Pemikiran, Perjuangan, dan Keteladanan Mohammad Natsir
Oleh M. Fuad Nasar
Pada 17 Juli 1908 seorang tokoh Indonesia Mohammad Natsir gelar Datuk Sinaro Panjang dilahirkan di Alahan Panjang, Sumatera Barat. Minangkabau di awal kemerdekaan melahirkan banyak tokoh intelektual bangsa dan pendiri republik.
Mohammad Natsir dikenal sebagai ulama, pejuang, negarawan, dan politisi generasi proklamasi. Dalam kondisi apapun, kalau untuk kepentingan negara dan rakyat selalu didahulukannya tanpa memikirkan kepentingan diri pribadi. Maka, tidak berlebihan Menteri Agama pada waktu itu H. Alamsjah Ratu Perwiranegara dalam acara Tasyakur 70 Tahun Mohammad Natsir dalam sambutannya mengatakan Mohammad Natsir adalah orang besar Indonesia.
Indonesia di masa depan, untuk meraih kejayaan, membutuhkan pemimpin dan kepemimpinan yang bersih dan bermartabat. Bangsa yang besar ini membutuhkan pemimpin di semua lapisan dan tingkatan pemerintahan yang tidak menyalahgunakan amanah jabatan untuk memperkaya diri sendiri. Pemimpin yang ikhlas berbuat untuk kepentingan rakyat. Pemimpin yang mempunyai watak dan kepribadian serta memikirkan nasib generasi mendatang dan berupaya mempersiapkannya. Pemimpin yang satu kata dengan perbuatan. Dalam segala kriteria di atas, Mohammad Natsir layak dicontoh.
Pejuang, Pemimpin dan Negarawan
“Kalau anda hendak memahami apa yang sedang terjadi dalam Republik, anda seharusnya berbicara dengannya.” ujar Haji Agus Salim kepada seorang jurnalis Amerika Serikat yang kemudian menjadi guru besar ilmu politik Cornell University yaitu George McTurnan Kahin. Jurnalis Amerika itu amat terkesan dengan kesederhanaan Mohammad Natsir yang dijumpainya di Yogyakarta.
Salah seorang sahabatnya Mr. Mohamad Roem menjuluki Natsir ”pemimpin dan hati nurani umat”. Mengutip kesaksian Natsir Zubaidi, teladan yang mengesankan dari kepribadian Mohammad Natsir ialah bisa menerima, berkomunikasi dan melayani segala lapisan masyarakat. Siapa saja bisa dekat dengan beliau, baik pejabat tinggi, diplomat negara sahabat, ulama, cendekiawan, orang tua, anak muda, kaum terpelajar, maupun orang awam yang tidak berpendidikan tinggi, tidak merasa canggung berhadapan dan berbicara dengan Mohammad Natsir.
Sejak muda Mohammad Natsir memiliki kepedulian terhadap dunia pendidikan. Menurutnya, maju-mundurnya suatu bangsa bergantung pada pendidikan bangsa tersebut. Sejak masa penjajahan Hindia Belanda, ia berupaya memerangi kebodohan dan mencerdaskan kehidupan rakyat pribumi dengan mendirikan sekolah Pendidikan Islam di Bandung tahun 1932.
Menjelang Indonesia merdeka Mohammad Natsir merupakan konseptor yang bersama Bung Hatta mempersiapkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta sebagai cikal bakal perguruan tinggi Islam di tanah air dengan konsep integrasi ilmu. Dalam beberapa kesempatan diungkapkannya, tiga pilar kebangkitan umat yang harus bersinergi yaitu Masjid, Kampus, dan Pesantren.
Mohammad Natsir pernah menjadi Anggota Badan Pekerja KNIP (1945-1946) yang merupakan parlemen pertama RI. Ia merupakan salah satu Anggota KNIP yang mendukung dibentuknya Kementerian Agama tahun 1946 setelah sebelumnya usulan serupa tidak disepakati dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tahun 1945.
Keterlibatannya dalam kancah politik di awal kemerdekaan mengantarkannya pernah tiga kali menjadi Menteri Penerangan dalam Kabinet Sjahrir I dan II serta Kabinet Hatta. Selanjutnya menjabat Perdana Menteri RI (1950-1951). Puncak kariernya sebagai politisi adalah terpilih sebagai Ketua Umum Partai Masyumi (1949 – 1958).
Lukman Hakiem, penulis Biografi Mohammad Natsir Kepribadian, Pemikiran dan Perjuangan (2019) mengemukakan fakta yang jarang terungkap seputar peran Mohammad Natsir sebagai Panitia Lambang Negara RI. Mengutip penelitian Turiman Fatchurrahman, simbol sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa yaitu bintang segi lima dalam lambang negara Garuda Pancasila adalah sumbangan ide dari Mohammad Natsir, simbol sila kedua, sketsa gambar perisai dan garis khatulistiwa adalah ide dan usulan dari Sultan Hamid II, simbol sila ketiga sumbangan ide dari Poerbatjaraka, simbol sila keempat sumbangan ide dari Mr. Muhammad Yamin, dan simbol sila kelima sumbangan ide dari Ki Hadjar Dewantara.
Peran politik Mohammad Natsir tahun 1950 menyelamatkan Indonesia dari perpecahan dan mendorong kembalinya Negara Kesatuan. Pasca penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda tahun 1949, Indonesia terpecah menjadi 15 negara bagian bikinan Van Mook. Gejolak di berbagai daerah menunjukkan adanya keinginan untuk kembali bersatu, namun bagaimana caranya sampai saat itu belum ditemukan.
Dalam kondisi deadlock atau kebuntuan, muncul ide brilian Mohammad Natsir yaitu “Mosi Integral”. Mosi Integral kembali ke negara kesatuan dicetuskannya tanggal 3 April 1950 sebagai anggota Parlemen dari Fraksi Masyumi. Mosi Integral membuka jalan pulihnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan cara terhormat dan demokratis. Mosi Integral mendapat dukungan luas dan ditandatangani oleh seluruh fraksi di DPR-RIS.
Mohammad Natsir mengajak seluruh pemimpin negara-negara bagian agar membubarkan diri secara damai dan bersama-sama mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui prosedur parlementer. Pada 17 Agustus 1950 negara Republik Indonesia untuk kedua kalinya diproklamirkan menjadi Negara Kesatuan oleh Presiden Soekarno di Istana Merdeka Jakarta. Sejak hari itu Republik Indonesia Serikat (RIS) resmi bubar.
Presiden Soekarno menunjuk Mohammad Natsir menjadi formatur Kabinet, dan sekaligus Perdana Menteri. Kabinet Natsir merupakan zaken cabinet, kabinet yang menteri-menterinya dipilih berdasarkan keahlian, bukan atas dasar partai.
Garis kebijakan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif dicetuskan pertama kali ketika Mohammad Natsir menjadi Perdana Menteri. Dalam masa pemerintahan Perdana Menteri Mohammad Natsir, Republik Indonesia menjadi Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada 27 September 1950 Majelis Umum PBB dengan suara bulat menerima Indonesia menjadi anggota PBB yang ke-60.
Warisan monumental lainnya dari Kabinet Natsir, meski memegang pemerintahan dalam periode yang singkat, ialah menetapkan pelajaran agama sebagai mata pelajaran pokok di sekolah-sekolah. Semasa Mohammad Natsir menjadi Perdana Menteri, yang menjabat Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan ialah Prof. Dr. Bahder Djohan, dan Menteri Agama K.H.A. Wahid Hasjim. Dalam periode itu lahir Peraturan Bersama Menteri PP dan K dan Menteri Agama tanggal 20 Januari 1951 dan mulai berlaku 1 Februari 1951 bahwa di tiap-tiap sekolah rendah dan sekolah lanjutan (umum dan vak/kejuruan) diberikan pendidikan agama menurut agama masing-masing murid. Kebijakan Kabinet Natsir tentang pendidikan agama di sekolah-sekolah umum membentengi dunia pendidikan Indonesia dari Sekularisasi.
Dalam era demokrasi liberal dan pemerintahan partai-partai, tidak ada kabinet yang berumur panjang. Kabinet Natsir digantikan oleh Kabinet Sukiman. Selesai perpisahan dengan para stafnya Mohammad Natsir langsung mengembalikan mobil dinas, pulang naik sepeda dan pindah dari rumah jabatan dengan hanya membawa koper pakaian dan barang milik pribadi. Begitu pun sisa dana taktis yang telah menjadi haknya Perdana Menteri dikembalikannya ke bendahara kantor. Mohammad Natsir adalah teladan politisi-negarawan penyelenggara negara berintegritas dan anti-korupsi yang pernah dimiliki republik ini.
Pada awal Orde Baru, Mohammad Natsir adalah tokoh di balik layar yang berperan membantu pemulihan hubungan diplomatik Indonesia dengan Malaysia pasca konfrontasi “Ganyang Malaysia” di masa pemerintahan sebelumnya. Walau pun ketika itu masih dalam karantina politik, Mohammad Natsir atas permintaan pejabat tinggi militer Orde Baru menulis surat pribadi kepada Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman yang sebelumnya menolak menerima utusan pemerintah Indonesia yaitu Ali Moertopo dan L.B. Moerdani.
Dalam membantu akses diplomasi pemerintah Orde Baru ke negara-negara Timur Tengah, khususnya Kuwait, meski dipersulit untuk bertemu Presiden Soeharto dalam rangka pamitan, dengan hati yang tulus demi bangsa dan negara, di sela menghadiri konperensi internasional Mohammad Natsir tetap bersedia menyampaikan pesan pemerintah agar Kuwait melakukan investasi di Indonesia, dan misi tersebut berhasil. Dalam masalah integrasi Timor Timur ke negara Republik Indonesia tahun 1976, walau tanpa diminta Natsir meyakinkan negara-negara Arab sehingga memahami langkah yang diambil pemerintah Indonesia di masa itu.
Sejarawan Taufik Abdullah pada acara Refleksi Seabad Mohammad Natsir tahun 2008 menyebut Natsir itu seorang yang Konstitusionalis. Sejalan dengan yang dikatakan begawan sejarah itu, sepanjang hayatnya Mohammad Natsir tidak pernah bersikap masa bodo melihat suatu kebijakan publik yang dianggap melanggar konstitusi. Tetapi ia tidak menyukai cara-cara ekstrem atau melanggar hukum dan konstitusi dalam menyelesailan persoalan bangsa. Baginya, demokrasi di bawah hukum, bukan sebaliknya.
Setelah partai Masyumi dipaksa bubar tahun 1960, Mohammad Natsir bersama-sama sahabat-sahabatnya yang secita-cita pada tahun 1967 mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Beliau mengatakan, “Dulu berdakwah lewat politik, sekarang berpolitik melalui dakwah”.
Dewan Dakwah di bawah kepemimpinan Mohammad Natsir menggerakkan dakwah di perkotaan dan pedesaan, menggalakkan publikasi dakwah (buku, majalah, buletin jumat), melatih para da’i, mengirim da’i ke daerah terasing dan transmigrasi, membantu pendirian Rumah Sakit Islam di sejumlah daerah, dan pembangunan masjid, termasuk masjid-masjid kampus. Dewan Dakwah juga mensponsori pengiriman mahasiswa Indonesia untuk mendalami ilmu agama Islam ke Timur Tengah.
Penerbitan Tempo tahun 2017 menerbitkan edisi khusus tokoh Islam di awal kemerdekaan yaitu buku Natsir: Politik Santun Di Antara Dua Rezim. Buku dokumenter tersebut menceritakan profil Mohammad Natsir sebagai seorang ulama, politisi, dan pejuang kemerdekaan Indonesia.
Berpolitiklah, Tapi Tidak Dengan Dendam
Sepanjang hidupnya Mohammad Natsir dikenang sebagai pemimpin teladan yang jujur, sederhana dan bermartabat. Ia tidak memelihara rasa benci dan dendam terhadap lawan-lawan politiknya. Perbedaan ideologi dan pertentangan politik setajam apa pun bukan berarti bermusuhan secara pribadi.
Politik santun Mohammad Natsir mengajarkan nilai-nilai yang amat berharga kepada bangsa ini. Ia menuturkan dalam wawancara Majalah Kiblat No 16, Juli – Agustus 1989, dalam hal tokoh-tokoh dulu, walaupun bertentangan tapi hubungan pribadi tetap erat. PKI dengan Masyumi, kan tidak bisa damai. Setelah bertengkar di parlemen, istirahat, bisa duduk dan minum kopi, tidak membicarakan perdebatan tadi. Meskipun kita berbeda paham asal mengutarakannya tanpa menyakiti hati, argumentasi diadu dengan argumentasi, kan tidak masalah. Budaya itu sudah hilang. Sekarang kalau berbeda pendapat, sudah menjadi musuh, ujarnya.
Perbedaan pendapat ataupun ideologi di antara para pemimpin di masa lalu, misalnya antara Pak Natsir dan Bung Karno, tidak menyebabkan permusuhan pribadi. Mohammad Natsir adalah negarawan yang tidak memiliki sifat ekstrem dan pendendam kepada orang lain. Sebagaimana diutarakannya dalam buku Bung Karno Dalam Kenangan (Solichin Salam, 1981), “Saya ingin menegaskan lagi di sini, bahwa sebagai pribadi dalam segala perbedaan atau pertentangan pendapat tidak pernah saya maupun Bung Karno menaruh rasa dendam satu sama lain. Mudah-mudahan sikap jiwa (mental attitude) yang demikian ini dapat dihidupkan kembali dalam rangka pembinaan bangsa di kalangan generasi penerus.” tandasnya.
Mohammad Natsir dan beberapa tokoh senior bangsa mengkritisi kebijakan politik pemerintah Orde Baru yang membatasi demokrasi dan kedaulatan rakyat. Tetapi artikulasi bahasa yang digunakan dengan santun dan bijak. Keteladanan Mohammad Natsir, bahwa perbedaan pendapat dan kritikan dalam negara demokrasi tidak boleh meninggalkan keadaban publik. Kebebasan berpendapat tidak seyogianya digunakan untuk melampiaskan kebencian.
Kepada tim reporter Majalah Panji Masyarakat sekitar akhir dekade 1980-an, Mohammad Natsir berkata, pemimpin haruslah berakhlak mulia dan berakar di hati rakyat. Sepanjang hayatnya beliau banyak menyumbangkan gagasan, pemikiran dan pendekatan diplomasinya dengan negara lain untuk kepentingan agama, bangsa dan negara, baik semasa duduk di pemerintahan maupun setelah tidak menjabat dan kembali ke tengah masyarakat sebagai warga negara biasa dan pemimpin umat.
Dalam ceramahnya di depan civitas Youth Islamic Study Club (YISC) Al-Azhar di aula Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta tanggal 30 April 1978, Mohammad Natsir membahas tema “Peranan Islam Dalam Pembangunan”. Beliau antara lain menyatakan bahwa suatu perkembangan di bidang ekonomi bukanlah proses yang semata-mata mechanis, akan tetap mempunyai segi-segi yang tidak mechanis, yaitu “segi-segi kemanusiaan”. Sedangkan manusia bukanlah semata-mata homo-economicus, tapi ia juga sekaligus merupakan seorang homo-methaphysicus atau seorang homo-religiousus. Islam menghendaki keseimbangan antara perkembangan hidup rohani dan perkembangan hidup jasmani.
Ridwan Saidi, budayawan dan sejarawan Betawi mewawancarai Mohammad Natsir di kediaman beliau Jalan Jawa (kini Jl. HOS Cokroaminoto) tahun 1975. Pertanyaan yang sensitif diajukannya kepada tokoh bangsa dan negarawan Indonesia itu: Bapak kenapa ikut PRRI?
Mohammad Natsir terdiam sejenak, lalu beliau menjelaskan; “Setiap malam dua truk Pemuda Rakyat PKI kumpul depan rumah saya sambil treak-treak. Umi (istri Moh.Natsir, pen) setiap saat terima telpon gelap. Saya adukan ke Kejaksaan Agung, tak ada reaksi. Saya merasa Jakarta bukan tempat tinggal yang aman bagi saya dan keluarga. Saya pindah ke Padang. Ternyata di sana orang-orang sudah siap dengan ini (maksudnya PRRI, pen). Sudahlah Saidi, itu masa lalu saya.”
Ridwan Saidi melanjutkan pertanyaannya: setelah PRRI 1958, Soekarno serukan agar tokoh-tokoh PRRI ke luar hutan. Dan dijanjikan akan diberi amnesti dan abolisi. Taunya ditangkap dan dipenjarakan ber-tahun-tahun tanpa pengadilan. Tapi Bapak tak pernah menyatakan marah pada Soekarno, juga Bapak tak pernah memakai kata-kata buruk untuk Soekarno. Kenapa, Pak?
Jawaban Mohammad Natsir sangat menakjubkan, mengandung nasihat dan pelajaran amat berharga bagi para politisi di masa kini, “Saidi, berpolitiklah, tapi tidak dengan dendam.”
Tokoh Internasional
Sebagai tokoh muslim internasional, peran Mohammad Natsir di Dunia Islam, antara lain sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Al-Islami (World Muslim Congress) yang berpusat di Pakistan mendampingi Dr. Inamullah Khan sebagai Presiden Muktamar, anggota inti Rabithah Alam Islami (Muslim World League) yang berpusat di Makkah, anggota inti Dewan Masjid Sedunia, dan lain-lain. Mohammad Natsir mendorong agar diusahakan Rabithah Alam Islami menjadi badan non-pemerintah pada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan usul tersebut diterima secara aklamasi. Sejak tahun 1973 Rabithah Alam Islami memutuskan untuk membuka Kantor Perwakilan di Indonesia.
Menyangkut masalah Palestina dan Israel, beliau menekankan bahwa Palestina harus diperjuangkan di pusat perjuangan politik internasional yaitu di PBB dan di PBB masalah Palestina harus dibuka, apalagi sejak semula ada badan PBB untuk membantu kaum pelarian Palestina. Palestina dan Masjidil Aqsha dilukiskan oleh Mohammad Natsir sebagai “tanah air rohaniah” seluruh umat Islam.
Pada 1980 beliau menerima Penghargaan Internasional Malik Faisal (Faisal Award) dari Kerajaan Saudi Arabia atas jasa-jasanya di bidang pengkhidmatan kepada dunia Islam. Raja Arab Saudi Faisal bin Abdul Azis pernah mau memberi hadiah mobil mewah yang pantas digunakan oleh Mohammad Natsir di Jakarta. Tetapi beliau menolak secara halus dan mengatakan, “Kalau mau membantu, tolonglah bantu mahasiswa-mahasiwa Indonesia untuk melanjutkan studi di Arab Saudi.” ucapnya.
Mohammad Natsir memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Libanon dalam bidang politik Islam tahun 1967, dan tahun 1991 Doktor Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), dan University Sains dan Teknologi Malaysia di bidang pemikiran Islam.
Dalam tahun-tahun terakhir menjelang tutup usia, seperti diungkapkan Prof. George Mc Turnan Kahin yang datang menjenguk sahabatnya itu, Natsir merasa prihatin melihat kondisi negerinya. Bukan hanya karena melihat pemerintah waktu itu yang otoriter, juga karena menyaksikan masyarakat yang semakin materialistis dan individualistis akibat pola pembangunan yang diikuti kian melebarnya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin.
Semenjak puluhan tahun silam, Mohammad Natsir telah menyuarakan urgensi pembangunan manusia dan moral bangsa. Salah satu pernyataannya, “Negara itu bukan gedung-gedung, negara itu bukanlah jalan-jalan yang besar, bukan pabrik-pabrik, bukan kereta api, bukan kapal terbang. Bukan itu yang dinamakan negara, tetapi yang dinamakan negara jika ada manusia. Kalau membina negara berarti membina kemanusiaan. Siapa yang membina negara tanpa membina kemanusiaan, maka samalah artinya dengan membina sebuah rumah di atas pasir yang kering tandus. Hendaklah membina negara itu dengan apa yang diridhai Tuhan, dan salah satu darinya ialah untuk menyempurnakan akhlak manusia.” ujarnya.
Mohammad Natsir hidup sebagai pejuang yang tidak pernah lelah mencintai Indonesia. Menurut ungkapan yang dikemukakannya, “Jangan berhenti tangan mendayung, nanti arus membawa hanyut…” Salah satu pesan beliau, “Orang pintar bisa lahir dengan belajar. Pemimpin lahir dari suasana keterbukaan. Tanpa keterbukaan, semua orang tertekan. Suasana takut tidak bisa melahirkan pemimpin.”
”Seorang pemimpin dalam melihat persoalan yang timbul dalam masyarakat haruslah menyadari bahwa itu persoalan bersama, bukan persoalan saya, kamu, atau kami, tetapi persoalan kita. Kemampuan melihat gelombang di bawah permukaan air yang tenang, itulah kelebihan negarawan dari politikus. Bahwa tidak ada yang tetap di dunia ini. Musim berganti, zaman beredar. Rasulullah Saw mengatakan, Innal-zamaana qad istadaara, yang muda-muda yang harus memikirkan untuk maju ke depan”, demikian Mohammad Natsir dalam wawancara Majalah Kiblat tahun 1989 dan substansi yang sama disampaikannya dalam kesempatan lain.
Meneladankan Integritas
Mohammad Natsir menghembuskan nafas terakhir berpulang ke rahmatullah Sabtu 6 Februari 1993/14 Sya’ban 1413 di RSUP Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dalam usia 85 tahun. Jenazahnya dimakamkan di TPU Karet Jakarta Pusat, di tengah pemakaman rakyat biasa.
Mantan Perdana Menteri Jepang Takeo Fukuda mengirim surat ucapan duka cita kepada keluarga besar Mohammad Natsir di Jakarta tertanggal Tokyo 8 Februari 1993. Takeo Fukuda menyatakan, “Dengan sedih kami menerima berita kehilangan besar meninggal dunianya Dr. Mohammad Natsir. Ketika menerima berita duka tersebut, terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hiroshima. Sebab, kita kehilangan pemimpin dunia dan pemimpin besar dunia Islam.”
Majalah Editor No 22/Tahun VI/ tanggal 20 Februari 1993 menyajikan liputan berita meninggalnya Mohammad Natsir dan testimoni para tokoh. Salah satu testimoni dari K.H. Abdurahman Wahid (Gus Dur, kemudian menjadi Presiden Ke-4 Republik Indonesia), “Mohammad Natsir memang tokoh besar, bukan saja bagi umat Islam tapi juga bagi bangsa kita. Integritas dan kejujurannya, moralnya tak diragukan lagi. Pandangannya tak pernah berubah. Semua pemikirannya mencerminkan kepentingan bangsa dan agama. Pak Natsir adalah tokoh panutan yang pantas. Sekarang ini, tokoh seperti beliau sudah sangat langka. Ada memang yang pantas, tapi bukan panutan. Atau sebaliknya, ada yang panutan, tapi tak pantas.” ujarnya. Saya berjumpa Gus Dur di TPU Karet saat pemakaman Pak Natsir.
Harian Umum Republika dalam Tajuk Rencana berjudul “Perginya Sang Panutan” menyimpulkan keteladanan kepemimpinan Natsir dapat dirumuskan dalam tiga K yakni Kejujuran, Keikhlasan dan Kesederhanaan. Sejak jadi Perdana Menteri, tak pernah terdengar ia melakukan abuse of power, penyalahgunaan kekuasaan. Ia sangat jauh dari semua itu. Ketekunan, pengorbanan dan ketahanannya untuk terus mengurusi umat tanpa henti, pastilah bersumber dari keikhlasannya. Demikian juga kesederhanaannya. Sebagai pemimpin Islam kaliber dunia dan bekas negarawan, Natsir ‘tak punya apa-apa’ dalam arti materi. Namun, ia telah meninggalkan warisan kekayaan rohaniah yang tak ternilai. Berjilid-jilid tulisan dan sosok kepemimpinannya adalah warisan yang jauh lebih berharga dari uang bermilyar-milyar. Menurut Republika, juga ada dua obsesi yang nampak pada Mohammad Natsir yaitu: Pertama, kecintaannya pada masyarakat yang nampak jelas. Kedua, perhatiannya yang besar pada generasi muda di kampus-kampus.
Tajuk Rencana Harian Umum Kompas, Selasa 9 Februari 1993 berjudul “Warisan yang Kita Tangkap dari Almarhum Dr. Mohammad Natsir” menarik direnungkan. Kompas mengungkapkan warisan yang pertama-tama dari almarhum adalah integritas, integritas pribadi almarhum sangat tinggi, dihayati dalam kehidupan pribadinya, dalam kehidupannya sebagai pemimpin pergerakan politik maupun tatkala memegang tampuk pemerintahan, selanjutnya ialah keteguhan memegang prinsip serta keluwesan pelaksanaannya.
Mohammad Natsir meninggalkan karya intelektual yang amat berharga, di antaranya buku Capita Selecta (3 Jilid), Fiqhud Da’wah, Marilah Shalat, Kebudayaan Islam, Kode dan Etik Da’wah, Islam dan Akal Merdeka, Di Bawah Naungan Risalah, Dunia Islam Dari Masa Ke Masa, Islam dan Kristen Di Indonesia, Kumpulan Khutbah Hari Raya, Tinjauan Hidup, Golden Rebels Uitden Qur’an (Kalimat Emas Dari Al-Quran), De Islamietishe Vrouven Haar Recht (Hak-Hak Perempuan), dan puluhan buku kecil serta tidak terhitung artikel yang ditulisnya untuk majalah, mengetengahkan pandangan, respons dan pemikirannya mengenai masalah-masalah aktual yang muncul di tengah masyarakat.
Pada 6 November 1998 Presiden B.J Habibie menganugerahkan tanda kehormatan Bintang Republik Indonesia Adipradana kepada almarhum Mohammad Natsir. Sepuluh tahun kemudian, tanggal 7 November 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional.
Mohammad Natsir milik seluruh bangsa Indonesia karena hasil perjuangannya adalah untuk keluhuran bangsa dan negara Republik Indonesia. Sebagai tokoh muslim internasional, Mohammad Natsir secara konsisten menyuarakan pesan-pesan perdamaian dunia sesuai nilai-nilai universal ajaran Islam dan amanat konstitusi negara Undang-Undang Dasar 1945.
Saya bersyukur pernah bertemu dan berbincang dengan Mohammad Natsir semasa hidupnya. Pak Natsir adalah men of integrity, pemimpin yang rendah hati, dan Pahlawan Nasional yang patut diteladani dalam banyak hal.