KORUPSI ALA PRABOWO (3)
Abdullah Hehamahua
Judul artikel ini “Korupsi ala Prabowo,” bermakna, korupsi dalam pemahaman Prabowo. Pemahaman Prabowo tentang korupsi, bukan menurut UU No. 31/99 jo UU No. 20/21. Perhatikan ucapan beliau berikut: “Ada yang mengatakan Prabowo mau memaafkan koruptor. Bukan begitu. Kalau koruptornya sudah tobat, bagaimana tokoh-tokoh Agama? Iya kan? Orang bertobat, bertobat tapi kembalikan dong yang kau curi.” Ini ucapan Prabowo dalam acara Natalan, 28 Desember 2024 di GBK, Senayan, Jakarta Pusat.
Prabowo dalam kesempatan itu juga menyatakan: “Saya sudah berkali-kali ingatkan kita akan menghadapi tantangan. Si koruptor-koruptor itu, si maling-maling itu tidak rela melihat ada pemerintah Indonesia yang ingin membenahi diri, ingin membersihkan diri,” Ini pernyataan yang luar biasa.
Namun, Prabowo menyatakan sikapnya tentang pemberantasan korupsi tersebut, tidak berdasarkan undang-undang. Mungkin beliau berdasarkan masukan dari para pembantunya. Sebab, pidatonya dalam perayaan Natal tersebut, seakan-akan meralat pernyataan sebelumnya. Ini karena, pernyataannya di depan mahasiswa Indonesia di Kairo, 18 Desember yang lalu, Prabowo mengatakan: “Saya dalam rangka memberi kesempatan, memberi kesempatan untuk tobat. Hei para koruptor atau yang pernah merasa mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin kita maafkan.” Padahal, Prabowo pernah mengatakan, “Walaupun mereka (koruptor) lari ke Antartika, saya akan mengirim pasukan khusus untuk mencarinya di sana.”
Pernyataan Prabowo dalam upacara Natal yang juga dihadari Menteri Agama tersebut, mengandung dua nilai yang kontradiktif. PERTAMA, istilah “tobat.” Perkataan ini hanya ada dalam kamus “agama.” Tidak ada dalam ideologi sekuler, baik kapitalisme, maupun komunisme. Kita cukup maklum. Sebab, mayoritas keluarga Prabowo, Nasrani. Ibu, dua kakak, dan seorang adik kandungnya, penganut Nasrani yang fanatik.
Ibunya, Dora Marie Sigar, penganut Katolik, asal Minahasa, daerah yang terkenal fanatik keagamaan mereka. Anak pertama, Biantiningsih Miderawati Djiwandono, beragama Katolik. Anak kedua, Marjani Ekowatile Maistre, juga beragama Katolik. Satu-satunya adik Prabowo, yakni Hashim Djojohadikusumo, beragama protestan.
Hashim Djojohadikusumo yang Wakil Ketua Pembina Gerindera tersebut pernah dinobatkan sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia ke-35, tahun 2018. Majalah Forbes meyebutkan, kekayaannya waktu itu mencapai USD850 juta, setara Rp11,9 triliun.
KEDUA, pernyataan Prabowo, “kembalikan dong yang kau curi.” Prabowo, baik sewaktu di Kairo, Mesir, maupun dalam perayaan Natal tersebut, tanpa tambahan kalimat, “ikutilah proses hukum.” Padahal, seperti sudah disinggung dalam artikel seri 1, “mengembalikan kerugian keuangan negara, tidak menggugurkan pidana.”
Pertanyaannya, apakah masukan dari para Pembantu Prabowo, tidak menyebutkan bunyi pasal 4 UU Tipikor tersebut. ? Ataukah, para pembantu Prabowo tersebut terlibat juga dugaan korupsi sehingga mereka “risih” untuk mengingatkan atasannya berkaitan isi pasal 4 tersebut. Apalagi, beberapa anggota kabinet Prabowo, diketahui umum, pernah berhubungan dengan Aparat Penegak Hukum (APH), baik KPK maupun Kejagung. Wajar jika ada komentar masyarakat, “bersihkan dulu internal kabinetnya, baru bicara korupsi yang dilakukan orang lain.”
Korupsi berbentuk Suap-Menyuap
Artikel seri kedua yang lalu, mengenalkan Keluarga Besar Korupsi Pertama, “merugikan keuangan/pereknomian negara.” Seri ketiga ini mengkomunikasikan jenis korupsi kedua, yakni:SUAP – MENYUAP. Korupsi jenis ini diatur dalam lima pasal, yakni: Pasal 5, 6, 11, 12 huruf a, b, c, dan d serta pasal 13 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001.
Pasal 5 misalnya, mengatakan: (1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang :
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Kasus Suap yang Ditangani KPK
KPK sejak 2004 sampai 2024 menangani 500 kasus yang berkaitan dengan penyuapan. Beberapa di antaranya: (i) Ketua MK, Akil Mochtar menerima suap dalam kasus Pilkada sebesar Rp. 20 milyar dan 500.000 dollar AS. Akil dijatuhi hukuman penjara seumur hidup; (ii) Suap pengurusan perkara kasasi PT Multicon Indrajaya Terminal yang menjerat Nurhadi, sekretaris jenderal MA, yang menerima suap sebesar Rp 35,726 miliar. Nurhadi dijatuhi hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp. 500 juta; (iii) Suap pengurusan izin budi daya lobster dan ekspor benih benur lobster. Kasus ini menjerat Edhy Prabowo, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (2020), anak buah Prabowo sendiri. Beliau menerima suap sebesar Rp. 25,7 miliar. Edhy, selain dipenjara 5 tahun, juga wajib membayar uang pengganti sebesar Rp 9,68 miliar dan 77.000 dollar AS. Bahkan, hak politiknya dicabut selama tiga tahun setelah selesai menjalani hukuman penjara; (iv) Kasus suap Hakim Agung, Sudrajad Dimyati terlibat suap perkara kasasi pailit Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana di MA. Sudrajad menerima suap sebesar 80 ribu dollar Singapura dan dijatuhi hukuman 7 tahun penjara. (v) Kejaksaan Agung menyita uang tunai senilai hampir Rp1 triliun milik mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar yang terlibat suap dalam kasasi terdakwa Ronald Tannur.
Prabowo Perlu Kembali ke Pangkal Jalan
Prabowo, bisa berhasil memberantas korupsi. Pada waktu yang sama, pundi-pundi APBN bisa bertambah melalui ganti rugi dan denda yang dikenakan ke atas para koruptor. Syarat utamanya, Prabowo perlu ke pangkal jalan, yakni merujuk ke undang-undang Tipikor. Konsekwensi logisnya, yang pertama dilakukan Prabowo adalah memoroses anggota kabinetnya yang diduga korupsi melalui proses hukum yang adil dan transparan.
Kedua, Prabowo perlu mendorong DPR agar segera mengesahkan UU Perampasan asset sehingga bisa menambal kekurangan APBN. Dampak positifnya, masyarakat tidak perlu dibebankan dengan pelbagai pungutan dan pajak. Semoga !!! (bersambung) (Depok, 1 Januari 2025).