MAQASHID AL-SYARI’AH
Dr. Ahmad Yani, SH.,MH
Ketua Umum Partai Masyumi
23 Ramadhan 1446 H/23 Maret 2025 M
Secara bahasa, Maqashid Syari’ah terdiri dari dua kata, yaitu Maqashid dan Syari’ah. Maqashid artinya kesengajaan atau tujuan, Maqashid merupakan bentuk jamak dari maqsud yang berasal dari suku kata Qashada yang artinya dikehendaki atau dimaksudkan, Maqashid artinya hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan. Syari’ah secara bahasa berarti ىلا ردحت عضاوملا ءاملا yang berarti jalan menuju sumber air. Jalan menuju air ini dapat dianggap sebagai jalan menuju sumber utama kehidupan.
Kata maqashid merupakan bentuk jamak dari maqshad yang berarti “tujuan dan sasaran”. Sedangkan Syariah berarti “hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan agar manusia menjadi pedoman untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat”. Terdapat perbedaan pendapat mengenai definisi maqashid syariah. Dalam jurnal Maqasid Syariah: Theoretical and Applied Studies on Contemporary Issues yang ditulis oleh Musolli, Ibnu Ashur mendefinisikan maqashid syariah sebagai nilai-nilai atau hikmah yang bersangkutan dengan syariah sepanjang isi syariah yang ia sajikan secara rinci atau global. Sedangkan Wahbah al-Zuhaili dalam Ushul al-Fiqh al-Islami menulis bahwa maqashid Syariah adalah makna dan tujuan yang diusung oleh Syariah dalam seluruh atau sebagian besar hukumnya, atau tujuan akhir dari Syariah dan rahasia-rahasia yang diberikan oleh Syariah dalam semua undang-undang.
Dalam karyanya al-Muwafaqat, al-Syatibi menggunakan berbagai kata yang berkaitan dengan maqasid al-syari’ah. Kata-kata itu ialah maqasid al-syari’ah, al-maqasid al-syar’iyyah fi al-syari’ah, dan maqasid min syar’i al-hukm. Menurut al-Syatibi yang dikutip dalam perkataannya sendiri: “Sesungguhnya hukum syariah bertujuan untuk menciptakan kebahagiaan bagi manusia di dunia dan di akhirat”. Dalam ungkapan lain al-Syatibi berkata: “Hukum itu dibuat untuk kepentingan hamba”. Jadi, maqashid adalah tujuan yang ingin dicapai seseorang dengan melakukan sesuatu. Berbagai definisi telah diajukan ulama ushul fiqh dengan istilah maqasid. Para ulama klasik tidak pernah memberikan definisi khusus tentang maqasid, bahkan al-Syatibi yang dikenal sebagai pelopor ilmu maqasid pun tidak pernah memberikan definisi khusus tentangnya. Namun hal ini tidak berarti mereka mengabaikan maqasid syara’ dalam hukum syara’. Berbagai tanggapan terhadap maqasid dapat dilihat dalam karya-karya mereka. Kita akan menemukan pandangan berbagai sarjana klasik, yang merupakan unsur-unsur dalam definisi yang dikemukakan oleh sarjana-sarjana selanjutnya. Yang pasti nilai-nilai maqasid syara’ itu terdapat dalam setiap ijtihad dan hukum-hukum yang ditetapkannya. Memang nilai-nilai maqasid syara’ sendiri sebenarnya terkandung dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Ada yang menganggap maqasid sebagai maslahah, seperti menarik maslahah atau menolak mafsadah. Ibnu al-Qayyim menegaskan bahwa hukum syariah didasarkan pada hikmah dan maslahah bagi manusia di dunia atau di akhirat. Perubahan hukum terjadi seiring dengan perubahan waktu dan tempat untuk memastikan bahwa hukum syariah dapat memberikan manfaat bagi umat manusia. Sedangkan Al-Izz bin Abdul Salam juga berpendapat serupa ketika mengatakan: “Syariah itu murni maslahah, menolak keburukan atau menarik kebaikan.”
Ada juga yang memahami maqasid sebagai lima prinsip dasar Islam, yaitu perlindungan agama, jiwa, akal, anak, dan harta. Di sisi lain, ada juga ulama klasik yang menganggap maqasid sebagai logika legitimasi hukum. Singkatnya, maqasid syariah mengacu pada “tujuan yang ingin dicapai syariah untuk kemaslahatan umat manusia”. Para ulama yang telah menulis tentang tujuan syariah, beberapa persoalan dan alasan yang mendasari syariah menetapkan bahwa tujuan tersebut dibagi menjadi dua kelompok sebagai berikut:
1. Kelompok ibadah, yaitu diskusi yang membahas permasalahan จวabbud yang secara langsung hubungan antara manusia dengan ciptaannya, yang dijelaskan satu per satu syariat.
2. Kelompok Muamalah Dunyawiyah yaitu kembali ke permasalahan dunia, atau seperti yang diutarakan Al Izz Ibnu Abdis Salam: “Segala macam hukum yang memberatkan kita semua, kembali ke permasalahan dunia kita, atau di akhirat. Tuhan tidak membutuhkan ibadah kita. Ketaatan orang yang taat tidak mendatangkan manfaat bagi Allah, sebagaimana kemaksiatan orang durhaka tidak merugikan Allah”.
Akal dapat mengetahui makna syara’ terhadap seluruh hukum muamalah, berdasarkan pada upaya memberi kemaslahatan umat dan mengingkari mafsadat dari mereka. Semua hal yang baik adalah baik dan semua hal buruk adalah haram. Namun ada sebagian ulama, termasuk Daud Azhâ Zhahiri, yang tidak membedakan antara ibadah dan muamalah.
B. Jenis-Jenis Maqashid Al-Syari’ah
Dilihat dari sudut pandang kerasulan Nabi Muhammad SAW, dapat diketahui bahwa hukum Islam diturunkan oleh Allah SWT untuk mencapai kesejahteraan umum umat manusia. Maqasid Syariaah berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam menegakkan hukum Islam. Tujuan tersebut dapat ditelusuri dari ayat-ayat Al-Quran dan Sunnah Nabi sebagai dasar pemikiran pembuatan undang-undang yang bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia. Sebagaimana dikemukakan Abu Ishaq al-Syatibi, tujuan utama hukum Islam adalah memberikan kemaslahatan bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Selanjutnya Abu Ishaq al-Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW yang di dalamnya hukum-hukum yang ditetapkan Allah untuk mencapai kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di dunia. Kemudian. Menurut al-Syatibi, manfaat yang akan direalisasikan terbagi dalam tiga tingkatan, yaitu kebutuhan dharuriyat, kebutuhan hajiyat, dan kebutuhan tahsiniyat.
1. Dharuriyat/Kebutuhan Pokok
Kebutuhan Dharuriyat adalah tingkatan kebutuhan yang harus ada atau disebut dengan kebutuhan pokok. Jika tingkat kebutuhan ini tidak terpenuhi, keamanan umat manusia akan terancam baik di dunia maupun di akhirat. Menurut al-Syatibi, ada lima hal yang demikian, yaitu terpeliharanya agama, terpeliharanya jiwa, terpeliharanya akal, terpeliharanya kehormatan dan keturunan, dan terpeliharanya harta. Untuk melestarikan kelima pohon ini, diberlakukan hukum Syariah Islam. Setiap kalimat penyelidikan akan dicari penyebab terbentuknya yang tidak lain hanyalah kelestarian kelima pohon di atas.
Misalnya, firman Allah dalam mewajibkan jihad :
Artinya: Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu Hanya semata-mata untuk Allah. jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.
Dan firman-Nya dalam mewajibkan qishash :
Artinya: Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
Dari ayat pertama saja sudah dapat kita lihat bahwa tujuan hukum perang adalah untuk memperlancar jalan dakwah di kala sulit dan untuk mengajak manusia agar menyembah Allah. Dan dari kalimat kedua, diketahui bahwa sebab disyariatkannya qisas adalah karena dapat menghilangkan ancaman terhadap nyawa manusia.
2. Hajiyat/Kebutuhan Sekunder
Kebutuhan hajiyat merupakan kebutuhan sekunder, apabila tidak terpenuhi tidak akan mengancam keselamatan individu, namun akan menimbulkan kesulitan. Hukum Islam menghapus semua kesulitan ini. Keberadaan hukum rukhshah (keringanan), sebagaimana dijelaskan Abd al-Wahhab Khallaf, merupakan contoh kepedulian umat Islam terhadap kebutuhan tersebut. Dalam bidang ibadah, Islam mengatur hukum-hukum rukhshah (relief) tertentu padahal kenyataannya sangat sulit melaksanakan perintah taklif. Misalnya Islam memperbolehkan kita untuk tidak berpuasa ketika melakukan perjalanan jarak tertentu dengan syarat menggantinya di hari lain, begitu pula dengan orang sakit. Kemungkinan menunda shalat untuk memenuhi kebutuhan hajiyat ini.
Dalam bidang mu’amalat, banyak jenis akad (akad), baik jual beli, sewa, syrkah (bisnis) dan mudharabah (bisnis dengan modal orang lain dengan akad keuntungan) dan beberapa hukum rukhshah dalam mu’amalat. Dalam ranah uqubat (hukuman yang sah), Islam mewajibkan diyat (denda) bagi pelaku pembunuhan yang tidak disengaja, sementara menangguhkan hukuman potong tangan bagi pencuri karena ingin menyelamatkan nyawanya sendiri. Jiwaku dari rasa lapar Kesempitan yang menimbulkan kelonggaran dalam Syariah Islam juga bersumber dari tuntunan ayat-ayat Al Quran. Contoh: Surat Al-Maidah (5) ayat 6: Terjemahan: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri untuk shalat, maka basuhlah mukamu, basuhlah tanganmu sampai ke siku, usaplah kepalamu, dan (basuhlah) kakimu sampai ke ujung kakimu, siku, tangan, pergelangan kaki. Jika Anda dalam kondisi Junub, mandilah. Jika kamu dalam keadaan sakit, dalam perjalanan, baru saja pulang dari toilet, atau menyentuh wanita tanpa mendapat air, maka tayamumlah dengan debu yang baik (suci); bersihkan muka dan tangan dengan (debu) ini. Allah tidak ingin menyusahkanmu, namun Dia ingin mensucikanmu dan menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu bersyukur.
3. Kebutuhan Tahsiniyat/Tersier
Kebutuhan Tahsiniyat adalah tingkatan kebutuhan yang apabila tidak terpenuhi tidak akan mengancam keberadaan kelima poin di atas dan tidak menimbulkan kesulitan. Tingkatan kebutuhan ini berupa kebutuhan tambahan, sebagaimana dikemukakan oleh al-Syatibi, yaitu hal-hal yang sesuai dengan adat istiadat, menghindari hal-hal yang tidak sedap dipandang, dan dihiasi dengan keindahan yang sesuai dengan syarat akhlak dan etika. Dalam berbagai bidang kehidupan, seperti ibadah, muaamalat dan euroqubat, Allah telah menetapkan hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan tahsiniyat. Di bidang ibadah, kata Abd. Misalnya Wahhab Khallaf, Islam memerintahkan bersucinya najis atau hadas, baik jasmani maupun tempat dan lingkungan. Islam menganjurkan berpakaian sopan saat menghadiri masjid dan menganjurkan memperbanyak ibadah sunnah.
Dalam urusan shalat, Islam melarang pemborosan, keserakahan, kenaikan harga, monopoli, dll. Dalam bidang fiqih, Islam melarang pembunuhan anak-anak dan perempuan dalam perang, serta melarang praktik muslah (penyiksaan mayat dalam perang). Maksud hukum syariat tersebut di atas dapat dilihat pada beberapa ayat, misalnya ayat 6 surat al-Maidah: Terjemahannya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri untuk shalat, basuhlah mukamu dan angkat tangan ke atas siku lalu usaplah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai mata kaki. Jika Anda dalam kondisi Junub, mandilah. Jika sakit, bepergian, pulang dari toilet, atau menyentuh wanita tanpa mendapat air, bertayamum dengan debu yang baik (murni); bersihkan wajah dan tanganmu dengan ini (debu). Tuhan tidak ingin mempersulitmu, namun Dia ingin mensucikanmu dan melengkapi nikmat-Nya untukmu agar kamu bersyukur.
C. Tujuan Hukum Islam
Abu Ishaq al Shatibi mengemukakan lima tujuan hukum Islam, yaitu memelihara: (1) agama, (2) jiwa, (3) ruh, (4) anak cucu dan (5) harta benda, (kemudian) ) diterima oleh para ahli hukum Islam lainnya. Lima tujuan hukum Islam dalam sastra disebut Al-maqasid Al-khamsah atau Ahmaqasid Al-shari’ah (baca: Al-maqasidis syar’ah kadang disebut Al-maqadis syar’iyah) (tujuan hukum Islam). Untuk mendapatkan gambaran lengkap mengenai teori maqasbid Al-Syari, berikut ini akan dijelaskan lima manfaat pokok dengan derajatnya masing-masing. Uraian ini didasarkan pada lima prinsip kemaslahatan, yaitu: agama, jiwa, kebijaksanaan, nasab dan harta. Selanjutnya, masing-masing dari lima pohon akan dilihat menurut kepentingan dan kebutuhannya.
1. Memelihara agama
Memelihara atau memelihara agama, tergantung kepentingannya, dibedakan menjadi tiga tingkatan:
a) Memelihara agama pada tingkat daruriyyat yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban agama pada tingkat dasar, seperti seperti melaksanakan shalat lima waktu. Jika kita melalaikan shalat maka eksistensi agama akan terancam.
b) Memelihara agama pada tingkat hajiyyat, yaitu menjalankan ketentuan agama, dengan tujuan menghindari kesulitan, seperti shalat jamak dan shalat qashar bagi yang bepergian. Jika aturan ini tidak ditegakkan, maka tidak akan mengancam eksistensi agama, namun hanya akan semakin mempersulit pemeluk agama.
Memelihara agama pada tataran tahsiniyyat, yaitu menjalankan perintah agama untuk menjaga kehormatan manusia, serta memenuhi kewajiban kepada Allah, seperti menutup aurat, baik di dalam maupun di luar, membersihkan badan, pakaian dan tempat tinggal. Kegiatan ini erat kaitannya dengan etika yang terpuji. Jika hal ini tidak memungkinkan, maka hal itu tidak mengancam eksistensi agama tersebut dan tidak menimbulkan kesulitan bagi penganutnya. Maksudnya, jika tidak menutup aurat, maka boleh shalat, namun tidak boleh keluar dari tempat shalat yang termasuk dalam kelompok daruriyyat. Nampaknya penutup aurat tidak dapat digolongkan sebagai tambahan (tahsiniyyat), karena keberadaannya mutlak diperlukan untuk kemaslahatan manusia. Setidaknya kekhawatiran ini masuk dalam kategori hajiyyat atau daruriyyat. Namun jika mengikuti kelompok di atas, bukan berarti sesuatu yang termasuk dalam tahsiniyyat dianggap tidak penting, karena kelompok ini akan memperkuat kelompok hajiyyat dan daruriyat.
2. Memelihara jiwa
Memelihara jiwa, tergantung kepentingannya, dibedakan menjadi tiga tingkatan:
a. Memelihara jiwa pada tingkat daruriyyat, seperti pemuasan kebutuhan pokok berupa makanan untuk menunjang kehidupan. Jika kebutuhan dasar ini diabaikan maka eksistensi jiwa manusia akan terancam.
b. Menjaga jiwa pada tingkat hajiyyat, seperti diperbolehkan berburu binatang untuk menikmati makanan yang enak dan halal. Jika kegiatan ini diabaikan maka tidak akan mengancam keberadaan manusia namun hanya akan mempersulit kehidupan.
c. Menjaga jiwa pada tingkat tahsiniyyat, seperti menentukan aturan makan. Kegiatan ini hanya mementingkan kesopanan dan kesusilaan, sama sekali tidak mengancam eksistensi jiwa manusia, dan tidak menyulitkan kehidupan siapapun.
3. Memelihara Akal (Hifzh Al-‘Aql)
Memelihara akal ditinjau dari kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan:
a. Memelihara akal pada tahap daruriyyat, seperti larangan meminum minuman keras minuman beralkohol. Jika ketentuan ini tidak dipatuhi, maka eksistensi nalar terancam.
b. Memelihara hikmah pada tahap hajiyyat, sebagaimana dianjurkan dalam menuntut ilmu. Jika hal ini dilakukan, maka tidak akan merugikan pikiran namun akan menyulitkan seseorang dalam mengembangkan ilmunya.
c. Memelihara akal pada tahap tahsiniyyat. Misalnya, hindari melamun atau mendengarkan sesuatu yang tidak bermanfaat. Hal ini berkaitan erat dengan moralitas, tidak akan secara langsung mengancam keberadaan akal.
4. Memelihara keturunan (Hifzh Al-Nasl)
Memelihara keturunan, berdasarkan tingkat kebutuhannya, dibedakan menjadi tiga tingkatan:
a. Memelihara keturunan pada tahap daruriyyat, menurut Perkawinan diatur dan zina adalah dilarang keras. Jika kegiatan ini dibiarkan, maka keberadaan anak-anak tersebut akan terancam.
b. Perlindungan terhadap keturunan dalam tahap hajiyyat, sebagaimana dimaksud dalam pasal yang menyebutkan mahar suami dalam perkawinan dan pemberian hak cerai kepada suami. Jika mahar tidak disebutkan pada saat akad, maka suami akan kesulitan karena harus membayar mahar, misalnya. Sedangkan ketika bercerai, suami akan menghadapi kesulitan jika tidak menggunakan haknya untuk bercerai, meskipun keadaan keluarga tidak harmonis.
c. Perlindungan terhadap keturunan pada tahap tahsiniyyat, sebagaimana diwajibkan dengan memberikan khutbah atau walimat dalam perkawinan. Hal ini dilakukan untuk melengkapi kegiatan pernikahan. Jika hal ini dibiarkan, maka tidak akan mengancam kelangsungan hidup anak dan tidak menyulitkan mereka yang akan menikah.
5. Memelihara Harta (Hifzh Al-Mal)
Dari segi kepentingannya, Memelihara Harta dibedakan menjadi tiga tingkatan:
a. Memelihara Harta pada tingkat daruriyyat, sebagaimana syariat tata cara kepemilikan harta dan larangannya perampasan yang tidak wajar atas milik orang lain diperbolehkan. Jika aturan ini tidak dipatuhi, maka keberadaan properti tersebut akan terancam.
b. Mempertahankan kepemilikan pada tahap hajiyyat sebagai hukum syariat tentang jual beli secara salam. Jika cara ini tidak diterapkan, tidak akan mengancam keberadaan real estate tetapi akan menimbulkan kesulitan bagi mereka yang membutuhkan modal.
c. Memelihara Harta pada tahap tahsiniyyat, seperti ketentuan untuk mencegah penipuan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bisnis atau etika profesi. Hal ini juga akan mempengaruhi sahnya jual beli, karena tingkat ketiga ini juga merupakan syarat adanya tingkat kedua dan pertama.