Mega Korupsi Kereta Cepat: Ujian Integritas Hukum dan Akuntabilitas Negara

October 30, 2025

Mega Korupsi Kereta Cepat: Ujian Integritas Hukum dan Akuntabilitas Negara

Ismail Rumadan
Peneliti pada Pusat Riset Hukum-Badan Riset dan Inovasi Nasional
Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Nasional-Jakarta.

Kasus dugaan mega korupsi proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (Whoosh) kembali mengguncang publik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dikabarkan telah memulai penyelidikan atas dugaan penggelembungan anggaran atau mark up sejak awal tahun 2025. Proyek yang menelan dana sekitar USD 52 juta itu ternyata memiliki nilai asli di Tiongkok hanya sekitar USD 18 juta — selisih yang menimbulkan tanda tanya besar.
Angka tersebut bukan sekadar perbedaan kalkulasi bisnis. Ia adalah alarm keras tentang bagaimana proyek strategis nasional dikelola — apakah untuk kepentingan publik atau demi kepentingan segelintir elite.

Menyeret Bayang Pemerintah Sebelumnya

Dari perspektif hukum, kemungkinan kasus ini menyeret pemerintahan sebelumnya sangat terbuka. Proyek kereta cepat adalah Proyek Strategis Nasional (PSN) yang sejak awal pengadaannya sarat perdebatan, terutama soal skema pembiayaan yang berubah-ubah.
Pada tahap awal, pemerintah berulang kali menegaskan bahwa proyek ini tidak akan menggunakan dana APBN, melainkan berbasis business-to-business (B2B) antara Indonesia dan Tiongkok. Namun dalam perjalanannya, pemerintah justru menyuntikkan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada konsorsium BUMN, dan membiarkan beban utang luar negeri meningkat tajam.
Jika terbukti ada keputusan yang melampaui kewenangan administratif atau dilakukan dengan niat memperkaya pihak tertentu, maka secara hukum, pejabat dalam pemerintahan sebelumnya dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tipikor sudah jelas: penyalahgunaan wewenang yang menimbulkan kerugian keuangan negara adalah tindak pidana korupsi.

Dugaan Mark-Up yang Sulit Disangkal

Dari sudut pandang hukum pidana, indikasi adanya korupsi dalam proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung sangat kuat dan rasional untuk diselidiki lebih lanjut. Perbedaan nilai proyek yang mencapai lebih dari tiga kali lipat dari harga asal di Tiongkok bukanlah hal yang dapat dijelaskan semata oleh faktor teknis atau inflasi biaya. Selisih besar tersebut hampir pasti menunjukkan adanya manipulasi dalam proses pengadaan, penetapan nilai kontrak, atau perencanaan investasi.
Dalam hukum pidana korupsi, pembuktiannya berporos pada tiga unsur pokok: pertama, adanya perbuatan melawan hukum; kedua, penyalahgunaan jabatan atau wewenang; dan ketiga, kerugian keuangan negara atau keuntungan bagi individu maupun korporasi tertentu. Jika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menelusuri secara mendalam rantai kontrak, jaringan subkontrak, serta mekanisme procurement proyek ini, besar kemungkinan akan ditemukan pola rekayasa harga, kolusi antarpejabat, atau keterlibatan pihak asing dalam permainan nilai dan skema utang yang menguntungkan segelintir pihak. Terlebih, proyek ini dibiayai oleh konsorsium BUMN melalui kombinasi modal publik dan pinjaman luar negeri, yang secara yuridis menempatkannya dalam kategori pengelolaan keuangan negara.
Artinya, setiap kerugian yang timbul bukan hanya menjadi tanggung jawab korporasi, melainkan juga tanggung jawab hukum negara dan pejabat publik yang terlibat di dalamnya.

Tanggung Jawab Hukum dan Moral Pemerintah Sebelumnya

Pemerintah sebelumnya memikul tanggung jawab hukum, administratif, dan moral. Secara hukum, pejabat yang menandatangani atau menyetujui perubahan struktur pembiayaan proyek wajib memastikan prinsip efisiensi dan akuntabilitas keuangan negara terpenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU Keuangan Negara.
Kegagalan melakukan due diligence, audit kinerja, dan pengawasan internal bukan sekadar kelalaian birokrasi — tetapi bentuk pelanggaran tanggung jawab jabatan. Sementara secara moral, publik berhak atas transparansi: penjelasan mengapa proyek yang semula diklaim efisien dan tanpa beban APBN justru berubah menjadi beban fiskal jangka panjang.
Keterbukaan seperti ini penting, bukan hanya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, tetapi juga untuk menunjukkan bahwa pemerintah tidak kebal terhadap kritik dan hukum.

Refleksi: Kegagalan Tata Kelola Proyek Strategis

Kasus ini menjadi cermin kegagalan tata kelola proyek strategis nasional. Ia menunjukkan betapa lemahnya mekanisme pengawasan internal BUMN, absennya audit independen, serta minimnya kontrol parlemen dan masyarakat.
Ketika proyek infrastruktur besar dijalankan dengan logika politik, bukan logika pembangunan, maka hasilnya bukan percepatan kemajuan, melainkan percepatan kebocoran anggaran. Kereta cepat yang seharusnya menjadi simbol kemajuan teknologi kini justru menjadi simbol percepatan korupsi dan pemborosan.
Kita patut mengapresiasi langkah KPK yang mulai menelusuri kasus ini secara serius. Namun ujian terbesar KPK justru adalah keberaniannya menembus sekat kekuasaan. Publik sangat menunggu: apakah KPK akan berhenti di level teknis, atau berani menyentuh aktor kebijakan di level tertinggi yang selama ini menikmati impunitas politik?

Penutup: Momentum Reformasi dan Kejujuran Negara

Kasus kereta cepat bukan sekadar soal selisih harga. Ia adalah soal kejujuran negara terhadap rakyatnya. Kita memerlukan pembenahan total terhadap sistem pengadaan, akuntabilitas proyek publik, dan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh PSN yang berpotensi menjadi ladang penyimpangan.
Reformasi birokrasi dan hukum tidak akan berarti tanpa keberanian moral. Karena sebagaimana hukum menuntut kepastian, keadilan sosial menuntut kejujuran. Dan dalam konteks bangsa yang sedang mencari arah baru, kejujuran adalah rel utama menuju Indonesia yang benar-benar maju — bukan hanya cepat di atas kertas.#

Tentang Penulis:
Penulis adalah Ketua Umum Pemuda ICMI, akademisi dan peneliti bidang hukum.