SHAUM DAN IBADAH RAMADHAN RASULULLAH SAW (13)
AL-QUR’AN MENJELASKAN ASPEK POLITIK
Abdullah Hehamahua
Alhamdulillah, jumpa lagi pada malam ke-14 ini. Semoga, selain tadarus dan tadabur, hafalan Al-Qur’an kita juga bertambah. Indikatornya, sewaktu shalat dzuhur dan ashar berjamaah, bacaan surah pada rakaat pertama dan kedua, sudah bertambah.
Penulis, berdasarkan pemikiran, pemahaman, penghayatan, pengamalan, dan perilaku seperti itu, malam ini mengkomunikasikan seri ke-13 dengan subtema: Al-Qur’an Menjelaskan Aspek Politik.
Nabi Muhammad sebagai Kepala Negara
Politik (siyasah) adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Sebab, politik tak ubahnya udara bagi setiap manusia. Masalahnya, udara yang dihirup berasal dari lingkungan yang bersih atau kotor.
Rasulullah SAW, selama 13 tahun di Makah, fokus terhadap pembinaan aqidah umat. Namun, di Madinah, pergerakan Rasulullah SAW berupa perjuangan politik. Sebab, dengan politik, Rasulullah SAW menjadi Penguasa Madinah. Beliau adalah nabi, rasul, sekaligus kepala negara. Beliau juga kepala pemerintahan.
Rasulullah SAW pada tahun 622 M, tiba di Madinah, menjalankan tugas sebagai kepala negara. Beliau langsung menerbitkan Piagam Madinah yang mengatur hak dan kewajiban setiap warga negara. Inilah konstitusi tertulis pertama di dunia.
Piagam yang mengandung 49 pasal tersebut, mengatur hak dan kewajiban golongan Anshar, Muhajirin, Nasrani, Yahudi, dan penduduk Badui. Mereka semua, bertanggung jawab dalam melindungi eksistensi dan keamanan kota Madinah.
Piagam ini juga menjamin kebebasan penduduk, memeluk agamanya dan melaksanakan ibadahnya sehari-hari. Bahkan, Piagam Madinah juga menjamin setiap orang bekerja dan menguasai hartanya.
Al-Qur’an dan Petunjuknya tentang Politik
Politik dalam Islam meliputi aspek-aspek: negara, kelembagaan, hukum, militer, dan hubungan internasional. Rasulullah SAW, dalam kontek negara menetapkan kebijakan yang sekarang diterapkan PBB, yakni, sebuah negara diakui, jika ada wilayah, rakyat, pemerintah, dan konstitusi.
Rasulullah SAW sewaktu hijrah ke Madinah, wilayah ini sudah eksis dengan luasnya, 589 km2. Bandingkan dengan negara Monaco, yang luasnya, hanya 2,1 km persegi. Penduduk Madinah lebih dari sepuluh ribu orang. Bandingkan dengan negara Fatikan sekarang yang penduduknya hanya 800 orang.
Negara-negara di dunia hari ini terdiri dari beberapa bentuk. Ada yang berbentuk republik, kerajaan, dan federasi. Kepala negaranya ada yang bergelar raja atau presiden. Kepala pemerintahannya ada yang dijabat presiden dan ada pula bergelar Perdana Menteri (PM).
Islam, tidak menetapkan bentuk negara: agama, demokrasi, atau liberal. Islam juga tidak mengenal istilah republik, kerajaan, dan monarki. Sebab, Nabi Muhammad, selain sebagai nabi dan rasul, beliau juga kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Negara pimpinan Rasulullah SAW tidak disebut monarki, republik, kerajaan, atau federasi. Ia dikenal dengan “Madinah Al Munawwarah” (Kota yang Bercahaya). Sebab, sebelum datangnya Nabi Muhammad SAW, kota ini bernama Yatrib. Penduduknya saling bermusuhan. Bahkan, berbunuhan.
Madinah disebut sebagai kota bercahaya karena penduduknya memeroleh cahaya baru, harapan masa depan dengan kedatangan Nabi Muhammad SAW. Bahkan, golongan Yahudi meminta Rasulullah SAW menyelesaikan kasus atau sengketa di antara mereka.
Islam melalui Al-Qur’an menetapkan, substansi politik adalah musyawarah: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (QS Ali Imran: 159).
Ayat Al-Qur’an ini menggunakan perkataan musyawarah, bukan voting. Itulah sebabnya, Rasulullah SAW dikenal sebagai pemimpin yang gemar bersmusyawarah dengan para sahabat.
Abu Hurairah dalam kontek ini meriwayatkan bahwa, Rasulullah SAW bersabda: “Jika para pemimpin kalian adalah orang yang terbaik di antara kalian, dan urusan kalian diselesaikan berdasarkan musyawarah di antara kalian, maka permukaan bumi lebih baik bagi kalian daripada isinya” (HR Bukhari dan Muslim).
Rasulullah SAW, bukan hanya sekedar bicara tanpa berbuat, alias “omdo.” Hal ini dibuktikan dengan tindakan Rasulullah SAW antara lain:
a. Rasulullah SAW mengambil pendapat Al-Hubabi ibn Al-Mundzir tentang pemilihan tempat yang strategis dalam perang Badar;
b. Rasulullah SAW mengikuti pendapat Salman Al-Farisi mengenai penggalian parit ketika menghadapi perang Khandaq.
Islam, berdasarkan ucapan dan tindakan Rasulullah SAW di atas, dengan tegas menolak voting. Sebab, voting menempatkan suara seorang ulama sama dengan hak pilih pelacur. Suara seorang profesor, sama dengan mereka yang tidak tamat SD.
Dampak negativenya, Kades, bupati/walikota, gubernur, dan presiden, bisa seorang pencuri, pelacur, atau koruptor jika diterapkan sistem voting. Apalagi, jika ada “money politic,” intimidasi atau rekayasa. Itulah sebabnya, sila keempat Pancasila berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Sila inilah yang memerintahkan, presiden/wakil presiden dipilih secara musyawarah dalam MPR.
Sila keempat ini, diusulkan Agus Salim dalam Panitia Sembilan ketika penyusunan Piagam Jakarta, 22 Juni 1945. Agus Salim merujuk ke kasus khalifah Umar ibnu Khattab yang ketika dalam keadaan luka parah, menunjuk enam sahabat sebagai formatur. Keenam shabat tersebut bermusyawarah dan menetapkan Usman bin Affan sebagai khalifah, sepeninggalnya Umar bin Khattab.
Maknanya, Islam tidak mengenal instrumen Pemilu, Pilpres, Pilkada, atau Pilkades. Sebab, gubernur dan walikota, baik semasa Rasulullah SAW maupun khulafah ar rasyidin, ditunjuk langsung dari Madinah. Otoritas tersebut berada di tangan Rasulullah SAW kemudian dilanjutkan para khulafah ar rasyidin.
Rasulullah SAW sebagai kepala negara, setelah menyelesaikan aspek negara (wilayah, rakyat, pemerintahan, dan konstitusi), membangun militer umat Islam. Para pemuda berlatih gulat di pekarangan masjid Nabawi. Mereka juga digalakkan berlatih memanah, naik kuda, dan berenang.
Rasulullah SAW, dalam aspek hubungan luar negeri, mengirim utusan dan surat resmi ke negara-negara tetangga. Bahkan, sampai ke Rum, Persia, dan Mesir. Dampak positifnya, sebelum Rasulullah SAW meninggal dunia, hanya dalam masa 10 tahun, wilayah Islam sudah meliputi hampir seluruh jazirah Arab.
Simpulan
1. Politik dalam Islam, tak ubahnya udara yang harus dihirup setiap manusia. Olehnya, politik dalam Islam meliputi aspek-aspek: negara, hukum, militer, dan hubungan internasional.
2. Pengelolaan kehidupan keluarga, ormas, orpol, yayasan, pemerintah, dan negara, berasaskan musyawarah. Sebab, Rasulullah SAW adalah pemimpin yang gemar bermusyawarah dalam segala urusan umat, pemerintah, dan negara.
Marilah, mulai malam ini, kita biasakan musyawarah dalam segala urusan yang berkaitan dengan masalah keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara. Kecuali, perkara-perkara yang sudah pasti ketentuannya dalam Al-Qur’an seperti: mahram, warisan, serta nisab dan para mustahik zakat. Dampak positifnya, kita dapat merebut bendera taqwa pada 1 Syawal nanti. In syaa Allah !!! (Depok 12 Maret 2025).