PPP YANG KERAP TERBELAH
Firman Noor
Seolah mengulang kepahitan yang sama, PPP pada Muktamar X tahun 2025 di Jakarta kembali terbelah. Sebuah pagelaran yang dihadiri lebih dari 1.000 muktamirin ini menjadi saksi ketidakpatutan dari pesertanya sendiri. Alih-alih membawa kesejukan dalam semangat persaudaraan, muktamar yang merupakan forum terhormat paling tinggi itu malah menyuguhkan sebuah perseteruan yang menunjukkan ketidakdewasaan dan juga hilangnya etika maupun niat baik. Menurut salah satu kubu, beberapa pendukungnya bahkan mengalami cedera sehingga harus dilarikan ke rumah sakit.
Persoalannya adalah lebih dari sekadar terjadinya lempar kursi sesama kader yang menimbulkan korban dan menjadi tontonan tidak apik itu. Namun mengapa salah satu partai tertua di Indonesia ini tidak lepas dirundung konflik dan pertikaian? Di awal Era Reformasi saja tercatat beberapa pertikaian yang melibatkan berbagai kubu atau kelompok yang menghasilkan faksionalisasi. Tercatat misalnya PPP persis diawal reformasi beberapa eksponen partai ini telah melahirkan Partai Persatuan (PP) dan juga Partai Bintang Reformasi (PBR).
Konflik Internal
Setelah itu muncul berbagai konflik internal yang melibatkan beberapa kubu. Konflik pertama melibatkan dua kubu, yakni antara Kubu Suryadharma Ali (SDA) yang berseteru dengan Kubu Romahurmuziy (Rommy) pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Akar konflik salah satunya terkait dengan pagelaran Pilpres 2014 yang membelah partai pada dua kubu dengan calon presiden yang berbeda (Noor 2016).
Kemudian setelah itu muncul pertikaian antara kubu Djan Faridz Ketua Umum PPP hasil Muktamar Jakarta 2014, yang merupakan kelanjutan dari Kubu SDA, dengan Kubu Rommy yang terpilih sebagai Ketua Umum PPP menggantikan SDA pada Muktamar VIII Surabaya 2014. Semenjak itu muncul dualisme kepemimpinan dalam PPP. Upaya untuk menyatukan keduanya berkali-kali tidak membawa hasil. Setelah itu, secara tiba-tiba Djan Faridz memutuskan untuk mengundurkan diri pada tahun 2018. Posisinya digantikan oleh koleganya Humphrey Djemat.
Sempat terjadi perdamaian atau islah di antara kedua kubu untuk sama-sama mendukung Suharso Monoarfa sebagai Ketua Umum PPP yang baru hasil Muktamar IX 2020 di Makassar. Namun ketenangan dalam partai berlambang Ka’bah ini kembali terusik dengan digantikannya Suharso secara sepihak. Sempat terjadi situasi memanas mengingat kubu Suharso merasakan nuansa “kudeta”. Apalagi hal itu dilakukan saat dirinya tengah melakukan lawatan ke beberapa negara, melalui sebuah forum yang juga hanya selevel Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas).
Pihak yang berseberangan dengannya bersikukuh untuk tetap melakukan pergantian, dengan alasan di antaranya pernyataan Suharso soal amplop untuk kyai yang menimbulkan kegaduhan internal dan agar yang bersangkutan dapat lebih fokus dalam menjalankan perannya sebagai Menteri PPN/Kepala Bappenas di kabinet Jokowi. Monoarfa kemudian digantikan oleh Muhamad Mardiono yang kemudian menjadi Pelaksana Tugas (Plt.) Ketua Umum PPP.
Dengan dukungan beberapa tokoh senior partai, Mardiono, seorang pengusaha dan kader PPP, akhirnya berhasil mengambil posisi sebagai Ketum PPP meski dalam kapaistas sebagai pelaksana tugas. Rommy yang baru saja menyelesaikan masa tahanan diberikan posisi oleh Mardiono dalam Majelis Partai.
Di bawah kepemimpinannya, PPP kemudian masuk dalam ajang pertarungan pemilu di tahun 2024. Sayang dalam kepemimpinannya itu, PPP terlempar dari parlemen karena tidak mampu memenuhi ambang batas parlemen.
Tokoh Pemersatu
Fenomena di dalam partai yang memiliki jargon “Rumah Besar Umat Islami” dapat dilihat dari berbagai perspektif. Namun setidaknya ada beberapa hal yang melatarbelakanginya.
Pertama, partai ini telah lama kehilangan tokoh pemersatu yang benar-benar kharismatik dan dihormati oleh semua pihak. Peran tokoh kharismatik ini penting dalam mengelola soliditas partai (Bell & Shaw 1994). Hilangnya tokoh pemersatu dapat mengarah pada faksionalisasi, dimana kader akhirnya tidak merasa segan untuk melakukan maneuver politik yang tidak lazim bahkan mempertontonkan pertikaian dengan seronok, tanpa ada sosok yang bisa meredamnya.
Jika kita lihat sejarahnya, sejatinya PPP merupakan “federasi” yang terdiri dari beragam kelompok dan ormas berpengaruh, yang juga sarat dengan kepentingan yang beragam. Namun keberadaan tokoh-tokoh nasional yang kharismatis-pemersatu seperti Ismail Hasan Meutareum, Hamzah Haz, yang didukung oleh tokoh-tokoh berpengaruh di level lokal, K.H Assad Syamsul Arifin maupun para kyai yang muncul belakangan hari mampu merekatkan dan menyolidkan partai ini, yang sejak pembentukannya oleh Orde Baru memang berpotensi besar untuk mengalami friksi internal ini (Haris 1991).
Kedua, hilangnya tokoh pemersatu itu kemudian dipersulit dengan model kepemimpinan (leadership) yang kurang dapat merangkul mereka yang berbeda. Apalagi para pimpinan belakangan hari yang muncul biasanya merupakan hasil kompromi para elite. Padahal menurut Brass (1965) kepemimpinan merupakan elemen krusial untuk membangun soliditas.
Situasi ini pada akhirnya membuat turbulensi yang ada akhirnya cenderung makin kuat dan meluas. Pimpinan seolah kehilangan akal untuk dapat mengantisipasi berbagai potensi yang dapat memperkeruh situasi internal partai. Upaya untuk merangkul semua kalangan menjadi kaku dan dan akhirnya mentah dan berujung pada faksionalisasi.
Ketiga, situasi ini diperburuk dengan kaderisasi yang lemah. Kajian mengenai Indeks Pelembagaan Partai Politik (IIPP) di Indonesia yang dilakukan oleh Tim Partai Politik BRIN 2024 menunjukan bahwa kaderisasi dalam PPP termasuk yang problematik. Hal ini berdampak salah satunya adalah pada konflik internal terutama akibat ketidakdisplinan dalam memahami aturan main partai.
Kita bisa lihat bahwa tren yang biasanya muncul dalam konflik internal PPP selama ini biasanya diawali oleh penafsiran aturan main yang cair dan berbeda dari setiap kubu yang bertikai. Setiap kubu seolah bebas melakukan penafisran sejauh itu mendukung atau melegitimasi manuver politik mereka. Misalnya, penafsiran dalam forum apa sebuah pemecatan atau pengangkatan ketua umum itu bisa dilakukan, atau soal prasayarat seorang menjadi ketua umum, hal-hal seperti itu dapat dimainkan sejauh membenarkan manuver masing-masing kubu.
Lemahnya pelaksanaan kadersasi juga menyebabkan bagaimana seseorang yang tidak pernah mengikuti sebuah jenjang pengkaderan yang panjang dan disiplin dapat kemudian memimpin partai tersebut. Memang ini sebuah fenomena baru di partai ini, yang makin menunjukan betapa lemahnya penghargaan atas kaderisasi di mata sebagian kalangan dalam PPP. Padahal korelasi antara kaderisasi dan kelayakan memimpin partai dapat membawa soliditas karena adanya rasa puas dan adil bagi kader-kader yang lain.
Keempat, ideologi tidak mampu menyatukan kader-kader partai. Hal ini menandai era semakin berakhirnya ideologi dalam PPP, terutama karena semakin kuatnya pendekatan pragmatisme dalam partai ini. Ideologi Islam seharusnya dapat mempersatukan apalagi dalam situasi partai yang masih sulit dan serba tertekan karena gagal lolos dalam parlemen seperti sekarang ini. Namun saat ini kader justru bertikai karena persoalan itu.
Pragmatisme juga akhirnya menjadi bumerang bagi soliditas partai ini karena loyalitas lebih didasarkan pada hal-hal di luar ideologis yang melatih kader menjadi oportunis dan mendahulukan kepentingan jangka pendekanya.
Untuk itu siapapun yang nantinya memimpin PPP, maka persoalan utama yang harus segera dilakukan adalah dengan melakukan pelembagaan partai yang memadai. Di dalamnya terutama terkait dengan upaya untuk melakukan ideologisasi dan kaderisasi, sekaligus lebih menghargai aturan main guna akhirnya menumbuhkan kepercayaan di seluruh kader.
Harian Kompas, 2 Oktober 2025