjang. Terlebih jika diterapkan di wilayah konservasi yang selama ini dilindungi oleh masyarakat adat dan komunitas lokal.
PBNU Perlu Menunjukkan Ketegasan Moral
Sebagai organisasi yang memiliki pengaruh moral dan sosial sangat besar, PBNU semestinya tidak membiarkan keterlibatan pengurusnya dalam proyek-proyek yang berpotensi mencederai nilai-nilai keadilan sosial dan ekologis.
Diam dalam kasus ini bukanlah pilihan bijak. Justru akan memunculkan kecurigaan bahwa PBNU mulai kehilangan arah sebagai kekuatan moral bangsa.
Sikap tegas : termasuk menarik pengurus dari posisi komisaris, akan menjadi langkah penting untuk menjaga kredibilitas dan integritas organisasi.
Negara Harus Bertindak: Setop Tambang di Kawasan Konservasi
Lebih luas dari persoalan PBNU, negara juga harus menunjukkan keberpihakannya. Proyek tambang di kawasan konservasi seperti Raja Ampat seharusnya dihentikan. Jika ada izin yang sudah terlanjur keluar, perlu ada evaluasi menyeluruh dan, jika perlu, pencabutan.
Negara harus berpihak pada keberlanjutan jangka panjang, bukan pada keuntungan jangka pendek. Kita tak butuh pertumbuhan ekonomi yang menghancurkan warisan alam untuk anak cucu.
Penutup: Antara Integritas dan Oportunisme
Kisah tambang di Raja Ampat ini bukan hanya tentang nikel, investasi, atau pembangunan. Ini adalah cerita tentang bagaimana kekuasaan dan uang menguji keteguhan institusi-institusi sipil dan keagamaan di negeri ini.
Apakah ormas kita masih sanggup berdiri di atas nilai, atau mulai tergoda oleh tawaran posisi dan akses ekonomi?
Pertanyaan itu penting kita jaga, sebelum semuanya terlambat.
Chairul Islam
Kader Partai Masyumi
Partai Islam

