Pasar Kita,Aturan Mereka : Indonesia dalam Jebakan Dagang Global

July 30, 2025

Pasar Kita,Aturan Mereka : Indonesia dalam Jebakan Dagang Global

Dalam beberapa tahun terakhir, diplomasi ekonomi Indonesia memasuki fase baru. Di tengah arus liberalisasi perdagangan global, Indonesia berupaya membuka akses pasar ekspor ke negara-negara besar, termasuk Amerika Serikat.

Salah satu wujud nyata dari upaya ini adalah kesepakatan pengurangan tarif bilateral yang dijalin dengan Washington, yang dipandang sebagai langkah pragmatis demi memperkuat kinerja perdagangan nasional.

Namun, di balik kesepakatan tersebut, tersembunyi persoalan yang lebih mendalam dan strategis: tentang bagaimana Indonesia mulai menyerahkan sebagian kendali terhadap kebijakan ekonominya demi menjaga hubungan dagang yang tampaknya menguntungkan. Apa yang tampak sebagai diplomasi dagang yang “damai” sesungguhnya menyimpan risiko besar terhadap kedaulatan ekonomi dan digital bangsa.

Amerika Serikat, khususnya di bawah kepemimpinan Donald Trump, mempraktikkan pendekatan yang sangat berbeda dalam hal perdagangan internasional. Trump tidak lagi menjadikan tarif semata sebagai instrumen perlindungan industri dalam negeri. Ia mengubah tarif menjadi alat tekanan politik.

Negara-negara yang ingin menjalin hubungan dagang bebas tarif dengan AS dipaksa untuk tunduk pada serangkaian syarat yang dibuat oleh Washington sendiri. Skenarionya khas: Trump terlebih dahulu menaikkan tarif secara drastis, lalu menawarkan jalan damai dalam bentuk kesepakatan bilateral yang menguntungkan pihak Amerika.

Dalam banyak kasus, termasuk Indonesia, negara-negara mitra merasa tidak punya pilihan lain selain menempuh jalur negosiasi, sambil menyodorkan serangkaian konsesi sebagai imbalan.

Indonesia termasuk dalam negara yang memilih strategi lunak ini. Demi mendapatkan pengurangan tarif, pemerintah bersedia membuka lebih luas akses pasar dalam negeri untuk produk-produk pertanian dan industri Amerika.

Dalam perjanjian yang berlangsung di balik meja diplomasi, muncul pula klausul-klausul tak tertulis tentang penyesuaian kebijakan dalam negeri: perlindungan hak kekayaan intelektual yang lebih pro-korporasi asing, penyederhanaan aturan investasi, dan yang paling krusial—kesediaan memberikan ruang bagi perusahaan digital AS untuk beroperasi tanpa batasan ketat, termasuk dalam hal pengelolaan data pengguna.

Dalam konteks ini, persoalannya bukan lagi sekadar ekspor-impor atau angka neraca dagang. Kita sedang berbicara tentang struktur kekuasaan di era digital, di mana data adalah sumber daya strategis yang nilainya melebihi minyak.

Ketika Indonesia memberikan akses terhadap basis data pengguna dan perilaku konsumsi warganya kepada korporasi asing, maka pada saat yang sama kita menyerahkan kendali terhadap arah ekonomi kita sendiri.
Data konsumen Indonesia yang diolah oleh perusahaan seperti Amazon, Google, dan Meta dapat digunakan untuk menyusun strategi penjualan yang sangat presisi. Mereka tahu produk apa yang paling diminati, kapan waktu terbaik untuk beriklan, bahkan di wilayah mana kecenderungan konsumsi sedang tumbuh.

Dengan keunggulan semacam ini, perusahaan lokal—terutama UMKM dan startup—tidak akan pernah mampu bersaing secara setara. Pasar domestik akhirnya hanya menjadi ladang konsumsi bagi produk asing, sementara keuntungan besar mengalir ke luar negeri.

Masalah menjadi semakin serius ketika Indonesia mulai melonggarkan regulasi penyimpanan data. Beberapa kebijakan relaksasi memungkinkan data warga Indonesia untuk disimpan di server luar negeri. Ini berarti yurisdiksi hukum atas data tidak lagi berada di bawah kendali Indonesia.

Dalam kasus pelanggaran data, Indonesia akan bergantung pada hukum negara tempat data tersebut disimpan. Keamanan informasi strategis bangsa menjadi rentan, termasuk potensi penyalahgunaan data oleh pihak-pihak luar untuk kepentingan ekonomi maupun politik.

Kondisi ini menunjukkan bagaimana diplomasi tarif yang ditempuh Indonesia justru membawa risiko jangka panjang. Di satu sisi, pemerintah berharap dapat memperkuat ekspor dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun di sisi lain, struktur ekonomi domestik menjadi semakin bergantung pada kekuatan luar, baik dari sisi perdagangan barang maupun penguasaan atas informasi digital.

Tiongkok memberikan contoh yang kontras. Negara tersebut menolak tunduk pada tekanan tarif dari Amerika. Ketika Trump melancarkan perang dagang, Beijing tidak merespons dengan kompromi, melainkan dengan perlawanan terbuka. China tidak sekadar menaikkan tarif balasan, tetapi juga memperkuat dukungan terhadap industri dalam negeri, membangun kedaulatan teknologi melalui program-program seperti Made in China 2025, dan yang paling penting, menjaga kendali penuh terhadap data dan informasi warganya.

Mereka menyadari bahwa kontrol atas data adalah bentuk baru dari kedaulatan.
Indonesia seharusnya belajar dari sikap tegas semacam ini. Diplomasi dagang memang diperlukan, tetapi tidak boleh mengorbankan fondasi strategis bangsa.

Membuka pasar untuk produk luar tanpa perlindungan terhadap sektor dalam negeri hanya akan menciptakan ketimpangan struktural. Memberikan keleluasaan terhadap perusahaan digital asing tanpa regulasi ketat akan menjadikan Indonesia sekadar pengguna teknologi, bukan pencipta.

Ke depan, Indonesia perlu menata ulang pendekatannya dalam hubungan dagang internasional. Kedaulatan digital harus menjadi prinsip non-negotiable dalam setiap perjanjian.

Pemerintah juga perlu memperkuat ekosistem digital lokal, termasuk membangun pusat data nasional, memperketat regulasi data lintas batas, dan memberikan perlindungan nyata bagi startup dan UMKM digital.

Tanpa langkah-langkah ini, Indonesia hanya akan menjadi pasar besar yang sepenuhnya dikuasai asing—baik secara ekonomi maupun informasi.
Kesepakatan dagang yang kita rayakan hari ini mungkin membawa manfaat jangka pendek dalam angka-angka ekspor.

Tapi kita harus bertanya dengan jujur: berapa harga yang harus dibayar bangsa ini dalam lima atau sepuluh tahun ke depan? Sebuah negara tidak bisa merdeka jika tidak berdaulat atas pasarnya sendiri. Dan di zaman sekarang, tidak ada kedaulatan tanpa kendali atas data.

Chairul Islam
Kader Partai Masyumi
Partai Islam