M. Natsir: Negarawan Sejati yang Menyatukan Indonesia Lewat Kata, Bukan Senjata

June 10, 2025

  • M. Natsir: Negarawan Sejati yang Menyatukan Indonesia Lewat Kata, Bukan Senjata

Dari Mosi Integral hingga Surat Penjara yang Menyelamatkan Jepang—Beginilah Keteladanan Seorang Ulama dan Politisi Lintas Zaman

Kalau hari ini kita menikmati hidup di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mungkin banyak yang belum tahu, ada seorang tokoh yang berjasa besar mewujudkannya—dan itu bukan dengan senjata, tapi dengan sebuah pidato politik yang menyatukan bangsa.

Namanya: Mohammad Natsir.
“Seorang negarawan sejati tidak hidup untuk dirinya sendiri, tetapi untuk bangsanya.”
Kutipan ini sangat cocok menggambarkan sosok Mohammad Natsir; seorang tokoh yang hidupnya diabdikan untuk umat, bangsa, dan agama.
M. Natsir bukan hanya tokoh politik biasa. Ia adalah pemikir, pendidik, orator, dan pejuang dakwah.

Namanya kerap disebut dalam catatan sejarah sebagai tokoh sentral dalam membentuk wajah Indonesia modern, khususnya dalam menjaga utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Mosi Integral: Jalan Damai Menuju NKRI

Pada 3 April 1950, Natsir menggagas apa yang disebut “Mosi Integral” di Dewan Perwakilan Rakyat. Saat itu, Indonesia masih berbentuk Republik Indonesia Serikat (RIS); warisan dari hasil Konferensi Meja Bundar (KMB). Namun sistem itu dianggap terlalu rumit dan mengancam persatuan bangsa. Melalui pidato yang jernih dan argumentatif, Natsir mengusulkan agar Indonesia kembali menjadi negara kesatuan.

“Dengan dasar kesukarelaan dan tanpa tekanan, kita kembali kepada NKRI!” kata Natsir dalam pidatonya (lihat: Anhar Gonggong, Pidato-Pidato Politik Mohammad Natsir, 2006).

Mosi itu diterima dan menjadi titik balik sejarah Indonesia. Tanpa pertumpahan darah, tanpa gejolak militer, hanya lewat kecakapan diplomasi dan integritas moral.

Surat dari Penjara: Diplomasi yang Menyelamatkan Jepang

Kisah ini nyaris seperti fiksi, namun benar-benar terjadi. Pada tahun 1970-an, saat Jepang mengalami krisis energi akibat embargo minyak oleh negara-negara Arab, mereka kesulitan mendapatkan suplai minyak.

Pemerintah Jepang kemudian menghubungi Natsir ( yang saat itu ironisnya sedang ditahan oleh rezim Orde Baru)
Hanya dengan selembar surat dari balik penjara, Natsir menulis kepada Raja Faisal dari Arab Saudi.

Hasilnya; pasokan minyak untuk Jepang kembali dibuka, ini menunjukan pengaruh Natsir di dunia Islam begitu besar, bahkan dalam kondisi terpenjara, suaranya tetap didengar.

Aktivitas Global: Pemikir Islam yang Mendunia

Natsir aktif di panggung internasional. Ia pernah menjabat sebagai Presiden Liga Muslim Dunia (World Muslim Congress), dan menjadi tokoh penting dalam Rabithah Alam Islami.

Dalam berbagai forum dunia, ia konsisten membawa suara Islam Indonesia yang moderat dan rasional.

Menurut Prof. Taufik Abdullah dalam buku Islam dan Masyarakat (LP3ES, 1987), Natsir adalah “jembatan yang menyambungkan Islam Indonesia dengan dunia Islam, baik di Timur Tengah maupun Asia Selatan.”

Dakwah dan Pendidikan: Merajut Umat dari Akar Rumput

Setelah tidak lagi berada dalam pemerintahan, Natsir tidak memilih jalan pensiun nyaman. Ia justru mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) pada 1967, yang berfokus pada penyebaran Islam dan penguatan pendidikan keislaman di pelosok negeri.

DDII mengirim ribuan dai ke daerah-daerah terpencil dan membangun lembaga pendidikan dari nol.

Bagi Natsir, kekuatan Islam bukan hanya di mimbar, tapi juga di ruang kelas dan desa-desa. “Islam tidak boleh hanya tinggal di masjid-masjid kota,”

Gelar Pahlawan Nasional: Pengakuan yang Terlambat, Tapi Layak

Pada tahun 2008, Pemerintah Indonesia akhirnya menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada M. Natsir. Sebuah pengakuan yang pantas untuk segala dedikasi, pemikiran, dan perjuangannya selama lebih dari setengah abad.

Politisi atau Negarawan?

Saat ini, bangsa Indonesia dihiasi oleh banyak politisi, tetapi jarang sekali yang berjiwa negarawan. Mohammad Natsir adalah pengecualian. Ia tidak pernah memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri. Ia tidak membangun dinasti politik. Bahkan ketika berbeda dengan penguasa, ia memilih menepi daripada menggadaikan prinsip.

Bandingkan dengan politisi zaman sekarang; banyak yang mudah tergelincir karena jabatan dianggap sebagai alat kekuasaan, bukan amanah.

Padahal, seperti kata Natsir, “Politik bukan sekadar seni meraih kekuasaan, tapi seni menunaikan tanggung jawab moral.”

Penutup

Mohammad Natsir bukan sekadar tokoh sejarah. Ia adalah cermin moral dan intelektual yang patut dijadikan teladan oleh siapa pun yang ingin membangun Indonesia dengan hati nurani.

Dalam dunia yang semakin gaduh dengan pragmatisme politik, sosok seperti Natsir menjadi oase yang menyegarkan. Seorang intelektual, pendakwah, dan negarawan yang kata dan perbuatannya menyatu.

Chairul Islam
Kader Partai Masyumi
Partai Islam