POLITIK PLATONIK: PERTARUNGAN GAGASAN YANG RAPUH
Oleh: Radhar Tribaskoro
Plato, dalam Symposium, menulis bahwa cinta sejati adalah cinta yang melampaui tubuh: cinta kepada keindahan jiwa dan ide. Dari sini lahir istilah cinta platonik. Dalam politik, analoginya adalah politik platonik: politik yang bertumpu pada pertarungan gagasan, bukan perebutan kekuasaan dengan kekerasan.
Politik platonik bukan berarti damai atau lembut. Justru sebaliknya, ia keras, penuh retorika, dan sarat konflik. Tetapi batasnya jelas: semua pertempuran terjadi di arena ide, simbol, dan institusi—bukan di jalanan dengan senjata.
—-
Mari kita tengok Amerika Serikat. Dalam pemilu 2020, Donald Trump menolak kalah dari Joe Biden. Ia menuduh ada kecurangan sistematis. Kata-katanya memicu kerusuhan di Capitol Hill. Tetapi sistem tetap berdiri: Kongres mengesahkan kemenangan Biden, Mahkamah Agung menolak gugatan, Biden dilantik sesuai jadwal.
Pertarungan itu sangat keras, bahkan mengguncang. Tetapi ia tetap berada dalam rel gagasan dan institusi. Politik Amerika, meski retak, masih platonik.
—-
Indonesia juga punya momen politik platonik. Soekarno dan Hatta berdebat soal demokrasi parlementer atau demokrasi terpimpin. Soeharto vs Benny Murdani berselisih tentang politik Islam, Gus Dur dan Megawati bertikai soal legitimasi kultur versus struktur. Bahkan Jokowi dan Oposisi Rakyat pun bertarung dalam narasi demokrasi versus otoritarianisme.
Tetapi bedanya, politik platonik di Indonesia jarang bertahan.
– Soekarno–Hatta berakhir dengan konsentrasi kekuasaan di tangan presiden.
– Soeharto–Benny Moerdani meluncur ke amok 1998.
– Gus Dur–Megawati berakhir dengan pemakzulan.
– Jokowi–Oposisi Rakyat kini berakhir dengan dinasti politik, korupsi, ketidak-adilan dan runtuhnya kepercayaan publik pada lembaga.
Politik platonik kita terlalu rapuh. Gagasan cepat berubah menjadi perebutan kursi, intrik, atau kekerasan di jalanan.
*
Mengapa bisa begitu berbeda dengan Amerika? Jawabannya ada pada institusi dan kepercayaan publik.
Di AS, meski terbelah, rakyat masih percaya pemilu dan hukum sebagai arena adil. Di Indonesia, publik justru curiga pada sistem. Pemilu dianggap penuh manipulasi, hukum dipandang sebagai alat rezim. Maka perang gagasan cepat berubah menjadi amok—ledakan marah yang tak lagi mengenal batas.
Perbedaan lain adalah budaya politik. Di Amerika, kalah dalam pemilu bukan akhir dunia; masih ada kesempatan lima tahun lagi. Di Indonesia, kalah berarti kehilangan akses pada sumber daya dan perlindungan hukum. Politik bukan sekadar gagasan, tetapi soal hidup-mati.
*
Politik platonik adalah tanda peradaban. Ia memungkinkan perbedaan ide diperdebatkan tanpa mengorbankan darah. Tetapi untuk menjaganya, kita butuh pagar: parlemen yang independen, pers yang bebas, hukum yang netral.
Tanpa itu, politik platonik hanya akan jadi kenangan. Ia indah dalam gagasan, tapi gagal dalam kenyataan. Seperti cinta Laila Majnun yang tak pernah bersatu, cinta yang berujung kepada kegilaan—dan kita kembali pada politik primitif: siapa yang kuat, dialah yang menang.===
Cimahi, 4 September 2025
[11.29, 4/9/2025] Ahmad Yani AY: Menguji Surplus Klaim Menteri Pertanian Melalui Data dan Fakta Lapangan
Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
Narasi “swasembada”, “stok melimpah”, dan “serapan gabah naik 2.000%” kerap menggema dari podium Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman. Namun, di balik retorika optimis tersebut, harga beras di pasar tetap tinggi, petani merana, dan gudang Bulog dipenuhi beras rusak. Indonesian Audit Watch (IAW) coba membongkar kesenjangan antara klaim dan realita dengan pisau analisis berbasis data.
Retorika vs realita
Sejak pertama kali dilantik pada 2014 dan kembali pada 2023, Amran Sulaiman konsisten dengan gaya komunikasi yang penuh klaim besar. Namun, laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan kondisi di lapangan justru menunjukkan cerita yang berbeda:
1. Klaim: stok beras surplus dan melimpah. Fakta: harga beras konsisten tinggi, impor terus berjalan, dan BPK berulang kali menemukan stok beras lama yang rusak di gudang Bulog, menyebabkan kerugian negara yang membengkak hingga triliunan rupiah.
2. Klaim: serapan gabah petani naik 2.000% dalam tiga bulan. Fakta: klaim ini dipertanyakan karena tidak disertai transparansi data pembelian, seperti kontrak, invoice, dan bukti pembayaran kepada petani dengan harga yang sesuai HPP.
3. Klaim: alih fungsi lahan tidak separah yang dikhawatirkan yaitu 100 ribu hektare, dan sawah justru bertambah 200 ribu hektare. Fakta: data BPS menunjukkan angka alih fungsi lahan yang lebih rendah (30-40 ribu hektare). Yang penting diperdebatkan bukan hanya angkanya, tetapi kualitas dan produktivitas lahan yang hilang dan yang ditambahkan.
Metodologi IAW: lima lapis pengujian klaim
IAW merancang kerangka analisis untuk menguji setiap klaim pejabat publik secara rasional:
1. Stok vs harga: jika stok benar-benar melimpah, mengapa harga tidak kunjung turun?
2. Angka serapan: klaim peningkatan fantastis harus dibuktikan dengan data waktu, lokasi, volume, dan mutu yang transparan.
3. Data kahan: membandingkan data satelit dengan data survei sampel BPS, dengan fokus pada dampak produktivitas.
4. Distribusi: klaim “pergeseran distribusi” untuk kelangkaan beras premium harus dibuktikan dengan dokumen pengiriman (DO) dan peningkatan stok di pasar tradisional.
5. Subsidi dan penegakan hukum: memastikan beras bersubsidi dan fortifikasi tepat sasaran, bukan justru dialihkan ke jalur premium yang berpotensi koruptif.
Pola dua periode bergaya sama, masalah klasik berulang
Analisis temporal menunjukkan pola yang konsisten:
Periode 2014-2019: janji swasembada pangan tidak pernah benar-benar terwujud. Indonesia tetap mengimpor beras, dan temuan BPK mengungkap kelemahan tata kelola.
Periode 2023-sekarang: klaim kembali lebih sensasional. Namun, realitanya adalah kenaikan harga beras, mati surinya penggilingan padi kecil (UMKM), dan ketergantungan pada impor. Rekomendasi audit BPK dari tahun-tahun sebelumnya tidak dijadikan pelajaran.
Rekomendasi: dari retorika harus ke akuntabilitas
IAW tidak hanya mengkritik, tetapi juga berupaya memberikan solusi konkret untuk membawa tata kelola pangan dari wilayah “mulut” ke “metode”:
1. Jadikan LHP BPK sebagai panduan. Setiap temuan audit harus dituntaskan dengan bukti yang dapat diakses publik.
2. Lakukan audit tematik nasional untuk memverifikasi stok harian, program SPHP, dan lahan sawah yang diklaim.
3. Buat dashboard publik real-time yang memadukan data Kementan, Bulog, dan Bapanas untuk memantau stok, harga, dan distribusi.
4. Lindungi penggilingan padi kecil dengan memastikan akses mereka terhadap bahan baku dan program pemerintah.
5. Penegakan hukum yang presisi, tidak menyasar pelaku UMKM kecil.
6. Wajibkan “data pack” untuk setiap klaim menteri. Setiap pernyataan tentang surplus harus disertai dataset yang dapat diunduh dan diverifikasi publik.
Kesimpulan
Surplus sejati bukanlah soal kata-kata di podium, melainkan tentang:
1. Harga beras yang terjangkau di pasar.
2. Gudang yang dikelola dengan sehat tanpa barang rusak.
3. Penggilingan padi kecil yang bisa bernapas lega.
4. Rekomendasi BPK yang ditindaklanjuti dengan serius.
Tanpa bukti yang nyata dan dapat diverifikasi, klaim “surplus” hanyalah surplus kata-kata yang tidak mengisi piring rakyat.

