Qodari:Sang Disainer dan Bandit Politik

September 20, 2025

QODARI: SANG DESAINER dan BANDITISME POLITIK
Oleh Agus Wahid

Siapa tak kenal Ahmad Qodari, atau yang lebih akrab dipanggil Qodari? Pasti, public di seluruh rtanah air ini – terutama yang mengikuti dinamika politik – mengenal sosok Qodari. Why?

Sosok kelahiran 15 Oktober 1973 ini tercatat pemikir politik kontroversial. Dia berani melawan arus besar nilai-nilai kultural Tanah Air tanpa risi atau malu. Dia juga – secara agresif – demikian berani melontarkan gagasan-gagasan politiknya secara terbuka berseberangan dengan konstitusi.

Dalam laitan itu kita pasti ingat pernyataannya yang menegaskan perpanjangan masa jabatan tiga periode bagi Jokowi. Sebuah pernyataan yang bertentangan dengan Pasal 7 UUD 1945. Meski bertentangan, Qodari tetap percaya diri (pede). Atas nama survey yang dilakukannya dan hasilnya mencatat kepuasan rakyat terhadap Jokowi mencapai 78%, maka Direktur Eksekutif sekaligus pemilik lembaga Barometer Indonesia ini – dengan pede – mengumandangkan hasil surveynya, tanpa mengcross-check kondisi lapangan secara obyektif.

Data bicara, atas nama hasil survey itu, Jokowi merasa pede juga, lalu menghadap Megawati Soekarnoputeri: bertopik perpanjangan masa jabatan tiga periode. Berpijak pada konstitusi, Ketua Umum PDIP menolak mentah-mentah. Gagasan Qodari pun kandas.

Tak terhenti di sana. Qodari pun menggulirkan gagasan lainnya: politik dinasti. Yaitu, menggiring Gibran Rakabuming Raka maju dalam pemilihan presiden (pilpres) 2024. Dengan support maksimal oleh “istana” (kala itu masih Jokowi), gagasan ini dikawal dengan penuh kekuatan. Tidak hanya politik yang memang masih dalam pangkuan kekuasaan, tapi juga pengawalan secara hukum dan pengamanan lapangan.

Data bicara, gagasan itu cukup lancar. Meski Gibran kala itu baru berusia 36 tahun dan baru berpengalaman sebagai Walikota Solo, namun – melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 90/PUU XXI/2013 – Gibran berhasil lolos dari ketentuan persyaratan calon presiden dan wakil presiden minimal 40 tahun. Sebuah produk putusan tanpa persidangan MK, karena kala itu paman Anwar Usman menjabat Ketua MK.

Tidak terhenti sebatas itu. Untuk mendaftarkan diri ke KPU, Jokowi mengirimkan utusan khususnya ke Dirjen Menengah Atas Kemendikbud untuk mengeluarkan surat keterangan lulus setara SMA bagi Gibran. Di bawah ancaman, sang Dirjen itu pun mengeluarkan secarik kertas keterangan, tanpa cross-check institusi di Australia sana. Ketua KPU, Hasyim Asy`arie – dibawah tekanan psikologis yang akan disebarluaskan kelakuan amoralnya – pun harus menerima dokumen putusan MK sebagai calon wakil presiden RI. Melengganglah proses politik Gibran meuju istana kala itu.

Satu hal lagi pekerjaan besar yang dilakukan Qodari. Dialah desainer utama yang merancang pemilu satu putaran dan pasangan Prabowo-Gibran harus menang. Dengan komplotannya dari sejumlah lembaga survey seperti LSI (Deny JA) dan Poltracking pimpinan Hanta Yudha, Qodari berhasil menyuguhkan konfigurasi politik yang memperkuat positioning suara Prabowo-Gibran. Padahal, the second opinion dari survey-survey obyektif selalu menggambarkan posisi Prabowo-Gibran tak pernah beranjak dari angka 30%. Yang selalu unggul adalah pasangan Anies-Muhaimin. Karena itu, direkomendasikan: satu-satunya cara memenangkan pilpres dengan senjata bansos, bahkan cara-cara moral hazard lainnya.

Fakta bicara, KPU yang sudah diset up sedemikian rupa – pada hari penghitungan secara quick qount – selalu disuguhkan hasil-hasil survey versi Qodari. Suatu saat pernah, televisi pernah kecelik (salah tayang) angka perolehan 57,8% untuk pasangan AMIN dan 35% untuk pasangan Prabowo. Data ini pernah disampaikan secara terbuka oleh pengamat militer Conie Bakrie, Hasto Kristianto bahkan – meski tidak sebut angkat riil – juga disampaikan Bahlil. Initinya, harusnya bukan Prabowo-Gibran sebagai pemenang.

Tapi, itulah banditme politik. Mendayagunakan seluruh kekuatan dan kekuasaannya untuk kepentingan diri dan kelompoknya tanpa mengindahkan aturan atau hukum. Dan siapapun yang menghalangi langkahnya disirnakan, minimal dibungkam atau diamputasi atau dilemahkan. Dengan demikian, para bandit itu sesungguhnya penjahat ulung, yang mampu melindas kepentingan siapapun yang berjalan diatas rel hukum yang benar (on the track).

Karena, banditisme politik itu skenario dipaksakan. Lembaga MK – meski papan Anwar Usman tidak lagi menjabat ketua MK – tapi hasilnya diset up: dissenting opinion: 3 lawan 5. Maka, MK – secara kelembagaan – mengalahkan tiga suara yang dissenting opinion itu. Atas putusan MK, KPU pun langsung mengumumkan siapa pemenang pilpres.

Yang menarik untuk dicatat – dan lagi-lagi ini desain Qodari – proses perhitungan masih berlangsung di KPU. Proses pengujian sengketa di MK juga masih berlangsung. Tapi, sebelum hari “H” pilpres sudah disiapkan panggung kemenangan. Dan perayaan itu pun langsung digelar sehari pasca pilpres. Luar biasa. Tapi, itu semua mengandung makna: ada keculasan yang demikian dahsyat.

Jadi, ada dua skenario bagaimana Qodari menggiring opini kemenangan kliennya. Yaitu, menghembuskan perolehan hitungan suara hasil surveynya yang jelas sangat dipertanyakan kredibelitasnya. Dan itu bagian dari strategi pengabsahan opini publik. Sisi lain, perayaan kemenangan pasca pilpres sebelum pengumuman resmi.

Mencermati kiprah Qodari tersebut, maka kita bisa memahami penghormatan Prabowo kepada Qodari, apalagi Gibran yang memamg digadang-gadang sebagai calon pemimpin masa datang. Namun demikian, Prabowo gagal mencermati kelakuan Qodari yang sejatinya menjadi bromocorah untuk panggung politik dan demokrasi di Tanah Air ini.

Perlu dicatat, ketiga permainan kotor Qodari jelas-jelas merusak sistem demokrasi yang sehat dan bertanggung jawab. Bahkan, pernah berusaha merusak sendi kehidupan bernegara (UUD 1945). Karena itu, sungguh disesalkan sosok seperti Qodari diberi panggung kehormatan: sebagai Kepala Staf Kepresidenan (KSP). Inilah yang membuat kritikus Rocky Gerung mencak-mencak. Pengorbanan besar Prabowo justru tersiram kotoran busuk. Kerena tetap memelihara Qodari dalam lingkaran kekuasaan. Cukup strategis lagi.

Sekali lagi, Prabowo gagal. Hanya silau atas andilnya memperjuangkan Prabowo ke singgasana RI. Tapi, tertutup matanya atas kelakukan bandit politik Qodari. Harusnya, Prabowo sadar. Qodari bukan hanya bandit politik, tapi juga pedagang mafia politik. Karakter pedagang, selalu mendekat kepada siapa yang beri profit.

Dan satu lagi yang harus dicamkan Prabowo. Dari awal, Qodari adalah Jokower maniak, bukan sekedar mania. Publik tentu ingat, usai pilpres berhasil, Qodari menegaskan, Gibran akan menjadi pemimpin masa depan, selama 15 tahun ke depan. Ini berarti, hati Qodari sejatinya full untuk Gibran. Dia siap bela secara all out untuk membangun dinasti Jokowi, melalui Gibran. Pernyataan Qodari terkait Gibran, sekaligus menggambarkan potret tindakan yang siap-siap mengacak-acak prinsip dan prinsip demokrasi. Siap menghalalkan segala cara. Demi the boss yang oon dan plonga-plongo itu. Bagi Qodari, persoalan kualitas emang gue pikirin. Yang penting dapat menghisap darah segarnya selama beberapa dasawarsa. Itulah lintah. Binatang melata. Tergolong menjijikkan.

Sebuah kalkulasi politik yang cukup niscaya, keberlangsungkan politik Gibran bisa saja lebih dipercapat. Dan itu sudah dilakukan dalam gerakan demo massif-ekstensif pada 25 – 30 Agustus kemarin. Ini berarti, Qodari layak diduga menjadi bagian dari skenario melengserkan Prabowo di tengah jalan. Is it possible? The answer is why not?

Dari perspektif probabilitas itu, maka sejatinya Prabowo sedang dalam cengkeraman Geng Solo, di antaranya Qodari: sang sejati bandit politik, di samping lainnya. Wallahu `alam. Wahai Mr. President… You have to be careful. Wherever the political bandit is dangerous. Please President… Hold it and take attention. It`s very serious. Demi rakyat dan negeri yang dicintai ini.

Bekasi, 19 September 2025
Penulis: analis politik