Partai Politik Islam

March 14, 2025

PARTAI POLITIK ISLAM
Dr. Ahmad Yani, SH.,MH
Ketua Umum Partai Masyumi
13 Ramadhan 1446 H/13 Maret 2025 M
Partai Islam (al-hizb al-Islami), atau lengkapnya partai politik Islam, perlu dipahami hakikatnya. Sebab banyak orang tidak bisa membedakan mana partai Islam dan mana yang bukan partai Islam. Ada partai yang mengaku partai Islam, padahal strateginya sangat pragmatis dan oportunis, hanya mengejar ambisi kekuasaan seraya mencampakkan Islam.
Sebaliknya ada partai Islam yang hakiki, tapi ditakuti umat, karena diopinikan atau dicitrakan buruk dengan berbagai stempel mengerikan, seperti cap teroris, fundamentalis, radikalis, dan sebagainya. Berikut ini sekilas penjelasan beberapa aspek terpenting mengenai partai Islam.
Pengertian Partai Islam
Partai Islam menurut Abdul Qadim Zallum adalah partai yang berdiri di atas dasar Aqidah Islam, yang mengadopsi berbagai ide, hukum, dan solusi yang Islami, yang metode perjuangannya adalah metode perjuangan Rasululllah SAW. (Tarif Hizbut Tahrir, Beirut : Darul Ummah, 2010, hal. 9).
Sementara Ziyad Ghazzal mendefiniskan partai Islam adalah sebuah organisasi permanen yang beranggotakan orang-orang Islam yang bertujuan untuk melakukan aktivitas politik sesuai dengan ketentuan Syariah Islam. (Masyru Qanun Al-Ahzab fi Daulah al-Khilafah, hal. 39).
Dari dua definisi itu dapat diambil beberapa poin yang menjadi identitas pokok partai Islam. Pertama, partai Islam wajib berasaskan Aqidah Islam. Dengan kata lain, ideologi partai harus ideologi Islam. Maka partai yang asasnya bukan Aqidah Islam, bukanlah partai Islam. Misalnya partai yang berasaskan sekularisme, sosialisme, komunisme, dan sebagainya.
Kedua, partai Islam wajib mengadopsi fikrah (ide) dan thariqah (metode perjuangan) yang berasal dari Islam. Fikrah dan thariqah ini utamanya terwujud dalam penentuan tujuan dan langkah-langkah (program) untuk mencapai tujuan. Maka bukan partai Islam, partai yang tujuannya untuk melayani kepentingan ideologi Barat. Misalnya bertujuan mewujudkan masyarakat madani (civil society), karena masyarakat sipil sebenarnya istilah lain untuk masyarakat sekular. Bukan pula partai Islam, kalau dalam perjuangannya mengadopsi ide non Islam, seperti demokrasi dan nasionalisme. Bukan pula partai Islam, partai yang mengadopsi metode yang pragmatis dan oportunis, yang tidak memakai kaidah halal haram.
Ketiga, partai Islam wajib beranggota muslim saja. Maka bukanlah partai Islam, kalau menerima anggota-anggota non muslim. Perlu dipahami, masalah keanggotaan ini sebenarnya menunjukkan jenis ikatan (rabithah) yang menyatukan seluruh anggota partai menjadi satu kesatuan integral. Jika anggotanya muslim saja, berarti ikatannya adalah ikatan Ukhuwah Islamiyah yang berpangkal pada kesamaan aqidah, yaitu Aqidah Islam. Jika anggotanya campuran, ada muslim dan non muslim, berarti ikatan partai itu bukan lagi ikatan Islam, tapi telah berganti dengan ikatan lain yang bukan Islam, seperti ikatan kebangsaan (nasionalisme). Maka keanggotaan non muslim sebenarnya tidak sejalan dengan identitas pokok sebuah partai Islam, khususnya asas partai yaitu Aqidah Islam.
Kewajiban Mendirikan Partai Islam
Hukum mendirikan partai Islam adalah wajib. Hanya saja wajibnya bukanlah wajib ain, melainkan wajib kifayah. Artinya jika di tengah umat Islam sudah ada satu partai Islam yang mampu menjalankan tugasnya, berarti gugurlah kewajiban seluruh umat Islam. Jika di tengah umat tak ada satu pun partai Islam, maka berdosalah seluruh umat Islam. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, 2010, hal. 104).
Firman Allah SWT :
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan (Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (QS Ali ‘Imran : 104).
Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, ayat ini merupakan perintah untuk membentuk sebuah kelompok (jamaah) dari kalangan kaum muslimin (minal muslimin), yang melaksanakan dua tugas, yaitu menyeru kepada kebajikan (Islam), dan melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Mengapa demikian? Sebab kata “min” pada frase “minkum” adalah “min” yang berarti “sebahagian” (li at-tabâidh). Bukan “min” yang berfungsi untuk menjelaskan jenis (li bayan al-jins). Jadi artinya adalah “hendaklah ada sebuah jamaah di antara kaum muslimin”, dan bukan “hendaklah kaum muslimin menjadi satu jamaah/umat.” (Muqaddimah ad-Dustur, hal. 103).
Penjelasan ini sejalan dengan pendapat jumhur ulama yang mengartikan “min” pada frase “minkum” adalah “min” yang berarti “sebahagian” (li at-tabidh). (Lihat Tafsir Al-Jalalain, I/181; Tafsir Al-Qurthubi, IV/165).
Hal ini mengandung implikasi bahwa hukum mendirikan sebuah jamaah yang melaksanakan dua tugas seperti tersurat dalam ayat tersebut, adalah fardhu kifayah.
Perlu dicermati, yang fardhu kifayah bukan hukum amar ma’ruf dan nahi munkarnya, melainkan hukum mendirikan jamaah, yang melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar. Imam Ibnu Katsir menegaskan fardhu ainnya amar maruf nahi munkar ketika beliau menafsirkan QS Ali Imran : 104,”Yang dimaksud dengan ayat ini adalah hendaknya ada segolongan dari umat ini yang melaksanakan tugas ini, meski tugas ini wajib atas setiap-tiap individu umat sesuai kemampuannya masing-masing.” (Tafsir Ibnu Katsir, I/391).
Syaikh Yasin bin Ali dalam masalah ini menegaskan pendapat senada, “Hukum amar maruf nahi munkar adalah fardhu ain, bukan fardhu kifayah.” Alasannya menurut beliau antara lain perintah amar maruf nahi munkar seringkali dibarengkan dengan amal-amal yang hukumnya fardhu ain, seperti sholat dan zakat. Misalnya firman Allah dalam QS Al-Hajj : 41 dan QS At-Taubah : 71. (Yasin bin Ali, Min Ahkam Al-Amr bi al-Maruf wa An-Nahyu an Al-Munkar, hal. 24).
Jadi hukum amar maruf nahi munkar berbeda dengan hukum mendirikan jamaah yang melaksanakan amar maruf nahi munkar. Yang disebut pertama hukumnya fardhu ain, sedang yang kedua fardhu kifayah.
Yang juga penting disinggung di sini, bolehkah partai Islam jumlahnya lebih dari satu (taaddud al-ahzab)? Para ulama berbeda pendapat menjadi dua versi, masing-masing dengan dalilnya. Pertama, ada yang mengharamkan, seperti Syaikh Shofiyurrahman Al-Mubarakfuri dalam kitabnya Al-Ahzab as-Siyasiyah fi Al-Islam. Juga Syaikh Rabi bin Hadi al-Madkhali dalam kitabnya Jamaah Wahidah Laa Jamaat. Mereka inilah yang seringkali mengecam berbagai gerakan dan kelompok Islam seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh dengan istilah “hizbiyyah”, yaitu maksudnya fenomena bergolong-golongan di tengah umat.
Kedua, ada yang membolehkan, ini pendapat mayoritas ulama kontemporer. Seperti Said Hawa dalam kitabnya Jundullah, Muhammad Imarah dalam kitabnya Al-Harakah al-Islamiyah Harakah Mustaqbaliyah, Adnan Ali Ridha an-Nahwi dalam kitabnya Bina al-Ummah al-Wahidah, dan sebagainya. (Lihat Abdul Hamid al-Jabah, Al-Ahzab fi Al-Islam, hal. 187-189).
Menurut Imam Taqiyuddin an-Nabhani, pendapat yang lebih kuat (rajih) adalah boleh hukumnya ada lebih dari satu partai Islam (taaddud al-ahzab). Alasan beliau, karena ayat QS Ali Imran : 104 tidaklah berbunyi “waltakun minkum ummah wahidah” (hendaklah ada di antara kamu satu jamaah saja), tapi bunyinya adalah “waltakun minkum ummah” (hendaklah ada di antara kamu satu jamaah).
Jadi, boleh di tengah umat satu partai dan boleh pula ada lebih dari satu partai, selama partai yang adalah partai Islam, bukan yang lain. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, hal. 108; M. Syuwaiki, Al-Khalash wa Ikhtilaf al-Nas, hal.127-130).
Keanggotaan Partai Islam
Seperti telah diterangkan di muka, masalah keanggotaan merupakan satu identitas pokok partai Islam. Sebuah partai Islam tidak boleh menerima keanggotaan non muslim, berdasarkan firman Allah SWT QS Ali Imran : 104 di atas.
Berdasarkan ayat tersebut, Syaikh Abdul Hamid Al-Ja’bah berkata,”Kata “minkum” [di antara kamu] pada ayat di atas melarang sebuah kelompok atau partai dari keanggotaan non Islam, dan membatasi keanggotaannya pada muslim saja.” (Abdul Hamid Al-Ja’bah, Al-Ahzab fi Al-Islam, hal. 120; lihat juga Yasin bin Ali, Min Ahkam Al-Amr bi al-Maruf wa An-Nahyu an Al-Munkar, hal. 64; M. Abdullah al-Masari, Muhasabah al-Hukkam, hal. 33).
Selain itu terdapat berbagai dalil yang menegaskan amar maruf nahi munkar adalah ciri khas umat Islam, bukan umat non muslim. Misalnya QS Ali ‘Imran : 110 dan QS At-Taubah : 71. Jadi hanya umat Islam sajalah yang akan mampu menjalankan amar ma’ruf dan nahi munkar, umat non Islam tidak. Mungkinkah kita berharap non muslim mampu mendakwahkan wajibnya sholat, zakat, dan puasa, padahal dia sendiri tidak mempercayai wajibnya perbuatan-perbuatan itu? Tidak mungkin, bukan? Maka, Syaikh Ziyad Ghazzal mengatakan anggota partai Islam wajib orang muslim. Tak boleh non muslim. Sebab tugas amar maruf nahi munkar telah mengharuskan keislaman anggotanya. (Ziyad Ghazzal, Masyru’ Qanun Al-Ahzab fi Daulah Al-Khilafah, hal. 46).
Namun perlu ditambahkan, meski keanggotaan non muslim dilarang dalam partai Islam, bukan berarti Islam mengharamkan partisipasi politik dari non muslim warga negara Khilafah (ahludz dzimmah). Partisipasi politik mereka tetap dapat disalurkan melalui saluran-saluran yang dibenarkan syariah, misalnya lewat Majelis Umat. Partai politik bukan satu-satunya saluran untuk menyampaikan aspirasi atau kritik.
Menurut Ziyad Ghazzal dalam kitabnya Masyru’ Qanun Al-Ahzab fi Daulah Al-Khilafah hal. 29-30, ada 4 (empat) saluran untuk menyampaikan aspirasi atau kritik kepada penguasa. Pertama, partai politik. Kedua, Majelis Umat. Ketiga, Mahkamah Mazhalim. Keempat, Media massa.
Misi Partai Islam
Misi partai Islam adalah melakukan aktivitas politik Islam, yaitu melakukan koreksi atau pengawasan kepada penguasa (muhasabah al-hukkam), atau memperoleh kekuasaan melalui jalan umat. (Muqaddimah ad-Dustur, hal. 103).
Dalilnya juga QS Ali Imran : 104 di atas. Redaksi amar maruf nahi munkar dalam ayat tersebut adalah redaksi yang bermakna umum. Termasuk di dalamnya adalah melakukan amar maruf nahi munkar kepada para penguasa. Atau yang diistilahkan dengan muhasabah li al-hukkam (mengoreksi penguasa). Jelas ini adalah aktivitas politik. Bahkan, kata Imam Taqiyuddin an-Nabhani, ini adalah aktivitas politik paling penting.
Maka dari itu, ayat ini di samping memerintahkan secara fardhu kifayah untuk membentuk sebuah jamaah, juga menjelaskan karakter atau misi jamaah tersebut, yaitu karakter sebagai sebuah partai politik. (Muqaddimah ad-Dustur, hal. 109).
Namun demikian, cara partai Islam dalam mengoreksi penguasa wajib berupa cara yang damai. Tidak dibolehkan menggunakan cara kekerasan, misalnya dengan mengangkat senjata. Sabda Nabi SAW :
“Barangsiapa mengangkat pedang kepada kami, maka dia bukan golongan kami.” (HR Bukhari dan Muslim).
Syaikh Ziyad Ghazzal menjelaskan, hadis tersebut telah melarang penggunaan senjata untuk mengoreksi penguasa. Senjata dalam hadis ini bersifat mutlak, yaitu meliputi senjata apa pun, seperti senjata tajam, senjata api, bom, dan sebagainya. Dikecualikan jika Khalifah menampakkan kekufuran yang nyata, misalnya membolehkan judi, maka penggunaan senjata dibolehkan. (Ziyad Ghazzal, Masyru’ Qanun Al-Ahzab fi Daulah Al-Khilafah, hal. 44)
Langkah-Langkah Partai Islam
Dalam setiap langkahnya, baik berupa program, agenda, rencana strategis, atau yang semacamnya, partai Islam wajib menggunakan cara-cara Islam. Tidak dibenarkan menghalalkan segala macam cara. Kaidah fikih menyebutkan : al-ghayah laa tubarrir al-wasithah. (Tujuan tidak membolehkan segala macam cara). (Ahmad al-Mahmud, Ad-Dawah Ila al-Islam, hal. 288).
Maka partai Islam tidak boleh menggunakan cara-cara kotor untuk mencapai tujuannya, seperti suap menyuap. Tidak boleh pula misalnya melakukan kampanye untuk menarik pendukung dengan cara-cara yang melanggar syariah, misalnya menggelar pertunjukan dangdut disertai ikhtilat (campur aduk pria wanita), atau berkoalisi dengan partai-partai yang tidak berideologi Islam hanya demi kursi kekuasaan sesaat.
Semua itu bukanlah cara partai Islam, sebab partai Islam wajib berpegang dengan kaidah halal haram. Jika ada partai Islam yang tidak lagi peduli lagi halal-haram, itu berarti suatu pengumuman bahwa dia bukan lagi partai Islam, tapi sudah berubah menjadi partai sekular. Partai seperti ini jelas wajib dijauhi umat Islam. Haram hukumnya umat Islam mendukung partai oportunis dan hedonis seperti ini.
Partai Politik Islam Indonesia
Penduduk Indonesia merupakan mayoritas yang menganut agama Islam. Agama ini mampu memberikan pemahaman yang mendalam tentang kenegaraan yang berdasarkan Islam. Pemahaman ini pula yang membentuk Piagam Jakarta sebagai asal mula Pancasila yang  merupakan falsafah negara Indonesia. Contoh lainnya, pada saat perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Islam mampu memberikan inspirasi dan dorongan yang kuat untuk berjihad. Sehingga banyak tokoh Islam yang maju dan memimpin untuk membela tanah yang tercinta.
Kondisi Islam di Indonesia yang mayoritas pemeluknya Islam dan mampu memperjuangkan eksistensinya, ternyata pernah mengalami periodesasi di titik nadir. Periodesasi ini terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin, dengan pimpinan Soekarno. Posisi politik Islam mempunyai kekuatan tawar yang lemah. Partai-partai Islam pada waktu menjadi kelompok politik minoritas dalam lembaga-lembaga kenegaraan. Sebagai akibatnya politik islam hanya melakukan peran yang kecil dalam perkembangan politik Indonesia.
Perananan sentral pada saat itu dipegang oleh Soekarno. Ia memegang keseluruhan kekuatan yang ada di Indonesia, dengan bantuan komunis dan diimbangi Militer Angkatan darat, yaitu A. H. Nasution. Konsekuensinya partai Islam saat itu menyesuaikan dirinya dengan sistem dan tata politik yang baru saja diciptakan. Sikap ini lebih realistis karena bertujuan agar tetap hidup di bawah bayang-bayang otoriterian Soekarno.
Tema mengenai Demokrasi Terpimpin sangat menarik untuk dibahas dan didiskusikan sampai sekarang. Karena banyak memberikan pesan moral dan pembelajaran perpolitikan di Indonesia. Akan tetapi, kebanyakan penulis mengambil tema Demokrasi Terpimpin lebih banyak menganalisa perkembangan konstelasi politik Indonesia yang dihubungkan oleh Soekarno, Komunis dan Angkatan Darat. Jarang sekali mengamati situasi dan kondisi Islam saat itu. Oleh karena itu, penulis makalah ini tertarik untuk mengambil tema keislaman pada masa Demokrasi Terpimpin. Pada diri penulis makalah, adanya keingintahuan mengenai situasi dan kondisi politik Islam yang dimainkan oleh partai Islam pada masa Demokrasi Terpimpin. Rasa keingintahuan ini lebih mengarah kepada kebijakan-kebijakan yang diterapkan Soekarno dalam rangka mempertahankan kekuasaannya.
Pancaroba Partai Islam
1. Masyumi
Masyumi didirikan dalam Kongres Umat Islam Indonesia di Yogyakarta pada tanggal 7-8 November 1945. Kongres ini dihadiri oleh sekitar lima ratus utusan organisasi sosial keagamaan yang mewakili hampir semua organisasi Islam yang ada, dari masa sebelum perang serta masa pendudukan Jepang. Kongres memutuskan untuk mendirikan majelis syuro pusat bagi umat Islam Indonesia yang dianggap sebagai satu-satunya partai politik bagi umat Islam, yang secara resmi bernama Partai Politik Islam Indonesia dengan nama “MASYUMI”. Dengan Kongres Umat Islam Indonesia ini, pembentukan Masyumi bukan merupakan keputusan beberapa tokoh saja, tapi merupakan keputusan “seluruh umat Islam Indonesia”.
Segera setelah berdiri, Masyumi tersebar merata di segenap penjuru tanah air, hal itu dapat terjadi karena dukungan yang diberikan oleh organisasi-organisasi yang menjadi pendukung Masyumi. Ada 8 unsur organisasi pendukung Masyumi yakni NU (Nahdatul Ulama), Muhammadiyah, Persatuan Islam (PERSIS), Persatuan Umat Islam, Al-Irsyad, Maiiyatul Wasliyah, Al-Ittihadiyah dan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA). Dengan demikian Masyumi berhasil menyatukan organisasi dan umat Islam Indonesia dalam satu wadah perjuangan.
Selain mempersatukan umat Islam Indonesia, alasan lain yang menjadi pertimbangan didirikannya Masyumi adalah agar Islam memiliki peranan yang signifikan ditengah arus perubahan dan persaingan di Indonesia saat itu. Tujuan didirikannya Masyumi, sebagaimana yang terdapat dalam anggaran Dasar Masyumi tahun 1945, memiliki dua tujuan. Pertama, menegakkan kedaulatan negara republik Indonesia dan agama Islam. Kedua, melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan.
Masyumi percaya bahwa Islam menghendaki kesejahteraan masyarakat serta penghidupan yang damai antara bangsa-bangsa di muka bumi ini. Dan menentang kekejaman, kebuasan serta kepalsuan kapitalisme dan imperalisme. Partai Masyumi bermaksud melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan hingga dapat mewujudkan susunan negara yang berdasarkn keadilan menurut ajaran-ajaran Islam. Ia juga bermaksud memperkuat dan menyempurnakan dasar-dasar pada UUD RI, sehingga dapat mewujudkan masyarakat dan negara Islam. Suatu pemilihan umum yang umum dan langsung merupakan tuntutan partai (Deliar Noer, 2000).
Pada perkembangannya Masyumi menjadi partai terbesar di Indonesia. Masyumi mengklaim bahwa mempunyai pendukung sekitar 25 juta penduduk. Pernyataan ini merupakan jawaban atas pemerintah tentang kepartaian pada tanggal 7 November 1945. Hal ini berarti Masyumi mengungguli PNI (sebagai partai tunggal sebelumnya) hanya dalam waktu setahun. Pada Masa Revolusi, Masyumi bersama golongan lain ikut serta dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan berakhir pada Desember 1949, setelah perjanjian KMB (Konfrensi Meja Bundar), akan tetapi Masyumi tetap eksis dalam mempertahankan kemerdekaan secara total.
Pada Mei 1952 Masyumi yang merupakan partai terbesar pasca pembentukan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) tahun 1950, mengalami goncangan besar. NU menyatakan diri sebagai sebuah partai politik dan terpisah dengan Masyumi. Kondisi berdampak pada hilangnya massa ummat yang cukup besar, khususnya Jawa Timur dan Kalimantan Selatan. Sebab permasalahan dari NU meninggalkan Masyumi lebih disebabkan perasaaan tidak puas dikalangannya atas kelompok reformis dalam dewan partai yang diketuai oleh Mohammad Natsir. Terpisahnya NU menjadi partai politik, maka ada empat partai islam, yakni Masyumi, NU, PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) yang telah lebih dulu memisahkan diri dan Perti yang telah menjadi partai politik sejak Desember 1945.
2. Pemilu dan Majelis Kontituante
Pada pemilu 1955, Masyumi tetap membuktikan diri sebagai partai Islam terbesar. Masyumi mendapat dukungan suara terbanyak, yakni 10 dari 15 daerah pemilihan di seluruh Indonesia. Ini menunjukkan Masyumi memiliki wilayah pengaruh yang paling luas dibanding partai lain. Bandingkan dengan PNI dan NU yang masing-masing hanya menang di dua daerah pemilihan. Karena pada saat itu sistem pemilu yang digunakan proporsional, maka sehingga perolehan suara tidak otomatis langsung terbesar. Total perolehan suara Masyumi sebesar 21%. Masyumi memperoleh 58 kursi, sama besarnya dengan PNI. Sementara NU memperoleh 47 kursi dan PKI 39 kursi.
Hasil Pemilu 1955 juga menunjukkan polarisasi tajam antara partai-partai Islam dan nonagama. Jawa Tengah pada waktu itu merupakan basis kekuatan partai nonagama, dengan perolehan suara 59,53%. Sementara kelompok Islam hanya memperoleh 30,27% dan Kristen 0,84%. Di Pulau Jawa, kelompok partai Islam hanya unggul di Jakarta Raya (kini DKI), dengan perolehan suara 44,71%. Sedangkan nonagama dan Kristen masing-masing 38% dan 3%. Tetapi partai-partai Islam yang dimotori Masyumi menang telak di luar Jawa. Misalnya, di Kalsel (81,35%), Sumatera Tengah (79,74%), Sulsel (64,3%), dan Sumsel (63,4%).
Berdasarkan hasil pemilu secara garis besar, PNI menjadi pemenang karena meraih suara terbanyak, sebagian besar dari Jawa. Sedangkan secara wilayah Masyumi lebih unggul. Jumlah kursi PNI dengan Masyumi adalah sama, yaitu 57. Dengan hasil pemilu, ditunjuk Ali Sastroamidjojo sebagai formatur yang dibantu oleh Wilopo. Hasil kerja tersebut menghasilkan Kabinet Ali-Roem-Idham yang merupakan koalisi pemenang Pemilu 1955, hanya PKI yang tidak masuk ke dalam kabinet. Akan tetapi kabinet tersebut tidak berjalan lama. Banyaknya permasalahan yang terjadi membuat perpecahan antara PNI dengan Masyumi sebagai partai pendukung utama.
Permasalahan lain adalah perpecahan dalam Angkatan Darat yang menghadapkan kabinet dengan permasalahan yang rumit. Perpecahan Angkatan Darat yang berdampak pada rusaknya hubungan antara pusat dan daerah, puncaknya terjadi pemberontakan PRRI-Permesta. Kondisi bertambah runyam dengan Hatta yang mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden pada akhir tahun 1956. Pada tanggal 14 Maret1957 menyerahkan kembali mandat yang dipercayakannya kepada Soekarno. Kabinet terakhir dilanjutkan oleh Djuanda.
Pasca Ali meletakkan jabatannya, dalam Majelis Kontituante masih berlangsung perdebatan yang sengit, terutama tentang dasar Negara. Dalam perjalanannya yang seringkali terjadi perdebatan panas, Majelis Kontituante ternyata berhasil menyelesaikan 90 % tugas kontitusionalnya, akhirnya “terpaksa” menempuh jalan pintas, yang dibubarkan lewat dekrit 5 juli 1959. Dekrit menyatakan berlaku kembali UUD 1945 untuk menggantikan UUDS 1950, sementara DPR dibiarkan hidup sampai dibubarkan pada 1950, dan digantikan DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong). Sedangkan Masyumi tidak diikutsertakan dalam DPR gaya Soekarno, karena keduanya menentang kebijaksanaan Soekarno yang otoriter.
3. Penyederhanaan Konstelasi Politik
Pada awal terbentuknya NKRI, konstelasi politik apa saat itu adalah golongan-golongan islam serta golongan nasionalis. Namun pasca Pemilu 1955 kondisi tersebut berubah, Masyumi yang terpecah dengan NU, menjadikan PNI sebagai pemenang pertama pemilu. Ditambah dengan lonjakan PKI yang menjadi pemenang keempat.
Adanya gerakan PRRI-Permesta ternyata juga telah menyederhanakan politik militer Indonesia. Banyak perwira yang membangkang dikeluarkandari urusan-urusan militer sehingga menjadikan Nasutio sebagai pimpinan tertinggi militer yang tak tertandingi. Bulan Juli 1958 pangkatnya dinaikkan menjadi Letnan Jenderal, sehingga ia orang yang menyamaipangkat Letnan Jenderal Soedirman. Kebanyakan perwira yang diberhentikan adalah perwira yang berasal daridaerah luar Jawa, sehingga korps perwira banyak ditempati oleg orang-orang Jawa : pada tahun 1960-an diperkirakan 60 sampai 80 persen perwira adalah orang Jawa. Padahal kelompok suku tersebut berjumlah sekitar 45 persen dari jumlah seluruh penduduk di Indonesia.
Menjelang pertengahan tahun 1958, parpol-parpol tidak lagi menjadi menjadi pemeran utama di atas panggung politik Indonesia. Masyumi dan PSI kehilangan gengsinya di mata sebagian besar masyarakat politik karena keterlibatan beberapa pimpinan pusatnya dalam gerakan PRII/Permesta. PNI, NU dan beberpa parpol nasionalis kecil lebih berhasil menyelamatkan prestise masa lampau kendati pun mereka juga termasuk yang menjadi sasaran kecaman terus-terusan Soekarno mengenai “Liberalisme”, system kepartaian dan “demokrasi gaya Barat yang telah gagal”. Mereka tidak lagimemiliki prakarsa yang berarti dalam perkembangan politik. Hanya partai-partai yang tidak pernah duduk dalam pemerintahan selama delapan tahun sebelumnya, yakni PKI dan Murba yang jauh lebih kecil dan berideologi komunis, masih tetap mempertahankan prestise dan semangat juang. Sementara PKI dalam kegiatan politiknya semakin sering terkena pembatasan pihak tentara. Akan tetapi, Murba ternyata juga juga dampak otoriterian Soekarno, partai tersebut dibubarkan sama seperti Masyumi dan PSI.
Secara garis besar, menjelang Demokrasi Terpimpin Konstelasi politik Indonesia terdiri tiga kekuatan, yakni Soekarno yang kekuasaannya semakin besar dan terpusat, bahkan melebihi konstitusi dalam pelaksanaannya. Kedua pihak militer Angkatan Darat yang didominasi oleh orang-orang Jawa, karena secara tidak langsung telah disederhanakan dengan pemberantasan ke daerah-daerah. Situasi dan kondisi ini justru semakin membuat pihak militer Angkatan darat mempunyai kekuatan tawar yang kuat. Untuk menyeimbangkan kekuatan militer, Soekarno justru memanfaatkan PKI sebagai alat politiknya. Disisi lain PKI justru merasakan kebermanfaatan dari dukungan Soekarno. Ketiga kekuatan ini saling mengimbangi. Sedangkan kekuatan dari pihak lain, khususnya Islam telah melemah.
Pemerintah Versus Partai Islam Masa Demokrasi Terpimpin
1. Politik Pecah Belah
Pada saat gencarnya Soekarno dalam memprogandakan Demokrasi Terpimpin, Soekarno seringkali mengkritik ide dan pelaksanaan demokrasi liberal yang sudah jauh dari tujuan revolusi Indonesia. Ide dan pelaksanaan demokrasi ini justru menjauhkan Indonesia dalam membentuk Indonesia yang adil dan makmur. Menurut Soekarno segala permasalahan Indenesia disebabkan karena adanya Demokrasi Liberal. Sehingga harus digantikan demokrasi yang harus sesuai dengan budaya dan karakteristik bangsa Indonesia.
Pada saat menghadapi perubahan ke Demokrasi Terpimpin, partai-partai islam yang semakin ditekan oleh pihak pemerintah mempunyai kebijakan yang berbeda. Secara garis besar setiap partai mempunyai visi politik yang dikelompokkan menjadi dua pada kelompok pada masa itu. Pertama, Masyumi yang memandang keikutsertaan dalam pemerintahan yang otoriter bermakna telah menyimpang dari ajaran islam. Sedangkan kelompok lainnya, NU, PSII, dan Perti (Liga Muslimin) mempunyai pandangan bahwa turut serta dalam pemerintahan adalah sikap realistis dan pragmatis.
Menurut pandangan Masyumi sistem Demokrasi Terpimpin akan membawa bencana bagi negara. Sehingga gerakan politik Soekarno harus dilawan, apapun akibatnya yang diterima, padahal kondisi saat itu Masyumi sudah lemah. Sedangkan NU, sebelum dekrit 5 Juli diketahui sikapnya yang menerima Demokrasi Terpimpin. Pada tanggal 11 Januari 1959, Soekarno mengadakan pertemuan dengan perwakilan NU, yakni Wahab Chasbullah, Idham Chalid, Djamaludin Malik dan Zainul Mrifin. Mereka ditanya tentang sikap NU terhadap Demokrasi Terpimpin. Zainal Arifin menyatakan setuju terhadap demokrasi yang dipimpin oleh hikmah kebijakan musyawarah. Walaupun jawaban ini diikutsertakan dengan kalimat hikmah musyawarah, hal ini memperlihatkan NU berkeputusan untuk turut serta dalam pemerintahan.
Kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah yang diberlakukan kedua partai sangat jelas berbeda yang menyebabkan memecah belah Islam. Masyumi dengan idealisme yang menenantang pemerintah semakin tersingkir dari panggung politik, sedangkan NU menkadi partai yang menggantikan Masyumi sebagai partai yang mendukung pemerintah. Hal ini tampak dari NU yang terlibat dalam DPRGR (Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong) dan masuk dalam kabinet, sedangkan Masyumi tidak dilibatkan.
3.2. Pembubaran dan Penangkapan Masyumi
Pada awalnya hubungan soekarno dengan Masyumi, khususnya Natsir pada mulanya berjalan baik, dimulai pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan yang menuntut semua energi dan tenaga dijadikan satu untuk melawan Belanda yang ingin mempertahankan jajahannya di Indonesia. Walaupun sebelumnya terjadi perbedaan pandangan yang tajam antara Soekarno dan Natsir, pada masa sebelum kemerdekaan. Keduanya mempunyai pemikiran yang berbeda, sehingga kali terjadi perdebatan panas dikeduanya. Namun Kondisi dan situasi pada masa perjuangan kemerdekaan justru membuat keduanya menjadi erat. Bahkan pada masa awal dari NKRI, Soekarno mempercayakan Perdana Menteri kepada Natsir, yang merupakan tokoh Masyumi. Kondisi ini dibuktikan dengan komposisi dikabinet yang tidak memasukkan PNI, justru tidak ditentang Soekarno.
Kondisi ini ternyata tdak bertahan lama, akar permasalahan antara Soekarno dengan Masyumi adalah permasalahan Irian Barat. Permasalahan Irian Barat menjadi Bom waktu yang seharusnya secepatnya diselesaikan. Masyumi menginginkan permasalahan Irian Barat diselesaikan dengan perjanjian, karena Indonesia sudah terikat perjanjian Konfrensi Meja Bundar (KMB), sedangkan Soekarno menginginkan menyelesaikan permasalahan Irian Barat dengan cara Agitatif. Keduanya menyatakan pandangannya dalam rapat kabinet yang mengajak Soekarno dan Hatta. Pertemuan tersebut menghasilkan suara dengan perbandingan lima orang memihak Soekarno dan dua belas orang memihak Natsir. Kekalahan pendapat ini justru berdampak pada akar kebencian Soekarno kepada Masyumi.
Kondisi diperkuat dengan Natsir yang mengisi puncak pimpinan dan kelompoknya di tubuh Masyumi. Sehingga dalam pandangan Soekarno, Masyumi sama dengan Natsir dan Natsir sama dengan Masyumi. Oleh karena itu, bila Natsir mengadakan pemberontakan daerah berarti Masyumi terlibat pula. Padahal pemahaman ini tidak dapat dipertanggungjawab secara hukum resmi yang berlaku. Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden No. 200/1960 yang diumumkan pada 17 Agustus 1960, Pimpinan Partai Masyumi pada tanggal 13 September 1960 menyatakan partainya dibubarkan untuk memenuhi ketentuan-ketentuan keputusan Presiden. Hilangnya partai Masyumi dan PSI (partai Sosialis Indonesia) di kancah nasional, berarti hancurnya pilar demokrasi dan Negara hukum.
Pada tahun berikutnya, sebagian besar tokoh puncak keduanya yang berada di tanah air, ditangkap dan dipenjaraka, sementara itu pihak-pihak pesantren merapat ke istana. Contoh penangkapan tokoh-tokoh Masyumi tanpa prosedur hukum yang jelas yang terjadi pada saat Anak Agung Gede melakukan pembayaran jenazah ayahnya, pada saat itu ada Roem, Prawoto, Roem, Soebadio, Yunan dan Isa . Mereka digirng ke penjara. Bahkan tokoh-tokoh yang tidak ikut murni gerakan PRRI-Permesta, seperti Buya Hamka, H.E.Z.Muttaqien, K.H. Isa Ansyori, Moh.Roem, Prawoto Mangkusasmito, Sumarso Sumarsono, dll. ikut dijebloskan. Ikut pula masuk penjara, tokoh Islam non-Masyumi K.H.Imron Rosyadi yang berasal dari NU dan tokoh pers nasional Mochtar Lubis. Mereka dikerangkeng karena dianggap menentang kebijakan Presiden Soekarno yang cenderung pro komunis.
3. Nahdatul Ulama Masa Demokrasi Terpimpin
Secara garis besar peranan Masyumi di kancah nasional sudah menghilang pasca pembubaran Masyumi. Apalagi dengan adanya kebijakan pemerintah yang menagkap tokoh-tokoh Masyumi. Pemerintah khususnya Soekarno menganggap tokoh-tokoh Masyumi terlibat pemberontakan daerah. Padahal tokoh Masyumi, diantaranya Natsir tidak terlibat secara langsung. Adapun dari penulis makalah PRRI/ Permesta bukanlah gerakan separatisme, akan tetapi gerakan untuk mengkritik pemerintah. Redupnya Masyumi, kemudian digantikan NU yang melakukan politik penyesuaian terhadap Demokrasi Terpimpin.
Politik penyesuaian yang dilakukan oleh NU menjadikan kebijakan kadang-kadang yang diambil itu berubah-ubah, akibat fleksibilitas pemahaman fiqh yang memang sarat dengan perbedaan pendapat serta terkait dengan situasi dan kondisi. Oleh karena itu, tidak ada masalah, jika pada perdebatan tentang dasar negara dalam sidang-sidang Konstituante tahun 1950-an. Pada masa itu NU sejalan dengan Masyumi mendukung Islam sebagai dasar negara RI, tetapi kemudian organisasi mau bekerjasama dengan pemerintah Orde Lama. Pilihan ini berdasarkan pertimbangan adanya baik buruk jika umat Islam tidak ikut dalam pemerintahan Orde Lama, serta sejalan dengan kaidah pemikiran yang berkembang pada saat itu di
Pesantren, seperti yang dikatakan oleh Saifuddin Zuhri fiqhiyyah, ”Ada kaidah berjuang yang diajarkan oleh Pesantren : Maa laa yudraku kulluhu laa yutraku nadhuhu : apa yang tidak tercapai 100 % janganlah ditinggalkan (dibuang) hasil yang Cuma sebagian (yang kurang dari 100 %). Dengan kata lain perkataan : Janganlah bersikap , Jika tidak berhasil 100 % lebih baik tidak berhasil sama sekali.
Berbeda dengan pemimpin Masyumi yang berani bersikap oposisi dan tegas, pemimpin NU yang aktif di dalam politik nasional semasa Demokrasi Terpimpin berharap dapat bekerjasama dengan Soekarno dan militer. Idham Chalid, pemimpin NU dan tokoh yang paling menonjol di dalam partai ini memainkan peranan kunci di dalam bidang politik selama lebih dari 30 tahun, mulai sejak masa rezim Soekano dan rezim Soeharto. Pada tahun 1983, NU mengalami penyusutan peran politik, dan Idham Khalid ikut mengalami surut.
Pada saat  NU ikut pemerintahan banyak sekali mendapatkan keuntungan dari kerjasamanya dengan pemerintah Demokrasi Terpimpin. Ia menguasai posisi Depar-temen Agama hingga keakar-akarnya. Juga mendapatkan lisensi istimewa untuk usaha pemberangkatan jamaah haji, baik melalui laut maupun udara yang merupakan usaha tersebut sangat menguntungkan. Tetapi para Kiai menjauhkan diri dari trik-trik politik walaupun Kiai-lah yang menjadi basis NU; mereka membatasi diri sebagai pemimpin agama untuk melindungi kegiatan keagamaan setempat dari campur tangan kekuatan-kekuatan politik dan militer pusat. Sekalipun demikian, NU merupakan bagian dari koalisi Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) bersama-sama dengan PKI di Jakarta.
Walaupun NU merupakan bagian dari Nasakom, untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan sosialnya, membuat NU selalu berkonfrontasi dengan golongan kiri di daerah-daerah pedesaan, karena tokoh-tokoh NU yang berada di desa-desa merupakan tuan-tuan tanah yang sangat menentang landreform yang dipelopori Soekarno. Barisan tani Indonesia (BTI) yang menjadi onderbow PKI menjadi tulang punggung dari gerakan pelaksanaan land reform yang kemudian menyebabkan timbulnya kon-frontasi antara NU dan golongan kiri. Organisasi Anshar tampil ke depan dengan menggunakan kekerasan menghadapi BTI dan gembongnya. Hal ini terjadi akibat dari undang-undang landreform. Peristiwa ini terjadi jauh sebelum Soeharto memegang kekuasaan. Kemudian muncullah peristiwa Oktober 1965. Soeharto menyalahkan PKI karena usahanya untuk melakukan revolusi, dan selanjutnya melakukan pembersihan serta penghancuran terhadap golongan kiri. Anggota-angota Anshar berada pada barisan terdepan bersama dengan Angkatan Bersenjata membunuh orang-orang yang dicurigai sebagai PKI dan keluarga-keluarga mereka. Sedangkan peranan NU di dalam aksi pembantaian ini yang diperkirakan menelan 100.000 korban mengambil posisi sebagai pengkritik terhadap kejadian-kejadian yang berlangsung disaat itu. Hal ini terjadi setelah Soeharto memegang tampuk kekuasaan di tahun 1965. NU memperkira-kan akan memperoleh banyak keuntungan dari dukungan yang diberikan terhadap pemerintahan militer, tetapi ternyata hal itu tidak menjadi kenyataan. Setelah militer berkuasa penuh, orang-orang militer banyak ditempatkan di dalam posisi-posisi yang tadinya diduduki oleh NU di dalam berbagai jabatan yang secara tradisional dipegang mereka. Namun NU tetap diperkenankan meneruskan kegiatannya seperti halnya partai-partai lain sesudah komunis dibubarkan dan secara berangsur-angsur NU pun mulai kehilangan eksistensi politiknya di pentas nasional.
Masa Depan Partai Politik Islam
Pertama, partai-partai yang berkuasa lebih bercorak sekular dan kebangsaan. Konsekuensinya, aturan-aturan yang diterapkan adalah aturan-aturan sisa peninggalan penjajah Belanda. Sistem ekonomi yang dipraktekkan pun ekonomi Kapitalistik yang secara intrinsik meniscayakan kesenjangan yang hebat antara kaya dengan miskin. Kekayaan alam milik rakyat pun dibiarkan dikuasai asing dan para saudagar dalam negeri. Semuanya legal karena ditopang oleh perundang-undangan yang dibuat oleh wakil-wakil partai-partai tersebut yang duduk di parlemen.
Kedua, partai-partai Islam yang ada tidak memiliki konsepsi (fikrah) yang jelas dan tegas. Sebagai contoh, ketika mensikapi fenomena kepala negara perempuan hanya berkomentar, “Ini masalah fikih. Semua terserah rakyat.” Pada waktu didesak pendapatnya tentang syariah Islam, menjawab, “Syariah Islam itu kan keadilan, kebebasan, dan kesetaraan.” Kalau begitu, tidak ada bedanya dengan partai-partai umumnya. Ketika ramai membincangkan amandemen UUD 1945 tentang dasar negara, sebagian menyatakan, “Partai kami tidak akan mendirikan Negara Islam”, “Kembali kepada Piagam Jakarta”, dan partai Islam lainnya menyatakan Indonesia ini plural harus kembali ke Piagam Madinah di mana tiap agama menjalankan hukum masing-masing. Sikap demikian membuat umat menyimpulkan tidak ada bedanya antara partai yang menamakan partai Islam dengan partai lainnya.
Ketiga, partai-partai secara umum hanya diperuntukkan bagi pemenangan Pemilu. Kegiatannya terkait persoalan rakyat hanya digiatkan menjelang Pemilu. Dalam kurun waktu antara dua Pemilu, umumnya partai kurang aktif. Kalaupun aktif lebih disibukkan dengan aktivitas Pilkada untuk menggoalkan calonnya. Interpelasi masalah beras atau Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hanya panas-panas tahi ayam. Ujungnya, tidak ada penyelesaian.
Keempat, tidak menjalankan metode yang jelas. Untuk melakukan perubahan di tengah masyarakat ditempuh dengan membuat undang-undang. Namun, jalannya dengan kompromi dan tambal sulam. Bahkan, berkoalisi antara partai Islam dengan partai nasionalis yang anti Islam, bahkan partai kristen yang jelas-jelas memproklamirkan dirinya konsisten menentang syariah. Kalaupun menyatakan partai nasionalis relijius tidak jelas apa maksudnya. Dengan perilaku demikian rakyat tidak melihat ada bedanya antara partai Islam dengan partai nasionalis, misalnya.
Kelima, tidak adanya ikatan yang kuat di antara para anggotanya. Ikatan yang ada lebih pada kepentingan. Muncullah perpecahan di dalam tubuh partai-partai Islam atau berbasis massa umat Islam.
Keenam, perilaku sebagian anggota/pengurus tidak mencerminkan partai Islam sesungguhnya. Aliran dana untuk DPR termasuk yang tidak jelas asalnya, juga diterima oleh sebagian partai Islam. Alasannya, nanti akan dikembalikan kepada rakyat yang menjadi konstituennya. Hal ini menambah pemahaman masyarakat tentang sulitnya membedakan antara partai Islam dengan partai bukan Islam.
Elit Politik Islam Mencari Ridla Allah, Bukan Mencari Kekuasaan
Kalau politik atau siyasah itu artinya memelihara urusan ummat, maka para pelaku politik Islam hendaknya harus berani merubah paradigma politiknya, bahwa tujuan berpolitik adalah untuk mengatur, mengurus dan memelihara urusan ummat, yang semuanya bermuara pada satu titik, yaitu untuk mencari ridla Allah (libtighai mardlatillah). Bukan sebaliknya, untuk semata-mata mencari jabatan, uang dan kekuasaan.
Imam AI-Ghozali juga menegaskan, “Dunia adalah ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi sempuma kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah anak kembar. Agama merupakan dasar dan sultan atau imam merupakan penjaga. Sesuatu yang tidak memiliki dasar pasti akan binasa dan sesuatu yang tidak memiliki penjaga akan mudah sirna. Kekuaaaan dan penerapannya tidak akan menjadi sempurna kecuali adanya sultan atau imam.” (Lihat Ihya Ulumiddin, 1:71).
Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Harus diketahui bahwa wilayah (perwalian atau pemerintahan) urusan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar. Bahkan tidak ada artinya penegakan agama dan dunia tanpa perwalian/pemerintahan ini. Kemaslahatan Bani Adam tidak akan berjalan secara sempuma kecuali dengan membentuk komunitas, karena sebagian di antara mereka pasti membutuhkan sebagian yang lain. Dalam komunitas itu dibutuhkan seorang pemimpin. Hingga beliau SAW bersabda, Jika ada tiga orang yang bepergian dalam perjalanan, hendaklah mereka mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin.” (Lihat Kitab As-Siyasah Asy-Syariyyah).
Partai Politik Islam

PARTAI POLITIK ISLAM Dr. Ahmad Yani, SH.,MH Ketua Umum Partai Masyumi 13 Ramadhan 1446 H/13