oleh
Abdullah Hehamahua
Posisi politik umat Islam pasca kemerdekaan, tidak terlalu menggembirakan. Hal ini dilihat dari komposisi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), DPR-RI sekarang. Komposisi keanggotaan KNIP didominasi golongan nasionalis sekuler dibanding aktivis muslim. Beberapa tokoh Islam, antara lain, KH. Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, dan Mohammad Roem, menanggapi kondisi tersebut. Mereka, pada 11 Oktober 1945, bertemu di Yogyakarta, menyusun langkah-langkah antisipasi. Apalagi, Soekarno ingin kekuasaan di satu tangan seperti di negara-negara komunis.
Bung Hatta bereaksi keras terhadap ide Soekarno tersebut. Sebab, ide Soekarno ini bertentangan dengan sila keempat Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaran perwakilan.” Tokoh-tokoh Masyumi (Moh. Natsir, Syafruddin Perwiranegara, dan Moh. Roem) sewaktu menjawab pertanyaanku (1982) mengatakan, sila keempat tersebut berasal dari ide Haji Agus Salim. Menurut mereka dalam pertemuan Forum Nasi Bungkus yang kuikuti, Agus Salim merujuk ijtihad khalifah Umar Ibnu Khattab sewaktu beliau menunjuk penggantinya.
Umar yang dalam keadaan kritis akibat ditusuk seorang Yahudi, tidak menemukan figur seperti khalifah Abu Bakar menemukan dirinya. Beliau lalu menunjuk tujuh sahabat sebagai formatur untuk menentukan khalifah pengganti. Hasil musyawarah ketujuh sahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah SAW tersebut, Usman bin Affan menjadi khalifah ketiga. Pak Roem menjelaskan, saran Agus Salim itulah yang menjadi sila keempat Pancasila. Sila ini dimanifestasikan dalam bentuk musyawarah ketika memilih presiden dan wakil presiden dalam sidang umum MPR.
Wakil Presiden, Bung Hatta dalam melawan kecenderungan kekuasaan satu tangan oleh Soekarno, mengeluarkan Maklumat Pemerintah No. X/1945 yang menganjurkan pendirian partai politik. Tokoh-tokoh Islam mengantisipasi Maklumat Pemerintah tersebut secara cepat. Hasilnya, tanggal 7 – 8 November 1945, berlangsung Kongres Umat Islam Indonesia yang pertama di Gedung Mualimin, Jogjakarta. Ulama, guru agama dari pondok pesantren dan madrasah serta pimpinan ormas Islam se-Indonesia menghadiri kongres tersebut.
Putusan penting kongres antara lain menetapkan: (1) Satu-satunya partai politik Islam di Indonesia adalah Masyumi. (2) Memperkuat persiapan umat Islam untuk berjihad fi sabilillah dalam melawan segala bentuk penjajahan. (3) Memperkuat pertahanan Negara Indonesia dengan menyusun Barisan Sabilillah di daerah-daerah. (4) Memilih Dr. Soekiman sebagai Ketua serta Wakil Ketua, masing masing Abikusno dan Wali al Fatah. Ketiga orang itu diberi mandat untuk menyusun kepengurusan Masyumi.
Partai Politik Islam Indonesia Masyumi, hasil Kongres Umat Islam pertama ini dipimpin KH Hasyim Asy’ari (Pendiri NU) sebagai Ketua Majelis Syura. Beliau didampingi oleh Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Umum PP Muhammadiyah) sebagai Ketua Muda I, K.H. Wahid Hasyim (anak KH Hasyim Asy’ari), Ketua Muda II, dan Kasman Singodimedjo (Tokoh Muhammadiyah), Ketua Muda III. Anggota Majelis Syuro, antara lain: Haji Agus Salim, KH Abdul Wahab, dan Syaikh Djamil Djambek.
Pimpinan Pusat Masyumi (eksekutif) diketuai oleh Soekiman Wirosandjojo, Abikusno Tjokrosujoso (Ketua Muda I), Wali Al-Fatah (Ketua Muda II), Harsono Tjokroaminoto (Sekretaris I), dan Prawoto Mangkusasmito (Sekretaris II). Anggota Pimpinan Pusat antara lain: KH Moh. Dahlan, KH Farid Ma’roef, Junus Anies, Moh. Natsir, Kartosoewirjo, Moh. Roem, dan lain-lain.
Pak Roem sewaktu menjawab pertanyaanku (1982), dengan nada tegas mengatakan, para tokoh Islam ketika itu tidak menghiraukan jabatan apa yang disandang. Bagi mereka, yang penting, Partai Masyumi sebagai satu-satunya wadah politik umat Islam Indonesia dapat mencapai tujuan perjuangan para syuhada. Sebab, mulai dari Teuku Umar di Aceh sampai dengan Ahmad Lusi yang bergelar Pattimura di Maluku adalah pejuang-pejuang Islam yang hanya ingin tegaknya ajaran Islam di negeri ini. Alhamdulillah, target itu tercantum dalam pasal 29 ayat 1 UUD 45: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” Ayat 2 pasal ini, negara menjamin setiap warga negara untuk melaksanakan ajaran agama masing-masing warga, termasuk pelaksanaan syariat Islam.
Simpulannya, Indonesia bukan negara kapitalis, sekuler, apalagi komunis. Olehnya, wajib hukumnya sekarang bagi Masyumi untuk kembali ke pentas politik nasional melawan PKI gaya baru dan kapitalis oligarki yang semakin agresif aktivitasnya belakangan ini. (Depok, 1 Agustus 2022).