Korupsi Ala Prabowo(2)

December 30, 2024

KORUPSI ALA PRABOWO (2)
Abdullah Hehamahua

Keluarga Besar Korupsi yang pertama adalah tindakan yang mengakibatkan kerugian keuangan negara/perekonomian negara. Kerugian keuangan negara adalah jumlah uang yang dikorupsi sebagaimana tercantum dalam APBN/APBD.
Kerugian perekonomian negara adalah dampak negative yang terjadi akibat suatu kebijakan atau perbuatan korupsi. Dampak negatif tersebut bisa berupa banjir, kebakaran hutan, tanah longsor, bangunan dan jembatan yang runtuh, atau rusaknya infrastruktur yang dibiayai oleh APBN/APBD.

Pengalaman menunjukkan, banyak koruptor yang mengatakan, mereka tidak mengambil atau menerima uang korupsi tersebut. Keluarga koruptor juga mengatakan hal yang sama.
Presiden partai, LH misalnya, sewaktu ditangkap KPK, menimbulkan pelbagai reaksi. Banyak anggota partai bersangkutan mempermasalahkan, bagaimana mungkin KPK menetapkan LH sebagai tersangka bahkan menahannya, padahal beliau tidak terima uang apa pun.

Protes demikian, dapat dimaklumi. Sebab, mereka tidak membaca undang-undang yang mengatur hal tersebut. Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor menyebutkan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Mengenal Korupsi Jenis Pertama
Empat hal yang perlu diketahui dari pasal 2 ayat (1) di atas, yakni: PERTAMA, “setiap orang,” bermakna siapa saja, baik warga negara maupun bukan. Laki-laki maupun perempuan. Pejabat (Presiden sampai Kades), ASN, Penyelenggara Negara (PN), pengusaha, maupun rakyat jelata.
Namun, pasal 11 UU No.30/2002 menetapkan, kasus yang dapat ditangani KPK adalah korupsi yang dilakukan PN, Aparat Penegak Hukum (APH), dan para pihak yang terkait dengan PN dan/atau APH.

Penyelenggara Negara (PN) menurut UU No. 28/99 adalah: Presiden/wakil pesiden, Menteri, Dubes, pejabat eselon, sampai wakil Bupati/Walikota. Pimpinan Lembaga Negara seperti, BPK, BPKP, MK, Ombudman, KPU, Bawaslu, KJ, KPPU, PPATK, Komnas HAM dan sejenisnya, terkategori sebagai PN sehingga dapat ditangani KPK. Lembaga anti rasuah, KPK juga berwenang menangani kasus korupsi yang melibatkan pimpinan perguruan tinggi negeri, yakni: Rektor, wakil rektor, Dekan, wakil dekan, dan Kaprodi. Lembaga legislative, mulai dari DPR-RI, DPRD Tingkat I dan II serta DPD, berdasarkan UU No. 28/1999 juga terkategori sebagai PN. Maknanya, KPK berwenang menangani kasus korupsi yang dilakukan anggota legislatif. Pimpinan BUMN/BUMD, sekalipun bukan ASN, tapi karena ada saham negara di dalamnya maka mereka juga terkategori sebagai PN sehingga dapat diproses KPK jika terlibat kasus korupsi.

KPK, selain PN, juga berwenang menangani kasus korupsi yang dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH). Mereka meliputi anggota kepolisian, kejaksaan, hakim, panitera, advokad, serta pimpinan dan pejabat KPK sendiri. Camat, Kades, Lurah, ASN nonstruktural dan pengusaha yang korupsi, ditangani Kepolisian dan Kejaksaan. Namun, jika mereka terlibat kasus korupsi yang dilakukan seorang PN atau APH, maka mereka dapat diproses KPK.

KEDUA “melawan hukum.” Maknanya, suatu kebijakan atau tindakan yang dilakukan objek hukum di atas, jika bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang ada, makai a terkategori sebagai tindak pidana. Peraturan Perundang-undangan tersebut, mulai dari UUD45, UU, Peppres, Keppres, serta Keputusan Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota.
Jadi, presiden sampai bupati/walikota dan PN lainnya, hati-hati dalam menerbitkan kebijakan atau bertindak yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang ada. Jokowi dalam hal ini, terkenal sebagai presiden yang paling gemar bertindak dan menerbitkan kebijakan yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang ada. UU Minerba misalnya, jelas bertentangan dengan pasal 33 UUD45. Hal yang sama terjadi dengan UU Cipta Kerja. Tragisnya, UU ini membebaskan pengenaan pajak terhadap ekspor batubara. Dampak negatifnya, negara dirugikan Rp. 150 trilun setiap tahun.

Jokowi, dalam kontek di atas, dapat dipenjara lebih seratus tahun, jika diterapkan sistem hukum di AS. Sebab, di negara Paman Sam tersebut, jika seseorang melakukan lima tindak pidana di mana masing-masing perbuatan tersebut diancam dengan hukuman 20 tahun, maka terdakwah dapat dipenjara selama 100 tahun.
Indonesia berbeda sistem hukumnya. APH dapat mengenakan hukuman maksimal dari hanya satu kasus. Maknanya, untuk kasus Jokowi, dapat diterapkan pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, yakni hukuman mati. Namun, APH juga dapat mengtersangkakan Jokowi secara berseri seperti yang diterapkan KPK terhadap Nazaruddin atas beberapa kasus yang berbeda. Maksudnya, Nazaruddin ketika sedang menjalani hukuman penjara dengan tuduhan penyuapan dalam kasus wisma atket, KPK menerbitkan Sprindik baru berkenaan dengan kasus “money laundry.’ Jadi, Nazaruddin menjalani dua jenis hukuman penjara tersebut.
Konsekwensi logisnya, jika Prabowo serius mau berantas korupsi, ganti Kapolri dan Jaksa Agung kemudian mendukung KPK guna memroses kasus korupsi yang dilakukan Jokowi dan keluarganya.

KETIGA, “melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.” Kalimat ini dengan jelas menyebutkan bahwa, anda tidak terima uang korupsi tersebut, tapi ia diperoleh orang lain atau korporasi. Olehnya, ada yang “nekad” berpikir, daripada dipenjara tanpa menikmati uangnya, lebih baik ambil uangnya sehingga dianggap “impas” jika masuk terungku sekian tahun. Bahkan, sewaktu di penjara, koruptor berubah menjadi orang saleh/salehah dan berperan sebagai sinterklas. Hasilnya, setiap tahun, koruptor mendapat beberapa kali remisi sehingga hanya dalam waktu singkat (setahun atau dua tahun) bisa bebas bersyarat.
Para koruptor, silahkan lakukan trik tersebut. Namun, jangan lupa, berdasarkan sila pertama Pancasila dan pasal 29 UUD45, anda dipenjara di neraka paling bawah ketika meninggal dunia nanti.

KEEMPAT, “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.” Perkataan “dapat” dalam kalimat ini bermakna “potensi.” Artinya, kebijakan atau tindakan seorang PN tidak merugikan keuangan negara secara kuantitatif seperti tertuang dalam APBN/APBD, tapi merugikan perekonomian negara, seperti: banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, atau runtuhnya jembatan dan bangunan perkantoran pemerintah.

Katakan Tidak terhadap Korupsi
PN, APH, pejabat eselon, dan setiap warga negara Indonesia yang cinta diri sendiri, keluarga, organisasi, partai, bangsa, dan negara, mari “katakan tidak terhadap korupsi.” Sebab, semua agama langit (Yahudi, Nasrani, dan Islam) yang ditransfer ke dalam pasal 29 ayat (2) UUD 45 menetapkan, makan “secuil” atau seekor babi, hukumnya sama, haram. Meminum “secuil” atau sebotol bir, hukumnya sama, haram.
Konsekwensi logisnya, korupsi puluhan rupiah dan triliunan, hukumnya sama, haram. Anda di dunia, masuk penjara. Jika pedang hukum APH tajam ke bawah, tumpul ke atas seperti yang dilakukan rezim Jokowi sehingga bebas dari penjara, tapi percayalah, di akhirat, anda masuk neraka. Semoga tidak demikian .!!! (Depok, 29 Desember 2024).

Korupsi Ala Prabowo (5)

KORUPSI ALA PRABOWO (5) Abdullah Hehamahua Divisi Propam Polri mengamankan 18 anggota polisi. Mereka diduga