ORANG ACEH DAN NATSIR: TENTANG HILANGNYA ACEH DARI PETA SEJARAH
By. Furqan Jurdi (Ketua Perhimpunan Pemuda Madani)
Sejarah akan bersaksi dengan sendirinya tentang Orang Aceh, dan akan menampar muka republik sendiri. Bagaimana ketabahan mereka menerima republik dengan harapan mereka bisa menentukan sendiri nasibnya.
Saya ingin mengingatkan, pemerintah Republik pernah melakukan kesalahan sejarah. Kesalahan itu melahirkan luka dan ingatan kolektif tentang perlakuan republik terhadap Tanah Para Pahlawan itu.
Sengketa empat pulau yang belakangan ini disebabkan oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri akan menjadi penyebab luka sejarah akan diungkit kembali. Ingat bagaimana Pemerintah Republik telah membujuk Aceh yang dikecewakan berulang-ulang itu, hingga akhinya melahirkan perlawanan dan pertumpahan darah.
Mungkin Anda lupa atau tidak belajar tentang Hilangnya Aceh dari peta Republik, setelah kembalinya Indonesia menjadi Negara Kesatuan melalui Mosi Integral Natsir 3 April 1950.
Pemerintah Indonesia melalui Pemangku Jabatan Presiden Mr. Asaat mengeluarkan Perpu Nomor 5 Tahun 1950 pada tanggal 14 Agustus 1950 di mana Perpu itu mencabut Keputusan Wakil Perdana Menteri Sjafruddin Prawiranegara N0.8/Des/WKPM/1949 tentang Pembagian Provinsi Sumatera Utara menjadi dua, yakni Aceh dan Sumatera Utara.
Dengan Perpu No.5/1950 itu Aceh digabungkan ke Sumatera Utara bersamaan dengan Sumatera Timur dan Tapanuli. Tiga Hari sebelum Perpu No. 5/1950 itu keluar, DPRD Aceh mengajukan mosi dan menuntut supaya Aceh menjadi pemerintah Sendiri.
Mosi DPRD Aceh mengingatkan kepada Pemerintah Pusat untuk: Pertama, tidak membuat perpecahan; Kedua, Aceh secara historis, geografi, etnografi, psikologi, filosofi , agama, pendidikan, sosial, kebudayaan dan ekonomi untuk mengurus dirinya di bawah pengawasan pemerintah Pusat; ketiga, Aceh akan setia pada Pemerintah Pusat, cinta pada saudara-saudara lainnya.
Mosi itu diakhiri dengan pendirian:
Kalau Aceh tidak mendapatkan satu Provinsi yang tersendiri di bawah pimpinan Pemerintah Pusat, maka kami Putera-putera Aceh yang duduk dalam pemerintahan sekarang dan yang sepaham atas cita-cita ini, di hari pemerintah pusat menolak tuntutan tersebut, maka di hari itulah kami keluar dari badan pemerintahan dan di hari itulah mandat kami minta dikembalikan oleh Pemerintah Daerah kepada Pemerintah Pusat.
Pada waktu itu, Perdana Menteri Mohammad Natsir menanggapi serius mosi DPRD Aceh itu. Kabinet mengutus dua orang menterinya untuk bertemu dengan para Pimpinan Aceh. Keduanya adalah Menteri Keuangan Sajfruddin Prawiranegara (yang Mengeluarkan Keputusan Pembentukan Aceh sebagai daerah otonomi 1949) dan Menteri dalam Negeri Assaat yang menandatangani Perpu yang menggabungkan Aceh ke Sumatera Utara. Misi Kedua Menteri itu tidak berhasil, rakyat Aceh tetap pada Pendirinya.
Pada 20 November 1950 Wakil Presiden Mohammad Hatta dan rombongan berkunjung ke Sumatera Utara. Bung Hatta tiba di Aceh pada 27-28 November 1950 dan mengadakan rapat umum terbatas di Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Bung Hatta mengemukakan duduk perkara pembentukan Provinsi Sumatera Utara. Kedatangan Bung Hatta di Aceh tidak mampu mengubah pendirian Rakyat Aceh.
Sepulang Wakil Presiden, suhu politik di Aceh semakin meningkat. Pada 22 Desember 1950 berdasarkan Keputusan Kongres Persatuan Ulama-ulama seluruh Aceh (PUSA), Aceh tetap pada tuntutanya: “Satu provinsi otonom untuk Aceh”. Hasil Kongres PUSA itu disampaikan Gubernur Aceh Tengku Daud Beureueh kepada Perdana Menteri Natsir. Dan tuntutan Rakyat Aceh kali ini disertai ultimatum “apabila sampai tanggal 1 Januari 1951 Aceh tidak dijadikan provinsi, Aceh akan mengambil sikap. Dari Gubernur sampai kepada pesuruh kantor di seluruh Aceh, akan meletakkan jabatan.
Natsir membalas telegram itu dengan meminta agar rakyat dan Pemerintah Aceh jangan mengambil Langkah apapun sebelum dirinya datang ke Kutaraja. Gubernur Aceh menyetujui Permintaan Natsir.
Perdana Menteri Natsir tiba di Medan 22 Januari 1951 dan melanjutkan perjalanan ke Kutaraja. Kepada para pemimpin Aceh, Natsir mengatakan, bisa memahami keinginan rakyat Aceh. Masalahnya tinggal soal prosedur dan mekanisme. Bagaimanapun pemerintahan yang dia pimpin terikat kepada persetujuan RIS dan RI yang hanya bisa diubah dengan UU. Oleh sebab itu Natsir meminta waktu untuk mempersiapkan sesuatunya mengenai pembentukan provinsi Aceh yang secara prinsip dia setujui.
Pertemuan hari itu ternyata tidak mencapai kesepakatan. Pemimpin dan rakyat Aceh tetap pada pendirinya, Perdana Menteri Natsir juga tidak berani melangkah Jauh.
Keesokan paginya, sambil sarapan, Natsir menyampaikan kepada Gubernur Aceh Tengku Daud Beureueh, rencanya untuk Kembali ke Jakarta siang hari itu. Dengan Nada datar Natsir berkata, “Sampai di Jakarta, saya akan melaporkan hasil kunjungan ini kepada Presiden dan Kabinet, lalu saya akan mengembalikan mandat”.
Dengan nada heran, Daud Beureueh bertanya, “mengapa?”
Natsir Menjawab, Pertemuan dan pertukaran pikiran yang dilakukan sampai larut malam, ternyata tidak men mencapai titik temu. Itu berarti, rakyat Aceh tetap pada ultimatumnya. “Dalam keadaan demikian,” kata Natsir, “sebagai Perdana Menteri saya harus memilih di antara dua alternatif. Pertama, Pemerintah Pusat terpaksa melakukan Tindakan keras terhadap Aceh. Karena ultimatum rakyat Aceh, apalagi pelaksanaanya adalah tantangan yang tidak bisa diabaikan. Kedua, saya meletakkan jabatan”.
Natsir akan memilih alternatif kedua, sebab dirinya tidak sampai hati memerangi Aceh yang merupakan daerah modal Republik sejak Proklamasi Kemerdekaan.
Daud Beureueh tertegun sejenak, lalu menyarankan supaya Natsir menunda kepulangannya sampai besok. Gubernur sekaligus pemimpin Rakyat Aceh itu akan berboicara dengan para koleganya, dan sesudah dzuhur akan menyampaikan hasilnya kepada Natsir.
Siang harinya Daud Beureueh dating menemui perdana Menteri. Kepada Natsir Daud Beureueh mengatakan bahwa dirinya dan Para Pemimpin Aceh diberi amanat oleh rakyat Aceh untuk memperjuangkan otonomi bagi Aceh. Ketika perjuangan itu gagak, “Kemana muka ini hendak disembunyikan?”
Natsir menyahut: “Saya memahami sepenuhnya. Sebisa-bisanya, ini harus diatasi”. Sesudah itu Natsir mengusulkan dirinya diberi kesempatan berbicara langsung kepada seluruh rakyat Aceh melalui radio untuk menjelaskan duduk perkaranya. Pada tanggal 23 Januari 1951, Pukul 21.15, Suara Natsir mengudara diseluruh Aceh melalui RRI Kutaraja. Pidato Tanpa teks itu diterjemahkan ke dalam Bahasa Aceh oleh Kepala Jawatan Penerangan Aceh. Osman Raliby, dan diputar berulang-ulang setiap hari berikutnya.
Berhubungan dengan kunjungan Perdana Menteri Natsir itu, Gubernur Aceh Daud Beureueh mengeluarkan pejelasan yang berisi delapan poin dan dimuat dalam surat kabar Tegas. Singkatnya Daud Beureueh memberikan penjelasan mengenai tuntutan Aceh itu telah di pehatikan oleh Pemerintah Pusat dan meminta ulama-ulama dan pemimpin Aceh untuk memaklumi tentang persesuaian paham yang telah tercapai antara wakil-wakil rakyat Aceh dan pemerintah pusat.
Daud Beureueh menjelaskan, “Kunjungan Perdana Menteri Mohammad Natsir itu telah disampaikan sebaik-baiknya, telah melakukan perundingan dari hati ke hati dan didapatkan persesuaian paham mengenai pembentukan Provinsi Sumatera Utara”.
Mengenai tuntutan otonomi Aceh Daud Beureueh mengatakan: “masih diusahakan dan diperjuangkan terus…. Pemerintah akan mengurus soal otonomi Aceh itu secara Integraal untuk seluruh Indonesia”. Dengan demikian Daud Beureueh menerima kunjungan perdana Menteri Natsir itu dengan baik dan akan lapang dada menunda tuntutan meletekan jabatan apabila Aceh belum mendapatkan otonomi.
Penerimaan Daud Beureueh adalah sikap republican yang patut dipuji. Namun pemerintah Republik tidak pernah lagi menepati janjinya itu. Dan Natsir sendiri karena gonjang-ganjing politik tidak dapat memperjuangkan janjinya kepada rakyat Aceh, tapi Natsir memiliki sikap, bahwa Aceh harus menjadi daerah otonomi.
Maka tidak dapat dipersalahkan sepenuhnya sikap Daud Beureueh Ketika menyebrang ke Darul Islam Indonesia dan Tentara Islam Indonesia (DII/TII). Sudah bertahun-tahun tuntutan Aceh untuk mendapatkan otonomi (1950), tepatnya pada Desember 1953 Daud Beureuh menyatakan Aceh sebagai bagian dari DII/TII.
Sikap pemerintah Pusat di Bawah Presiden Soekarno tidak pernah menggubris keinginan Rakyat Aceh untuk mendapatkan otonomi itu. Pada tahun 1954 di bawah Pemerintahan perdana Menteri Ali Sostroamidjojo, Aceh digempur lewat serang militer. Apa yang ditakutkan Natsir akhirnya terjadi, Soekarno dan Ali mengirim Pasukan militer menggempur Aceh.
Itulah yang akhirnya membuat Hasan Di Tiro dari republican tulen menjadi pemberontak. Pembunuhan rakyat sipil oleh tantara kiriman pemerintah pusat menjadi cikal bakal pemberontakan yang tidak ada akhir-akhirnya. Belum lagi penyelundupan terjadi diseluruh wilayah Sumatera dan Gerakan “anti Jawa” terjadi secara meluas di wilayah itu.
Setelah pergolakan Panjang akhirnya pada tanggal 26 Mei 1959, dengan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No.1/Missi/1959, Provinsi/Daerah Swatantra Tingkat I Aceh dinyatakan sebagai Daerah Istimewa. Akan tetapi meskipun telah mendapatkan status Daerah Istimewa, Pemerintah Pusat, baik Orde Lama Soekarno maupun Orde Baru Soeharto tidak menyukai keistimewaan itu diisi dengan Syariat Islam. Berkali-kali Pemerintah Aceh mengeluarkan Perda tentang Syariat Islam, namun ditolak oleh Pemerintah Pusat, sehingga menimbulkan kekecewaan yang terus menerus.
Keistimewaan Aceh kemudian yang didasarkan pada Keputusan Perdana Menteri Mr. Hardi tahun 1968 itu tidak pernah dapat dilaksanakan. Sesudah tumbagnya orde baru, Anggota DPR yang terpilih tahun 1997 mengajukan RUU tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. RUU ini akhirnya menjadi UU Nomor 44 Tahun 1999.
Dalam UU itulah ditegaskan keistimewaan Aceh yang merupakan pengakuan dari bangsa Indonesia yang diberikan kepada Daerah karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki Masyarakat yang tetap terpelihara secara turun temurun sebagai landasan spiritual, moral dan kemanusiaan. Setelah Reformasi dengan niat baik dan kerja keras semua pihak, Rakyat Aceh menikmati aspirasinya yang telah diperjuangkan berpuluh-puluh tahun dengan darah, keringat dan air mata.
Referensi: Lukman Hakiem, 2019, Biografi Mohammad Natsir: Kepribadian, Pemikiran dan Perjuangan, Pustaka Al-Kautsar: Jakarta.

