Paradoks Antara Pidato dan Realitas Bernegara

June 14, 2025

Paradoks Antara Pidato dan Realitas Bernegara

Furqan Jurdi
Ketua Pemuda Madani dan Aktivis Muda Muhammadiyah

Setiap berpidato, Presiden Prabowo selalu menempatkan ancaman serius bagi koruptor, mulai dari ancaman hukuman 50 tahun penjara hingga mengejar koruptor sampai antartika bahkan akan mengejarnya di padang pasir yang luas.

Berulangkali melalui pidatonya, presiden Prabowo mengancam para menterinya, kalau tidak sejalan dengan kebijakannya. Baru-baru ini bahkan Presiden mempersilahkan menteri yang tidak becus untuk mundur, atau kalau tidak akan diberhentikan.

Dari pidato ke pidato, sepertinya ancaman presiden masih berupa gertak biasa, belum memperlihatkan tujuan kebijakan yang jelas, hendak ke mana pidato-pidato ini? Arahnya untuk siapa dan apa hasilnya?

Dari ketegasan Presiden, lagi-lagi lewat pidato, tersimpan harapan besar. Tapi pidato yang terus menerus tanpa ketaatan pada konstitusi, tanpa pemberantasan korupsi yang serius, akan dianggap hanya sekedar gertak.

Banyak orang mulai jenuh dengan pidato-pidato itu, bahkan kalau kita melihat komentar-komentar netizen, agaknya pidato itu sudah mulai tidak menarik lagi.

Sebagai pengagum Presiden Prabowo, Saya sendiri awalnya merasa presiden akan tegas, akan menegakkan konstitusi, akan memberantas korupsi. Tapi bagaimana saya harus mengaguminya terus menerus?

Konstitusi Dilanggar

Saat antrean panjang rakyat yang sedang kesulitan mencari pekerjaan, berkerumun dengan keringat dan kelesuan, saat yang sama para menteri dan wakil menteri panen jabatan.

Dari menteri yang rangkap jabatan dan wakil menteri pun merangkap jabatan. Mereka mendapatkan kenikmatan kekuasaan, menikmati jabatan ditengah rakyat yang sedang susah mencari pekerjaan.

Setelah dilantik menjadi menteri, dilantik pula menjadi CEO, Komisaris dan jabatan lainnya. Ini terjadi secara terus dan bahkan hampir sebagian besar wakil Menteri Prabowo merangkap Jabatan.

Disisi lain Presiden berpidato seperti seorang yang menegakkan konstitusi, tapi justru konstitusi dijadikan sebagai alat untuk membesar kekuasaan.

Inilah yang kita saksikan dalam banyak hal, termasuk menggunakan instrumen kekuasaan untuk mengangkangi hukum. Bagaimana aturan yang jelas-jelas sudah memberikan larangan tapi dilanggar dengan menerabasnya.

Contohnya, Rosan Roeslani, setelah mendapatkan jabatan sebagai Menteri Investasi, kini menjabat CEO Danatara. Menteri BUMN Erik Thohir, Menteri Keuangan Sri Mulyani dan para menteri koordinator mendapatkan kedudukan sebagai Dewan Pengawas Danantara. Rangkap jabatan juga dinikmati sebagian besar Wakil-Wakil Menteri yang mengisi Jabatan Komisaris di BUMN. Ini pemerintahan seperti surganya rangkap jabatan.

Padahal pasal 23 UU Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementrian Negara mengatur secara tegas larangan bagi menteri untuk merangkap jabatan. Dalam pasal a quo Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:

a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;

b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau

c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.

Pertanyaannya, apakah Menteri seperti Rosan Roslani, Erick Thohir, Sri Mulyani dan menteri Kordinator menjadi bagian dari Danantara tidak melanggar konstitusi?

Menurut ketentuan UU Kementrian Negara jelas bahwa mereka melanggar UU. Karena Danantara disebutkan dalam UU Nomor 1 Tahun 2025 perubahan ketiga Atas UU Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) dan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2025 tentang Organisasi dan Tata Kelola BPI Danantara sebagai badan pengelola keuangan negara. Sebuah badan harus dipimpin secara profesional, bukan dirangkap oleh Menteri.

Dalam UU BUMN juga diatur larangan bagi pejabat kementrian. Secara Jelas disebutkan bahwa pejabat struktural dan fungsional dari Kementerian negara tidak diperbolehkan duduk di jajaran direksi maupun komisaris BUMN. Pelanggaran ini bukan sekadar urusan etika atau maladministrasi tetapi masuk wilayah pelanggaran hukum.

Bagaimana dengan wakil menteri yang menjabat sebagai Komisaris di BUMN. Bukanlah dalam UU Kementrian mereka tidak disebutkan, apakah itu juga melanggar konstitusi?

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019, jelas dan terang bahwa menteri maupun wakil menteri dilarang rangkap jabatan di badan usaha miliki negara atau swasta.

Meskipun ketentuan itu bukan dalam amar putusan, namun MK memperluas frasa “menteri dilarang merangkap jabatan” menjadi “menteri dan wakil menteri dilarang merangkap jabatan”. Karena memang dalam UU Kementrian tidak disebutkan spesifik tentang Wakil Menteri, sehingga untuk menghindari inkonstitusionalitas jabatan itu perlu dipertegas, termasuk kewajiban dan larangannya. Karena tidak ada jabatan tanpa kewajiban dan larangan.

Dalam pertimbangan hukum MK, seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana yang diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 (tentang Kementrian Negara) berlaku pula bagi wakil menteri. Pemberlakuan demikian dimaksudkan agar wakil menteri fokus pada beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus di kementeriannya.

Maka, larangan rangkap jabatan sudah semakin jelas dan terang, tetapi kenapa larangan itu dilanggar?. Kebiasaan melanggar konstitusi dan aturan main dalam bernegara akan mengarah pada abuse of power dan kekuasaan yang tidak terbatas. Dan kekuasaan akan menjadi absolut dan korup, seperti yang dikatakan Lord Acton “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”.

Mempertanyakan Integritas Kabinet Prabowo

Dari pidato ke pidato, publik masih bertanya, apakah ini hanya omon-omon atau presiden benar-benar serius? Katanya dia tidak takut pada koruptor. Persoalannya bukan takut atau berani, persoalannya mau atau tidak mau memberantas korupsi itu. Kalau benar-benar serius di depan Presiden, ada menteri-menteri pebisnis yang kerap dikaitkan dengan dugaan korupsi dan konflik kepentingan yang mencolok.

Di depan muka presiden ada banyak menteri-menteri dengan sederet kasus yang menyanderanya. Adapula pebisnis yang merangkap menteri sehingga melahirkan konflik kepentingan yang serius dalam mengambil kebijakan.

Tentu kita belum lupa, kasus minyak goreng, kasus Pertamina, kasus telkomsel, dan kasus Korupsi BTS dan kasus-kasus besar lainnya. Semua kasus itu diduga melibatkan menteri-menteri yang masih memegang jabatan saat ini.

Ada pula kasus pengendalian judi online, di mana menteri menjadi pelindung dari situs enemy itu. Tapi bagaimana kita percaya terhadap integritas kabinet dengan menteri-menteri yang bermasalah itu?

Menteri Era Presiden Jokowi yang mayoritas menguasai kabinet Prabowo sekarang ini adalah nama-nama yang bermasalah, tetapi mereka lolos dari sensor menjadi pejabat.

Meskipun presiden menempatkan ancaman serius bagi koruptor, namun pada akhirnya kita juga harus secara jujur mengatakan bahwa korupsi masih terjadi dan masih bercokol dikekuasaan.

Kenapa demikian? Pertama karena dipemerintahan Prabowo masih banyak pengusaha yang merangkap pebisnis.

Kedua, Banyak kran-kran korupsi yang belum ditutup, seperti Korupsi di Bea Cukai. Jamak terjadi, suap, gratifikasi, pungutan liar hingga korupsi pengadaan barang terjadi terus menerus di bea cukai.

Yang paling sering menjadi Titik rawan adalah pungutan liar, disebabkan adanya jalur merah dan jalur hijau. Modusnya, barang yang seharusnya melalui jalur hijau (tanpa pemeriksaan) tiba-tiba oleh petugas diarahkan pada jalur merah (wajib diperiksa) atau sebaliknya.

Tindakan petugas seperti itu sudah menjadi rahasia umum dan membuka peluang bernegosiasi dengan pengusaha yang juga tak sedikit selalu mengincar jalan pintas. korupsi dibidang ekspor benih lobster sampai hari ini masih terus terjadi dan eskalasinya masih besar.

Importir, eksportir, perusahaan penerbangan, pelayaran, otoritas pelabuhan dan bandar udara, konsultan perdagangan, dan mereka yang terkait dengan perdagangan internasional berkelindan dalam permainan kotor dalam lalu lintas perdagangan internasional.

Ekspor nikel dan biji nikel yang tidak tercatat di bea cukai Indonesia, tetapi tercatat di bea cukai Cina yang ditemukan KPk merugikan negara 5,3 Triliun. Contoh konkret kejahatan di bea cukai.

Tambang ilegal masih marak terjadi, pengerukan sumber daya alam secara ilegal telah merugikan negara, membahayakan manusia, memicu konflik dan merusak lingkungan. Tapi penegakan hukum terhadap tambang ilegal ini masih setengah hati.

Korupsi di BUMN masih marak terjadi. Dan semasih rezim lama memegang BUMN, konflik kepentingan tidak akan berhenti. Inilah akibatnya kalau pejabat merangkap pengusaha.

Kalau korupsi-korupsi ini tidak diatasi, negara akan terus mengalami defisit, BUMN-BUMN akan rontok, efisiensi yang merupakan agenda pemerintah akan menyulitkan pemerintah sendiri.

Kami percaya presiden memiliki cita-cita besar untuk negara, tapi cita-cita itu akan kandas apabila presiden masih mempertahankan pejabat-pejabat yang tidak memiliki integritas dan bermoral rendah. Pada akhirnya, pidato anti korupsi yang selalu menggelegar akan dianggap sekedar omon-omon