Politik Sprindik: Hukum dijadikan Alat oleh Rezim
Dr. Ahmad Yani
Ketua Umum Masyumi
Fenomena yang terjadi belakangan ini nampaknya memperlihatkan bagaimana hukum telah menjadi alat untuk memukul lawan-lawan politik. Ini telah terjadi selama hampir sepuluh tahun belakangan ini.
Kita mungkin masih ingat, bagaimana rezim Jokowi memulai debutnya dengan memecah belah partai-partai politik. Dengan menggunakan instrumen kekuasaan, di Kementrian Hukum dan HAM, partai politik dengan mudahnya dipecah.
Perkelahian internal yang terjadi di beberapa partai, seperti Partai Persatuan Pembangunan dan partai Golkar misalnya, dijadikan instrumen bagi penguasa untuk ikut campur dalam urusan politik melalui “politik Surat Keputusan” dari Menteri yang membidangi urusan itu.
Kedua Partai itu dengan mudah diberantakkan dan membuatnya tidak berdaya. Perebutan legitimasi itu memaksa para elit partai untuk “jinak” pada kekuasaan.
Politik dengan menggunakan instrumen hukum untuk menundukkan lawan sudah dimulai sejak awal. Penggunaan otoritas politik untuk menduduki lembaga-lembaga independen misalnya, terjadi sedemikian sempurna.
Pelemahan institusional terhadap lembaga-lembaga negara terjadi. Pelemahan terhadap KPK dengan “mengusir” orang-orang yang memiliki integritas melalui tes Kemampuan Wawasan Kebangsaan yang sebenarnya hanya sebagai alat untuk menendang mereka.
Pelemahan institusional seperti pelemahan MK dengan merubah dan mengotak-Atik masa jabatan hakim dan independensi hakim MK. Dengan lemahnya MK, maka produk legislasi DPR dan Presiden tidak ada lagi yang menghalanginya untuk merumuskan apa saja yang menjadi kehendak mereka.
Perubahan regulasi lembaga independen seperti Badan Pemeriksa Keuangan yang memungkinkan orang politik masuk di dalamnya, begitu juga dengan otoritas jasa keuangan yang hendak dimasukkan oleh para politisi. Lembaga-lembaga independen dilemahkan.
Ketika semua lembaga lemah, maka otoritas eksekutif akan semakin kuat, dan dengan mudah mengendalikan semua lembaga negara dengan mengisinya dengan orang-orang yang bermasalah. Inilah yang akhirnya menghilangkan chek and balances dalam pemerintahan.
Mekanisme Hukum layani Kepentingan Rezim
Bagaimana kekuasaan mengendalikan musuh-musuhnya dan menundukkan lawan-lawannya? Cukup sandera mereka dengan hukum, lalu mereka akan tunduk sepenuhnya. Itulah pedoman dari para penguasa tiran.
Para tiran-tiran di dunia, menggunakan hukum sebagai senjata. Hitler di Jerman, Idil Amin di Uganda, Mussolini di Italia adalah sebagian contoh kecil bagaimana hukum dijadikan senjata untuk membunuh lawan-lawan politiknya.
Mereka tiran dalam arti yang sesungguhnya. Menggunakan politik teror dengan cara Bengis dan kejam. pemerintahannya dibangun diatas tulang belulang kemanusiaan.
Rezim tiran semacam itu mungkin kurang populer lagi di zaman moderen ini, sebab politik moderen begitu canggih, tetapi kecanggihannya tidak mampu menghalau para otokrat naik tahta.
Rezim yang tiran dan kejam masih hidup dalam bentuk yang soft, yaitu otokrasi. Pemerintahannya mirip seperti tirani.
Dalam rezim otokrasi, hukum dijadikan alat untuk membungkam lawan politik. Dalam pemerintahan otokrasi, hukum seakan-akan berjalan, pemilihan umum reguler dilaksanakan, namun aturan mainnya telah ditentukan oleh penguasa. Inilah yang disebut otokrasi legalisme.
Pemerintahan Jokowi berbeda dengan cara-cara tiran besar itu dalam semua aspek. Rezim yang berusia 10 tahun ini, tidak menggunakan kekerasan, namun daya rusaknya bagi negara lebih menjanjikan. Mungkin pemerintahannya tidak bisa disebut tirani, melainkan otokrasi.
Bagaimana rezim otokrasi Mengendalikan hukum?
Belum terhapus dalam ingatan publik, tentang penolakan terhadap Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja. UU yang kontroversial itu dibatalkan oleh MK, dengan syarat baru berlaku setelah DPR dan Pemerintah memperbaikinya.
Diluar dari perintah konstitusional MK itu, Jokowi justru mengeluarkan Perpu untuk mengembalikan UU yang dinyatakan batal oleh MK itu tanpa perbaikan.
Penggunaan kewenangan mengeluarkan Perppu memang secara hukum adalah kewenangan Presiden. Tetapi menggunakan Perpu tanpa alasan dengan mengakali konstitusi adalah tindakan rezim otokrasi.
DPR sebagai lembaga yang mengawasi pemerintah pun telah dikuasai dengan sempurna. Sehingga setiap kebijakan kontroversial pemerintah yang mendapatkan penolakan masyarakat selalu disetujui oleh DPR.
Hilangnya kontrol dari lembaga legislatif tidak terlepas dari “sprindik politik” yang disiapkan untuk “bos-bos” partai yang memiliki masalah hukum.
Perubahan aturan main pemilihan umum juga dilakukan secara vulgar. Putusan MK nomor 90 Tahun 2023 dalam pengujian pasal 169 huruf q UU No. 7/2017 Tentang Pemilu yang mengatur syarat Calon Presiden dan Wakil Presiden adalah cara rezim otokrasi menggunakan instrumen MK untuk merubah aturan main pemilu.
Begitu juga penggunaan ambang batas pada pemilihan kepala daerah yang hampir menguasai semua partai politik lewat koalisi besar. Hampir sebagian besar daerah dipasang Calon Tunggal kalau seandainya putusan MK 60/2024 tidak keluar. Memang putusan MK itu bermasalah, tapi dengan putusan itu pula partai yang politik yang memiliki kemampuan untuk keluar dari jebakan sprindik dapat mengusulkan calon sendiri.
Penjinakan kekuatan-kekuatan politik dengan ancaman hukum berupa kesalahan para “bos-bos” partai politik menjadi populer di kalangan elit partai. Mereka semua “dipenjara” dengan ketakutan.
Itulah yang terjadi pada ketua-ketua umum partai politik. Mereka ketakutan menghadapi ancaman yang paling mengerikan bagi partai dan elit-elitnya.
Pengendalian kekuatan politik dengan “sprindik” adalah gambaran tentang keadaan dimana para politisi di Indonesia ini lebih banyak bermasalah.
Tidak mengherankan, pemerintahan Jokowi mampu mengendalikan DPR dalam waktu yang lama. Pengendalian institusi legislatif merupakan point penting untuk menjalankan kebijakan tanpa koreksi.

