Proklamasi, Masyumi dan Perjuangan Umat Islam
Penulis: Dr. Ahmad Yani, S.H., M.H.
Ketua Umum Partai Masyumi
Pada awal abad 20 terbukalah kesadaran-kesadaran Nasionalisme dalam diri bangsa Indonesia. Nasionalisme itu adalah suatu jiwa yang tumbuh dan hidup serta berkembang dalam suasana alam bangsa Indonesia. Ada hasrat ingin mengubah ketimpangan struktur sosial-politik dan ekonomi serta eksploitasi besar-besaran yang telah lama menguras bangsa. Ini merupakan awal mula kebangkitan Nasionalisme Indonesia yang utuh.
Tampilnya nasionalisme merupakan wujud kesadaran akan makna kekalahan perlawanan fisik yang selama ini telah diperjuangkan. Nasionalisme itu, kata Taufik Abdullah adalah nasionalisme yang sarat dengan tuntutan Zaman, paham akan kemajemukan masyarakat, yang didorong oleh hasrat untuk membentuk suatu komunitas baru yang mengatasi ikatan-ikatan etnis. Dalam nasionalisme ini segala unsur yang berkaitan dengan persamaan dan persatuan digali dan dipupuk sebagai spirit untuk bebas dari hegemoni kekuatan-kekuatan kolonial.
Dalam konteks ini Islam telah menggelorakan semangat nasionalisme dengan warna tersendiri yang mengikat rasa kebangsaan dan rasa sadar akan ketimpangan tersebut. Berdirinya Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1905 adalah merupakan tonggak awal dari semangat Islam dalam membendung kolonialisme perdagangan asing. Buya Hamka dalam buku Islam: Revolusi Menuju Keadilan Sosial menulis bahwa, “SDI merupakan awal bangunnya keinsafan dan kesadaran bangsa Indonesia”.
Pada tahun 1912 SDI merubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) dengan bergabung nya H.O.S. Cokroaminoto. Setelah empat tahun berdiri, di Bandung diadakan Kongres Central Sarikat Islam (CSI), yang berlangsung tanggal 17– 24 Juni 1916, di dihadiri oleh 80 utusan dari berbagai daerah, seperti Jawa, Sumatera, Kalimantan, Bali dan Sulawesi. Suatu jumlah yang pada waktu itu sudah merupakan jumlah yang tidak kecil.
Khusus di Tanah Air, tulis Ridwan Lubis dan Muhamad Hisyam, dalam Ensiklopedi Tematik Dunia Islam, mencatat, Sarekat Islam (SI) merupakan gerakan politik nasional pertama di Indonesia yang tidak saja meletakkan dasar, tetapi sekaligus menegakkan kesadaran nasionalisme modern Indonesia. Meski organisasi Boedi Utomo lebih dulu terlahir, tambah keduanya, organisasi yang berbasis kaum priyayi ini hanya melingkupi Jawa dan Madura. SI lebih demokratis dan egaliter dalam soal keanggotaan.
Masih di tahun 1912, di Kauman Yogyakarta, seorang Kiyai yang bernama Ahmad Dahlan mendirikan organisasi yang bercorak keagamaan yang diberi nama Muhammadiyah. Dengan gayanya yang moderat dan sifat terbuka terhadap perkembangan zaman, Muhammadiyah, mengambil langkah perjuangan di bidang pendidikan dan amal-amal sosial lainnya. Muhammadiyah ingin mengeluarkan masyarakat dari kebodohan, kejumudan dan keterbelakangan yang membuat Indonesia tidak mampu untuk bangkit dari penjajahan yang hegemonik dengan sebuah misi pendidikan yang berkemajuan. Untuk merealisasikan itu Muhammadiyah membentuk sekolah-sekolah yang bercorak moderen, dan membangun lembaga-lembaga sosial sebagai amal usaha Muhammadiyah.
Berdiri pula organisasi-organisasi Islam, seperti, Jamiatul Khoir, Al Irsyad, Jong Islamiten Bond (1922), Persatuan Islam (1920), Nahdatul Ulama (1926). Dan organisasi-organisasi tersebut dikategorikan sebagai organisasi Nasionalis-Islam. Olehnya itu dapatlah dikatakan, Umat Islam merupakan salah satu pelopor awal pergerakan nasional di Indonesia, tulis Endang Syaifuddin Anshari, dalam Buku Piagam Jakarta: 22 Juni 1945. serupa juga dikemukakan oleh Soe Hok Gie , (Lentera Merah hal. 58-59), yang mengakui bahwa ‘kaum santri lah’ yang menjadi pelopor pergerakan Indonesia. Semangat kaum santri itu lanjut Gie, menjadi sumber kekuatan gerakan-gerakan rakyat untuk mengusir penjajah selama abad-18 dan abad 19 di Indonesia.
Tanpa menafikan kehadiran dan perang penting Budi Utomo (1908), Indische Partij (1912), Perhimpunan Indonesia (1928), Jong Java dan organisasi-organisasi nasionalis lainnya, akan tetapi organisasi-organisasi Islam memberikan perekat tersendiri dalam mengatasi ikatan kedaerahan dan etnis yang majemuk, yang hidup dalam bumi Nusantara.
Pada tahun 1937, ketika bersatunya kekuatan-kekuatan Islam tersebut di atas, dengan membentuk Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), yang pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) merubah nama menjadi Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Praktis Masyumi inilah yang menjadi pemersatu Umat Islam dan menjadi Partai Islam terbesar dalam sejarah Indonesia. Pada tahun 1944 umat Islam membentuk laskar perang yang disebut Hizbullah, sebagai modal perjuangan bersenjata bagi Republik Indonesia di kemudian hari.
Maka benarlah, Nashih Nashrullah dalam artikelnya Ahad, 23 Agustus 2015, di Republika.co.id yang diberi judul Kebangkitan Nasionalisme di Tangan Islam, mengutip pendapat George McTurner Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia, yang telah mencatat sejumlah aspek yang menjadi pendorong munculnya nasionalisme di Indonesia. Selain kesatuan teritori, rasa persatuan Indonesia yang dibentuk oleh agama Islam, bahasa kesatuan, volksraad (majelis rakyat), dan surat kabar, namun tidak bisa dipungkiri bahwa sekitar 90 persen penduduk Indonesia menganut Islam, dan jelas merupakan faktor terpenting yang mendukung pertumbuhan suatu nasionalisme yang terpadu. “Agama Islam bukan hanya suatu ikatan biasa, ini benar-benar merupakan semacam simbol `kelompok dalam’ (in group) untuk melawan pengganggu asing dan penindas suatu agama berbeda,” Tegas Kahin.
Perdebatan tentang nasionalisme dan Islam, seperti perdebatan Haji Agus Salim dengan Soekarno, maupun Natsir dan Soekarno, tidak relevan lagi untuk dipertanyakan, karena tokoh-tokoh Nasionalis-Islam seperti Agus Salim dan Natsir, tidak menafikan bahwa nasionalisme sebagai pemersatu bangsa. Untuk meyakinkan bahwa tidak ada dikotomi antara Islam dan Nasionalisme itu, M. Natsir sebagaimana dikutip Endang Saifuddin Anshari dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945, mengatakan; “Pergerakan Islam pulalah yang pertama-tama meretas jalan di negeri ini bagi kegiatan politik yang mencita-citakan kemerdekaan yang telah menebarkan benih kesatuan Indonesia,”
“Konsep nasionalisme dalam pengertian ikatan persatuan antaretnis untuk pertama kali dipakai dan memperoleh makna persatuan yang sesungguhnya oleh dan dari kalangan Islam,” sambung Natsir. Serupa, Deliar Noer dalam The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1990-1942 menambahkan bahwa Islam identik dengan nasionalitas.
Muhammad Natsir sendiri dalam tindakannya sangat mendukung persatuan dan kesatuan bangsa. Hal itu dapat dilihat ketika Belanda berhasil memecah-belah negara Kesatuan Indonesia, menjadi negara Republik Serikat Indonesia (RIS). Negara RIS itu berakhir dengan pidato terkenal, yang diberi judul “Mosi Integral” dibacakan oleh Natsir dalam sidang parlemen tanggal 3 April 1950, dan orang menyebutnya sebagai proklamasi kedua Republik Indonesia, setelah Proklamasi 17 Agustus 1945.
Melihat kenyataan sejarah dan peran Umat Islam itulah yang mengilhami Bung Hatta sehingga berkali-kali mengatakan, bahwa ada tiga unsur yang mempengaruhi nasionalisme Indonesia, yaitu ajaran Islam, pemikiran sosialisme Eropa, dan corak hidup kekeluargaan masyarakat. Dan Bung Hatta menegaskan bahwa “Islam adalah gula dalam bangsa dan negara”. Soekarno pun memberikan ketegasan bahwa “nasionalisme Indonesia bukanlah nasionalisme yang sempit melainkan nasionalisme universal yang terbuka untuk semua golongan dan paham”.
Perpaduan antara nasionalisme dan Islam itulah yang mengilhami perdebatan Panjang pada sat penyusunan negara Indonesia Merdeka. Dengan dibentuknya Badan Persiapan Usaha Kemerdekaan (BPUPK) atau dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu Junbii Chōsakai, jepang memberikan sinyal untuk kemerdekaan. Badan ini bertugas untuk membahas Falsafah Dasar Negara (Filosofiche Groudslaag) dan Konstitusi Indonesia merdeka.
Dalam sidang itu ada perbedaan pendapat mengenai dasar negara yang akan dibentuk. Setelah perdebatan terbuka dalam suasana kekeluargaan, maka di carilah jalan keluar dengan membentuk Panitia Sembilan yang diketuai oleh Soekarno. Panitia ini bekerja untuk merumuskan dasar negara dan akan menyampaikan hasilnya dalam rapat BPUPK.
Pada Tanggal 22 Juli 1945, Panitia Sembilan melaporkan hasil kerjanya yang berupa rumusan dasar negara, dan diberi nama Piagam Jakarta, yang dalam point pertama mengatakan, “Ketuhanan dan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya”. Setelah membacakan hasil kerja panitia sembilan itu Soekarno dengan “tegas” meyakinkan anggota BPUPK bahwa itulah hasil konsensus antara pihak nasionalis dan Islam. Semua anggota menerima Piagam itu secara bulat.
Piagam Jakarta (Jakarta Charter) merupakan Dokumen Sejarah yang menjiwai kehidupan bangsa Indonesia. Suatu Dokumen yang merupakan hasil kesepakatan bersama (Gentlement’s Agrement) antara tokoh-tokoh bangsa.
Ternyata setelah itu kondisi politik dunia berubah. Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu—Amerika Serikat, pada tanggal 14 Agustus 1945, setelah Herosima dan Nagasaki di bom bardir. Otomatis janji kemerdekaan dari Jepang tidak bisa lagi diharapkan. Oleh karena itu pihak Republik, khususnya kaum muda mendesak untuk diproklamasikan Negara Indonesia. Sepulang dari Dalat, setelah bertemu Jenderal Terauchi, Soekarno dan Hatta “dipaksa” untuk memproklamirkan Negara Indonesia. Maka pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jalan Pegangsaan Timur, hari Jumat jam 10 pagi dalam bulan Ramadhan dibacakan lah Proklamasi oleh Soekarno yang didampingi Muhammad Hatta.
Sore hari, setelah pembacaan Proklamasi Kemerdekaan – menurut cerita Bung Hatta – datanglah seorang Opsir Kaigun – Pembantu Laksamana – menyampaikan keberatan orang Indonesia Timur akan tujuh kata dalam point pertama Piagam Jakarta itu. Tatkala itu tanggal 18 Agustus 1945, tulis Haedar Nashir – dalam Republika.co.id, Ahad, 27 November 2016, Indonesia Siapa Punya? – Indonesia diambang perpecahan, karena persoalan Piagam Jakarta itu. Namun umat Islam melalui tokoh utamanya Ki Bagus Hadikusumo dengan mediator Kasman Singodimedjo memberi jalan keluar, meski harus berkorban luar biasa. Padahal Piagam Jakarta kala itu merupakan Gentlemen Agreement semua golongan, yang pelopor utamanya ialah Soekarno.
Para tokoh Islam yaitu Agus Salim, Abdul Kahar Mudzakir, Abikusno Tjokrosujoso, dan Abdul Wahid Hasyim, sebagai anggota Panitia Sembilan yang disebut mewakili golongan Islam harus merelakan tujuh kata “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pengorbanan keyakinan Islam itu, meski ada unsur siasat tidak fair, Lanjut Haedar, para wakil umat Islam demi mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang baru merdeka, demi menjaga konsolidasi Republik yang masih muda, kalimat itu rela dihapuskan. Itulah hadiah terbesar umat Islam untuk Indonesia, ujar Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara.
Setelah 79 Tahun Indonesia Merdeka
Setelah merampung perjuangan mencapai Indonesia Merdeka dan Bersatu, bangsa ini, tidak henti-hentinya di dera oleh masalah ketimpangan dan ketidakadilan. Selama 79 Tahun Merdeka kita sulit untuk mewujudkan Sebagian cita-cita perjuangan bangsa ini.
Hal ini penyebab utamanya karena pengelolaan sumber daya alam yang tidak adil, hanya bertumpu pada oligarki dan Kleptokrasi. Selain itu, Kita tidak bersyukur menjadi bangsa yang kaya, dan kufur akan nikmat yang telah diturunkan oleh Allah, sehingga kita terus didera masalah dan kemiskinan.
Ekonomi Indonesia dikuasai segelintir orang, tanah Indonesia dikuasai oleh segentir orang, dan kekayaan Indonesia hanya berpusat pada segelintir orang. Merdeka pada hakikatnya adalah untuk mencapai Indonesia yang adil, Makmur dan Sentosa, kini kehilangan hakikatnya dan justru menjadi Indonesia yang penuh ketimpangan.
Ketimpangan itu melucuti nasionalisme kita, merenggut semangat kemerdekaan kita dan justru membuat kita terjajah Kembali. Apa yang terjadi dalam proyek ibu kota baru yang disebut Ibu Kota Nusantara? Sebuah agenda terselubung untuk merampas nasionalisme dan mengembalik rezim colonial. Tanah Hak Guna Usaha disediakan bagi investor dengan jangka yang sangat lama hampir dua abad, yaitu 190 tahun.
Belanda menjajah kita 350 tahun, tetapi para pejuang tidak pernah menyerahkan tanah selama itu. Bahkan mereka berjuang melawan penjajah yang ingin menguasai tanah dan Airnya.
Kondisi ini jauh dari hakikat nasionalisme dan kemerdekaan yang diperjuangkan oleh para pendahulu bangsa ini. Penyebabnya karena kita hampir kehilangan peta jalan, baik peta untuk menemukan kearifan masa lalu, maupun peta untuk mencapai masa depan.
Tugas Penting Umat Islam
Kondisi ini harus membangkitkan Kembali semangat nasionalisme Islam, semangat kesatuan Islam yang pernah ada dalam sejarah. Semangat pengorbaban dan perjuangan yang telah dicontohkan oleh para pendahulu.
khususnya Umat Islam, mempertahankan negara adalah kewajiban. Wajib untuk melindungi kepentingan nasional dan membangun masyarakat yang baldatun thoyyibatun wa rabbun ghofur.
Untuk mencapai tujuan itu, tidak bisa dengan sekedar internalisasi nilai Islam, namun perlu internasionalisasi perjuangan politik Islam. Keberadaan Partai Islam dalam hal ini sangat penting untuk membangun dan mempertahankan negara Kesatuan Republik Indonesia yang sesuai dengan cita-cita proklamasi.
Seperti Kata M. Natsir, yang disadur oleh Prof. Dr. Thohir Luth, MA, “Bahwa Islam di Indonesia akan redup kalau tidak di back up oleh partai Islam, maka partai politik menjadi keharusan bagi umat Islam”. Karena Penting umat Islam adalah membangun kesadaran politik disetiap komunitas dan pribadi Muslim.
Sebuah pernyataan yang cukup menjadi alasan kenapa begitu penting partai Islam karena hanya dengan kepentingan dan aspirasi Islam dapat terlaksana dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sepanjang rute sejarah Indonesia, kita dapat saksikan kekuatan politik Islam yang sangat ideal dan menjadi legenda politik di Indonesia.
Adalah Partai Masyumi yang pernah eksis tahun 1945-1960, menjadi partai penting dan diperhitungkan. Kenapa Masyumi begitu penting dan diperhitungkan? Karena masyumi adalah institusi politik yang paling morderat dan berintegritas. Kejujuran dan keihlasan dalam membangun bangsa dan negara menjadi pelajaran penting dalam perjalanan Indonesia.
Meskipun pada tahun 1960, akibat agresifitas orde lama terhadap Masyumi, kemudian partai itu dipaksa bubar, namun secara moral dan generasi, Masyumi masih eksis sampai hari ini. Tatkalah partai Islam menjadi pemenang pemilu dan memiliki suara yang cukup dominan, otoritanisme mencabutkan. Maka Kata M. Natsir “Islam beribadah akan dibiarkan, Islam berekonomi akan diawasi, Islam berpolitik akan dicabut sampe ke-akar-akarnya”.
Karena itu upaya untuk mengembalikan partai Islam menjadi penting, dan mengembalik ruh perjuangan masyumi, baik secara institusional maupun moral harus dilakukan. Masyumi telah menjadi garda terdepan dalam mewujudkan Indonesia yang adil, berdaulat, Makmur dan berkemajuan.
Namun hari-hari ini peran partai Islam semakin redup, keadaan ummat semakin tercerai-berai, politik Islam hanya menjadi symbol. Umat kehilangan keteladanan, dan partai Islam semakin terciut, suara umat mengambang. Kondisi ini menjadi refleksi Bersama bagi tokoh-tokoh Islam.
Kita hendak berkonstribusi dalam negara Indonesia Merdeka, mengukir sejarah seperti pendahulu kita, namun kita gagal seperti tokoh-tokoh pejuang Islam di masa lalu. Tugas kita Umat Islam dalam Indonesia merdeka adalah mengembalikan kewibawaan Islam dalam menciptakan kehidupab berbangsa dan bernegara yang maju dan sejahtera, adil dan Makmur.
Sebagai pelopor persatuan dan kebangkitan nasionalisme, umat Islam akan tetap menjadi bagian penting dari perjuangan untuk membangun Indonesia sekaligus mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia, supaya menjadi bangsa yang besar dan maju. Bangsa yang menghargai kemajemukan dan memiliki nilai toleransi akan kemajemukan itu. Menjadi tugas serta kewajiban umat Islam pula, untuk mempertahankan Negara Indonesia dari perpecahan dan disintegrasi, sehingga cita-cita Founding Fathers atau tokoh- tokoh Islam dahulu bisa terwujud