Dr. Ahmad Yani, SH., M.H.
Ketua Umum Partai Masyumi
Pidato Presiden Prabowo Subianto diacara Hari Ulang Tahun (HUT) Partai Golkar mendapatkan respon yang sangat antusias dari masyarakat. Terbukti respon atas pidato presiden itu banyak disambut positif oleh masyarakat.
Presiden Prabowo Subianto mengusulkan adanya perubahan sistem politik di Indonesia dengan mengusulkan agar kepala daerah, mulai dari gubernur hingga walikota/bupati dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Alasan yang mendasar presiden mengusulkan Pilkada lewat DPRD, karena biaya pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Walikota/Bupati) memakan biaya yang cukup mahal.
Pro-Kontra Pilkada
Pro-Kontra mengenai pilkada langsung atau tidak langsung telah menjadi rutinitas politik setiap periode pemilihan kepala daerah. Seperti pernyataan Presiden ini menjadi bagian dari refleksi kebangsaan yang penting dan mendesak.
Untuk itu, perlu ada pengkajian yang komprehensif mengenai arah kebijakan pemilihan kepala daerah yang ideal bagi sistem Indonesia. Meskipun demikian, pemilihan umum lewat DPRD merupakan bagian dari sistem politik perwakilan.
Menjelang masa akhir habisnya Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2014 mengajukan usulan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Berdasarkan naskah akademik yang menyertai draft RUU perubahan tersebut yang diajukan oleh Presiden ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk dibahas serta mendapat persetujuan bersama antara Presiden dan DPR, didasarkan dengan berbagai argumentasi baik secara filosofis, yuridis dan sosiologis.
Secara filosofis merujuk sila keempat Pancasila yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, secara yuridis Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945: Gubernur, Bupati, dan Walikota masingmasing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis, secara sosiologis pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung selama ini menelan biaya politik yang sangat tinggi baik yang dianggarkan oleh negara (APBN/APBD) maupun biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing kandidat (Calon). Selain itu praktek money politics semakin marak dan fulgar. Penggunaan anggaran daerah yang diselundupkan oleh incumbent melalui operasi bansos dan kegiatan-kegiatan lainnya dijadikan jalan atau instrument oleh incumbent untuk keterpilihan yang kedua kalinya.
Berdasarkan data resmi Komisi Pemeberantasan Korupsi (KPK), 82% kepala daerah itu disponsori Cukong yang dikutip Prof. Mahfud saat menjadi pembicara kunci dalam webinar yang digelar The Centre for Strategic and International Studies (CSIS) di Jakarta, Rabu (14/10/2020).
Kehadiran cukong sebagai sponsor di belakang para calon kepala daerah dilatarbelakangi biaya pilkada dan untuk memenangkan pilkada membutuhkan biaya yang mahal. Sedangkan para kandidat umumnya tidak memiliki biaya tersebut. Kebutuhan para kandidat inilah yang ditutupi oleh para cukong.
Relasi antara kandidat dan para cukong adalah pintu awal terjadinya praktek KKN, yang inilah akhirnya banyak mengantarkan Kepala Daerah menjadi “pasien” penegak hukum (KPK, Kepolisian dan Kejaksaan). sepanjang 2004-2024 KPK RI juga telah menangani sebanyak 618 kasus korupsi yang terjadi di pemerintahan kabupaten dan kota, dan 22 Gubernur.
Selain itu, dua ormas terbesar yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama mengusulkan juga Pemilihan Kepala Daerah dari pemilihan secara langsung ke pemilihan melalui DPRD karena pemilihan langsung lebih banyak Mudharatnya.
Presiden SBY dan DPR sepakat mengesahkan UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. UU tersebut mengamanatkan pemilihan kepala Daerah dilakukan oleh DPRD masing-masing. Dengan pertimbangan antara lain penghematan nasional dan sekaligus menghindari politik uang.
Namun SBY harus mengubah keinginannya setelah mendapatkan desakan publik untuk segera mengeluarkan Perppu membatalkan UU No. 22 Tahun 2014. Akhirnya SBY menerbitkan dua Perppu. Perppu itu lah yang membuka kembali pemilihan kepala daerah langsung.
Pengesahan dan pengundangan UU No. 22 Tahun 2014, setelah Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden selesai, hasil Pemilu Presiden dimenangkan oleh Jokowi – Jusuf Kalla yang diusung oleh Koalisi Kerakyatan sedangkan Pemilu Legislatif baik Kota/Kabupaten, Provinsi maupun DPR RI dimenangkan oleh Koalisi Merah Putih pengusung dan pendukung capres Prabowo Subianto – Hatta Rajasa, yang menghasilkan konfigurasi anggota-anggota DPRD baik Kota/Kabupaten maupun Provinsi dikuasai oleh Koalisi Merah Putih yang secara teoritis kalau pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD maka calon Kepala Daerah yang diusung oleh Koalisi Merah Putih akan memenangkan Pemilihan.
Pembatalan itu hanya karena desakan dari beberapa pengamat dan lembaga survey. Yang lebih ironis lagi, DPR menyetujui Perppu yang diajukan SBY Tersebut. Padahal tidak ada perintah konstitusi agar DPR menerima begitu saja Perppu itu. Secara Legal culture dan kepatutan harusnya DPR menolak Perppu yang diajukan oleh Presiden. Pembahasan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 dilakukan oleh DPR hasil pemilihan umum legislatif 2014 yang konfigurasi sudah mengalami perubahan dimana Koalisi Merah Putih yang sebelumnya mendominasi DPR RI telah mengalami pergeseran akibat “operasi politik penjinakan” terhadap anggota parpol Koalisi Merah Putih yaitu dengan munculnya kepengurusan kembar melalui “Munas dan Muktamar ganda yaitu Partai PPP dan Partai Golkar”. Dengan terjadinya perubahan konfigurasi fraksi-fraksi yang ada di DPR nyaris setiap RUU yang diajukan oleh Presiden Jokowi akan mendapat persetujuan DPR, karena DPR secara mayoritas telah “dikuasai” oleh Presiden Jokowi.
Secara konstitusional untuk melaksanakan pilkada secara langsung tidak ada perintah langsung dalam konstitusi. UUD hanya menyebutkan Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis.
Demokratis itu artinya bisa secara langsung, bisa juga melalui DPRD. Bahkan kalau kita ambil contoh di Daerah Istimewa seperti Yogyakarta, Gubernur diangkat melalui garis keturunan dan itu berlaku dalam sistem negara Indonesia. Atau kita lihat contoh di DKI Jakarta, Walikota dan Bupati diangkat oleh Gubernur berdasarkan pangkat eselon. Sementara di Papua diberikan kekhususan bagi Orang Asli Papua untuk menjadi Gubernur, Walikota dan Bupati. Sistem pemilihanpun menggunakan sistem noken.
Polemik tentang pilkada langsung berlanjut tahun 2019. Pada saat itu muncul lagi wacana untuk mengkaji ulang pilkada, alasannya karena pilkada berbiaya tinggi. Pilkada lewat DPRD yang diusulkan oleh Mendagri itu mendapatkan respon yang beragam. Beberapa media segera menyebutkan kekurangan pilkada tidak langsung, bahkan ada yang menyebutnya sebagai awal dari kemunduran demokrasi.
Pilkada dengan Ongkos yang Mahal
Sudah m…
[17.26, 20/12/2024] Ahmad Yani AY: Menyambut Pidato Presiden Prabowo Tentang Pilkada
Dr. Ahmad Yani, SH., M.H.
Ketua Umum Partai Masyumi
Pidato Presiden Prabowo Subianto diacara Hari Ulang Tahun (HUT) Partai Golkar mendapatkan respon yang sangat antusias dari masyarakat. Terbukti respon atas pidato presiden itu banyak disambut positif oleh masyarakat.
Presiden Prabowo Subianto mengusulkan adanya perubahan sistem politik di Indonesia dengan mengusulkan agar kepala daerah, mulai dari gubernur, walikota, hingga bupati dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Alasan yang mendasar presiden mengusulkan Pilkada lewat DPRD, karena biaya pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Walikota/Bupati) memakan biaya yang cukup mahal.
Pro-Kontra Pilkada
Pro-Kontra mengenai pilkada langsung atau tidak langsung telah menjadi rutinitas politik setiap periode pemilihan kepala daerah. Seperti pernyataan Presiden ini menjadi bagian dari refleksi kebangsaan yang penting dan mendesak.
Untuk itu, perlu ada pengkajian yang komprehensif mengenai arah kebijakan pemilihan kepala daerah yang ideal bagi sistem Indonesia. Meskipun demikian, pemilihan umum lewat DPRD merupakan bagian dari sistem politik perwakilan.
Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Pemerintah dan DPR sepakat mengesahkan UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. UU tersebut mengamanatkan pemilihan kepala Daerah dilakukan oleh DPRD masing-masing. Dengan pertimbangan antara lain penghematan nasional dan sekaligus menghindari politik uang.
Namun SBY harus mengubah keinginannya setelah setelah mendapatkan desakan publik untuk segera mengeluarkan Perppu membatalkan UU No. 22 Tahun 2014. Akhirnya SBY menerbitkan dua Perppu. Perppu itu lah yang membuka kembali pemilihan kepala daerah langsung.
Pembatalan itu hanya karena desakan dari beberapa pengamat dan lembaga survey. Yang lebih ironis lagi, DPR menyetujui Perppu yang diajukan SBY Tersebut. Padahal tidak ada perintah konstitusi agar DPR menerima begitu saja perppu itu. DPR pun setengah hati karena waktu itu PDIP telah memenangkan pemilu dan Joko Widodo terpilih sebagai Presiden. Akibatnya desakan masyarakat itu melemahkan DPR sehingga membatalkan UU yang telah disetujui Bersama dengan pemerintah.
Secara konstitusional untuk melaksanakan pilkada secara langsung tidak ada perintah langsung dalam konstitusi. UUD hanya menyebutkan Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis.
Demokratis itu artinya bisa secara langsung, bisa juga melalui DPRD. Bahkan kalau kita ambil contoh di Daerah Istimewa seperti Yogyakarta, Gubernur diangkat melalui garis keturunan dan itu berlaku dalam sistem negara Indonesia. Atau kita lihat contoh di DKI Jakarta, Walikota dan Bupati diangkat oleh Gubernur berdasarkan pangkat eselon. Sementara di Papu diberikan kekhususan bagi Orang Asli Papua untuk menjadi Gubernur, Walikota dan Bupati. Sistem pemilihanpun menggunakan sistem noken.
Polemic tentang pilkada langsung berlanjut tahun 2019. Pada saat itu muncul lagi wacana untuk mengkaji ulang pilkada, alasannya karena pilkada berbiaya tinggi. Pilkada lewat DPRD yang diusulkan oleh Mendagri itu mendapatkan respon yang beragam. Beberapa media segera menyebutkan kekurangan pilkada tidak langsung, bahkan ada yang menyebutnya sebagai awal dari kemunduran demokrasi.
Pilkada dengan Ongkos yang Mahal
Sudah menjadi rahasia umum bahwa biaya Pilkada langsung memakan anggaran negara yang cukup besar. Pada tahun 2024 ini Pilkada memakan biaya 37 Triliun, sebuah angka yang begitu fantastis.
Selain memakan biaya negara yang besar, pilkada langsung adalah kontestasi yang cukup mahal. Pada kandidat setidaknya menyediakan biaya politik 30 – 50 Milyar. Calon yang paling gendut keuangannya yang punya kans lebih besar yang berpotensi memenangi pilkada. Disinilah peran bandar politik (oligarki) untuk membiayai pilkada.
Siapa yang punya bandar tentu akan berpeluang menjadi pemenang. Potensi politik uang bukan hanya terjadi di tingkat pemilihan langsung, pemilihan tidak langsung juga bisa menimbulkan dampak politik uang.
Meskipun keduanya rentan dengan politik uang, Pilkada langsung memakan anggaran negara yang besar dan sulit diawasi perilaku politik uang. Sementara pilkada tidak langsung, penggunaan anggaran negara sangat minim, dan potensi politik uang dapat dengan mudah diawasi.
Selain itu, secara faktual, hasil dari pemilihan kepada daerah langsung telah banyak membuat kepala daerah terjerat kasus korupsi seperti, suap yang melibatkan pemerintah daerah dan pengusaha yang ingin mendapatkan proyek APBD. Semua itu terjadi karena biaya politik yang begitu mahal.
Dengan menggunakan alasan bahwa sistem pilkada langsung yang mahal, Presiden Prabowo menganggap bahwa pemilihan melalui “Permusyawaratan perwakilan” alias pilkada melalui DPRD akan mengurangi anggaran dan ongkos politik yang mahal tersebut.
Lebih jauh lagi, bukan hanya biaya penyelenggaraan Pilkada yang yang mahal, tetapi ongkos politik juga yang sangat mahal. Sehingga dengan mahal biaya dan ongkos yang mahal itu, setiap kepala daerah yang terpilih akan lebih pragmatis.
Pilkada langsung juga akan menciptakan keretakan kohesi sosial di masyarakat, dan tidak jarang terjadi perpecahan dan polarisasi masyarakat yang cukup berbahaya bagi keamanan dan ketertiban.
Pilkada yang Konstitusional
Pemilihan kepala daerah langsung seyogyanya memang perlu dievaluasi secara menyeluruh. Selain tidak mencerminkan semangat demokrasi pancasila sebagaimana yang tertuang dalam sila keempat pancasila, pemilukada tidak memiliki pijakan konstitusional yang cukup.
Kalau kita baca ketentuan UUD 1945 Pasal 18 ayat (4) “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing~masing sebagai pemerintah daerah yang dipilih secara demokratis”.
Kata demokratis dalam UUD tersebut mengisaratkan pemilihan kepala daerah tidak harus langsung oleh rakyat. pemilihan kepala daerah dapat dilaksanakan dengan cara permusyawaratan perwakilan.
Demokratis artinya bisa langsung, bisa tidak langsung atau melalui DPRD. Konstitusi tidak mengatakan bahwa pemilihan kepala daerah dipilih oleh rakyat. dengan demikian pemilihan bisa dilakukan di DPRD.
pemilihan kepala Daerah langsung sudah dirasakan oleh kita bersama, memerlukan biaya yang besar, mulai dari mencari dukungan partai, hingga konsolidasi politik yang memerlukan dana besar.
Keadaan ini melibatkan cukong~cukong sebagai bandar. Dan itu bisa berkembang lebih luas, yaitu menghasilkan pemerintahan yang korup. Maka, untuk menghalau oligarki menunggang demokrasi dan supaya biaya politik yang tidak terlalu mahal, maka pemilihan dikembalikan ke DPRD.
Pemilihan Kepala Daerah di DPRD meski potensi korupsinya tetap ada, tetapi bisa langsung diawasi oleh Penegak hukum. Daripada mengawasi rakyat yang menerima pembagian sembako dari para calon atau politik uang yang begitu marak terjadi lebih sulit diawasi.
Tafsiran tentang pilkada ini memang belum selesai sepenuhnya. Pasal 18 ayat (4) menyebutkan, “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing dipilih secara demokratis.
Kata demokratis ini ditafsirkan dalam dua bentuk. Pertama, Demokratis yaitu pemilihan langsung oleh Rakyat dan kedua, demokratis di pilih oleh DPRD. Point kedua yang sering dipakai untuk memperkuat argumentasi adalah Sila ke-empat Pancasila, yaitu “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan”.
Demokrasi Perwakilan adalah demokrasi yang dikehendaki oleh pendiri bangsa ini. Dimana wakil-wakil rakyat menentukan siapa yang memilih pemimpin eksekutif.
Rakyat pada dasarnya Kata Robert Michael, tidak mengenal sama sekali siapa kandidat yang mereka pilih, bagaimana rekam jejaknya, seperti apa pergaulannya dan apa prestasinya. Apabila Rakyat yang berbentuk massa ini ikut terlibat langsung dalam demokrasi maka yang akan terjadi “demokrasi massa”. Demokrasi Massa bagi Michael lebih dekat pada kesalapahaman dan anarkisme.
Pendiri bangsa inipun tidak menghendaki demokrasi mass aitu. Mereka menginginkan demokrasi perwakilan, dimana wakil-wakil rakyat duduk Bersama secara musyawarah dan mufakat untuk menentukan siapa calon yang akan mereka pilih. Wakil-wakil ini lebih dekat dengan kandidat eksekutif karena mereka lebih mengerti dan lebih mudah mendapatkan akses untuk mengenal siapa yang pantas untuk memimpin negara atau daerah.
Inilah demokrasi yang hendak dituju, yaitu demokrasi memilih wakil-wakil rakyat oleh rakyat, dan memilih pemimpin oleh wakil-wakil rakyat untuk memimpin bangsa dan negara. Maka dalam falsafah demokrasi Indonesia yang kita dapat baca dalam Pancasila, yaitu “permusyawaran Perwakilan”.
Sementara itu demokrasi langsung, dengan menggunakan sistem threshold, sangat oligarkis dan cenderung mempermudah oligarki mengatur kandidasi. Angka threshold baik dalam pilkada maupun pilpres menjadi pintu seleksi paling mahal dalam demokrasi. setelah partai politik menawarkan orang-orang yang “berduit” membayar mereka, maka mereka inilah yang akan tampil menjadi kandidat, tidak peduli seperti apa rekam jejaknya.
mengkaji ulang pilkada yang konstitusional dan yang cocok dengan karakter bangsa Indonesia sangat penting. karena itu, pidato presiden Prabowo untuk mengkaji ulang pilkada langsung perlu diparesiasi dan didukung sebagai Langkah perbaikan bagi sistem demokrasi politik Indonesia kedepan