Ketika Sistem Tak Lagi Mendengar

October 18, 2025

KETIKA SISTEM TAK LAGI MENDENGAR

Oleh: Radhar Tribaskoro

Ada semacam kesunyian yang teratur di republik ini. Isu tentang ijazah palsu Jokowi, ijazah Gibran, politik dinasti, megakorupsi atau wacana tiga periode presiden bergema setiap kali muncul di ruang publik, mengguncang percakapan nasional, menggetarkan dinding media sosial—namun, hanya sebentar. Di dalam gedung parlemen, di ruang rapat kabinet, tak terdengar gema. Tidak ada penyelidikan, tidak ada tanggapan resmi, hanya diam yang metodis. Seolah-olah sistem politik kita telah dirancang untuk tidak mendengar.

Kita mungkin bertanya: apakah para politisi itu benar-benar tuli terhadap suara rakyat? Atau, lebih subtil, apakah sistem politik memang tidak lagi mengenali suara rakyat sebagai sesuatu yang berarti bagi kelangsungan hidupnya?

Niklas Luhmann, seorang sosiolog Jerman yang menulis dengan jarak dingin terhadap realitas sosial, menyebut fenomena ini dengan istilah diferensiasi fungsional. Masyarakat modern, katanya, terdiri dari banyak sistem otonom: politik, hukum, ekonomi, ilmu pengetahuan, media, dan moralitas. Masing-masing bekerja dengan logikanya sendiri—dan karena itu, tidak saling memahami secara penuh.

Politik, misalnya, beroperasi dengan kode penguasa/oposisi—siapa yang berkuasa, siapa yang tidak. Ia tidak peduli pada kebenaran (true/false) seperti sains, atau kebaikan (good/bad) seperti moral. Ia hanya peduli pada apa yang mempertahankan struktur kekuasaannya. Dalam logika seperti ini, tuntutan moral dari masyarakat sipil—kejujuran, etika, integritas—bukanlah “data politik”, melainkan noise: bunyi bising yang tidak dapat diolah menjadi keputusan.

Maka ketika publik menuntut penjelasan tentang ijazah presiden, sistem politik tidak menanggapinya sebagai soal moral, melainkan sebagai risiko yang harus dikelola. Risiko kehilangan legitimasi, risiko pecahnya koalisi, risiko menurunnya elektabilitas. Dan setiap risiko itu memiliki rumusnya sendiri: delay, denial, diversion. Menunda, menolak, dan mengalihkan.

Namun, sistem politik sebenarnya tidak buta. Ia tahu publik kecewa, bahkan marah. Politikus membaca sentimen itu lewat survei, algoritma, dan laporan konsultan komunikasi. Mereka tahu persis kapan grafik kemarahan naik, dan kapan ia akan turun.

Mereka tahu pula, dalam politik Indonesia, kemarahan jarang berumur panjang: hari ini rakyat marah karena ijazah, besok lupa karena konser Coldplay atau subsidi beras.

Karena itu, sistem tidak perlu mendengar semua suara. Ia hanya perlu mendengar yang berpengaruh terhadap hasil elektoral. Dalam teori Luhmann, ini disebut autopoiesis: sistem mereproduksi dirinya sendiri dengan komunikasi yang relevan bagi dirinya sendiri. Ia mendengar hanya apa yang dapat diolah menjadi keputusan politik, dan mengabaikan sisanya.

Kita bisa melihat ini dengan jelas pada strategi partai-partai di Indonesia. Mereka tidak sepenuhnya acuh terhadap isu-isu moral, tetapi mereka mengelolanya dalam bingkai elektoral. Bila isu itu mengancam pemilih inti, partai akan berbicara. Bila tidak, mereka memilih diam. Keheningan, dalam politik modern, sering kali adalah bentuk komunikasi yang paling efisien.

Tetapi mengapa sistem politik begitu yakin bahwa kekecewaan rakyat tidak akan berpengaruh pada elektoral?

Jawabannya sederhana: karena rakyat telah terfragmentasi. Media sosial menciptakan ilusi keterhubungan, tetapi sesungguhnya mempercepat disintegrasi opini publik. Tidak ada lagi satu narasi moral kolektif yang mampu mengguncang legitimasi politik. Semua menjadi mikro-narasi: kemarahan per kelompok, per algoritma, per ruang gema.

Politisi tahu bahwa sistem ini bekerja untuk mereka. Di bawah rezim komunikasi digital, yang bertahan bukan kebenaran, mainkan narrative control. Maka, partai dan pemerintah berlomba menguasai narasi, bukan menjawab realitas. Isu moral pun kehilangan taringnya, karena direduksi menjadi “isu persepsi”.

Dalam keadaan demikian, publik bisa marah, tapi sistem tetap tenang. Dan dalam ketenangan itulah, demokrasi perlahan kehilangan refleksinya—kemampuannya untuk melihat dirinya dari luar. Sistem berhenti belajar, berhenti mengoreksi, berhenti merasa bersalah. Ia hidup seperti mesin autopilot, yang tahu kapan harus menekan rem, tapi tak tahu lagi ke mana ia hendak pergi.

Namun, sejarah memperlihatkan bahwa sistem yang terlalu lama menutup diri akan menemukan batasnya. Di titik tertentu, kopling struktural—sambungan longgar antara sistem politik dan masyarakat—bisa berubah menjadi tegangan yang tak bisa diabaikan.

Nepal memberi contoh baru. Pada tahun 2025, generasi muda Nepal mengguncang pemerintah dengan protes digital yang meluas. Berawal dari isu korupsi dan ketidakadilan ekonomi, gerakan itu meledak di media sosial dan menjelma menjadi digital parliament—sebuah forum daring tempat ribuan warga ikut membuat keputusan simbolik. Pemerintah tak mampu menampung energi baru itu dalam saluran lama, dan akhirnya runtuh. Sistem politik Nepal terpaksa mendengar, bukan karena ia tiba-tiba menjadi demokratis, tetapi karena komunikasi publik telah menciptakan struktur alternatif di luar dirinya.

Hal serupa pernah terjadi di Chile pada 2019. Protes kecil tentang tarif transportasi meledak menjadi gerakan konstitusional yang menumbangkan rezim lama. Di Islandia, krisis keuangan 2008 mendorong rakyat menulis ulang konstitusi melalui crowdsourcing online. Di Prancis, Gilets Jaunes—gerakan “rompi kuning”—memaksa Macron menunda kebijakan pajaknya.

Semua peristiwa itu menunjukkan satu pola: sistem hanya mendengar kembali ketika komunikasi publik berubah menjadi risiko sistemik. Ketika moral dan emosi rakyat menemukan salurannya, membentuk organisasi, jaringan, dan alternatif legitimasi, sistem politik tak bisa lagi menyebut mereka sekadar “noise”.

Indonesia belum sampai ke sana. Masyarakat sipil memang marah, tapi belum cukup terhubung. Partai-partai masih sibuk memelihara koalisi gemuk yang menutup semua pintu oposisi, sementara media arus utama hidup dari iklan pemerintah. KPK melemah, universitas diam, dan aktivisme sipil sering dicap radikal.

Dalam kondisi seperti ini, sistem politik Indonesia hidup di bawah stabilitas semu: ia terlihat kuat karena tak ada konflik besar, padahal ia sebenarnya rapuh karena kehilangan mekanisme koreksi. Luhmann menyebutnya loss of reflexivity. Ketika koreksi sosial kolaps, sistem hanya bisa mempertahankan diri dengan cara mengabaikan gangguan.

Kita hidup di masa ketika kebenaran tidak perlu dibantah—cukup diabaikan.

Apakah berarti rakyat tak punya jalan untuk didengar lagi? Tidak juga.

Sistem politik, sekeras-kerasnya ia tertutup, tetap bagian dari lingkungan sosial yang lebih luas. Ia hidup dari kopling struktural dengan media, ekonomi, dan moral publik. Bila tekanan dari lingkungan itu cukup kuat dan konsisten, sistem akan membuka diri lagi—bukan karena sadar, tetapi karena ingin bertahan.

Ada dua kondisi utama yang bisa memaksa sistem untuk mendengar kembali.
Pertama, krisis legitimasi. Ketika publik berhenti mempercayai narasi resmi negara, sistem kehilangan basis keabsahannya. Ini bisa muncul dari skandal besar, kegagalan ekonomi, atau represi yang berlebihan. Kedua, gangguan komunikasi, yaitu ketika saluran informasi alternatif—media independen, jaringan sipil, teknologi digital—mampu menciptakan “ruang publik tandingan” yang tak bisa dikontrol oleh negara.

Keduanya kini sedang tumbuh, perlahan tapi pasti. Media sosial, meski sering dangkal, telah memaksa negara untuk hidup di bawah pantauan publik 24 jam. Masyarakat sipil, meski terpecah, mulai belajar membangun narasi lintas kelompok. Dan bila suatu hari, suara moral itu bersatu dalam bentuk baru—lebih canggih, lebih terhubung—sistem politik tak akan punya pilihan lain selain mendengar.

Tetapi mendengar saja tidak cukup.

Sistem bisa membuka telinga, tetapi tetap menutup hati. Ia bisa mengakomodasi tuntutan rakyat secara teknis tanpa mengubah logika kekuasaannya. Inilah yang disebut Luhmann sebagai absorptive adaptation—penyesuaian kosmetik yang menjaga stabilitas tanpa perubahan substansial. Banyak negara telah melakukannya: Cina dengan “konsultasi publik digital”-nya, Singapura dengan “partisipasi terkendali”-nya.

Karena itu, tugas warga negara bukan hanya memaksa sistem mendengar, tetapi juga memastikan bahwa suara itu tidak dibelokkan menjadi legitimasi semu.

Demokrasi sejati bukan sekadar didengar, melainkan diakui.

Mungkin pada akhirnya, itulah paradoks terbesar zaman ini: kita hidup di dunia yang paling terhubung dalam sejarah manusia, tetapi juga yang paling sulit didengar. Kita bisa berbicara kapan saja, dari mana saja, tapi sistem politik hanya mendengar bila ia merasa terancam.

Kita boleh menyebut ini sebagai bentuk baru otoritarianisme: bukan karena represi, tetapi karena filtrasi makna. Negara tidak lagi melarang orang berbicara, ia hanya memastikan bahwa pembicaraan itu tidak berpengaruh.

Namun sejarah belum selesai. Selalu ada momen ketika moralitas publik menemukan jalannya sendiri. Ia bisa muncul dari mahasiswa yang menolak diam, dari pers yang menolak disuap, dari warga yang menulis, meneliti, dan bersaksi.

Ia bisa muncul dari hal yang tampak kecil—tulisan di blog, laporan jurnalis, video pendek di TikTok—yang memicu resonansi tak terduga di benak publik.

Dan mungkin, di situlah, keajaiban demokrasi bekerja: bukan melalui lembaga, tetapi melalui getaran kecil yang tak bisa disenyapkan.

Untuk sementara, sistem politik Indonesia mungkin masih hidup dalam keheningan yang teratur. Tapi keheningan, seperti yang kita tahu, bukan tanda kedamaian. Ia adalah tekanan yang menunggu letupan.

Dan setiap kali rakyat berbicara—tentang ijazah, kejujuran, atau kekuasaan yang berlebihan—kita sesungguhnya sedang menambah frekuensi pada resonansi itu.er
Sampai akhirnya, sistem yang terlalu lama tidak mendengar akan terpaksa mendengar, atau hancur oleh kebisuannya sendiri.===

Halim, 27 Oktober 2025

Penulis adalah anggota Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) dan Ketua Komite Kajian Ilmiah Forum Tanah Air ( FTA).

ilustrasi
TNI Pejuang Demokrasi

TNI PEJUANG DEMOKRASI Oleh: Radhar Tribaskoro Di tengah redupnya cahaya demokrasi Indonesia, ada satu lembaga