Kepemimpinan Dalam Politik Islam

March 20, 2025

KEPEMIMPINAN DALAM POLITIK ISLAM

 

Dr. Ahmad Yani, SH.,MH
Ketua Umum Partai Masyumi

20 Ramadhan 1446 H/20 Maret 2025 M

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shaleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi…” (QS An-Nur : 55)

Dasar Kekuasaan Politik Islam

Al-Quran telah menegaskan, bahwa seorang pemimpin dalam Islam harus memegang janji untuk menjalankan kekuasaan berdasarkan kepentingan umum, artinya kepemimpinan merupakan amanah yang akan dipertanggungjawabkan kepada rakyat yang dipimpin dan juga kepada Allah.
Katakanlah :wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan (kekuasaan) kepada siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan (kekuasaan) dari orang yang orang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkau-lah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi; dan Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu
Dari ayat tersebut telah jelas dinyatakan, bahwa sumber segala kekuasaan adalah Allah SWT, karena itu tidak ada seorang pun yang mempunyai kekuasaan mutlak, kekuasaan absolut, melainkan kekuasaan itu hanya bersifat sementara, karena yang berkuasa secara mutlak, absolut terhadap segala yang ada adalah Allah SWT, Tuhan semesta alam, sementara manusia hanya menjalankan sebagian kecil dari kekuasaan yang Allah berikan sebagai pemimpin bagi orang-orang yang ada dalam golongan atau negara yang dipimpinnya. Dalam pandangan Jean Bodein, bahwa kekuasaan sebagai sesuatu “kekuatan tertinggi yang abadi, tidak diwakilkan atau didelegasikan, tanpa batasan atau kondisi, tidak dapat dicabut dan tidak terlukiskan. Karena kekuasaan adalah sumber hukum, maka hukum tentu tidak bisa membatasinya”.
Pandangan demikian sejalan dengan pandangan kaum positivistik yang melihat kekuasaan setelah munculnya modern nation-state, bahwa eksistensi kekuasaan alamiah yang berperan sebagai sumber kekuasaan mutlak; kekuasaan itu menghendaki kepatuhan mutlak dengan dukungan mesin negara yang berupa kekuasaan tak terbatas dan semua perintahnya adalah hukum yang harus dipatuhi. Konsep kekuasaan yang serba “mutlak”, “tidak terbatas”, dan “kebulatan” adalah konsep yang tidak saja menyalahi kodrat kemanusiaan tetapi juga menyesatkan. Kekuasaan hanya akan dapat bertahan selama pemegang kekuasaan hidup, setelah pemegang mandat kekuasaan tiada, maka kekuasaan tersebut tidak akan ikut hilang tetapi dilanjutkan oleh penguasa yang lain
Karena itu dalam kaidah hukum Islam yang akan menjadi patokan seseorang layak menjadi pemimpin setidaknya memiliki; pertama, memiliki kemampuan intelektual dan spiritual yang unggul; kedua, memiliki akhlak atau moralitas yang tinggi; ketiga, mampu menjadi pelayan umat secara adil; keempat, amanah, jujur dan siddiq. Karena pemimpin bagi umat Islam merupakan pelayan yang harus mendahulukan umatnya daripada dirinya sendiri. Betapa Nabi Muhammad s.a.w. sebagai suri tauladan (umat Islam) telah memberikan contoh untuk menjadi pemimpin yang baik, disegani oleh kaumnya dan juga musuhnya. Dalam hal memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri Nabi lebih mendahulukan rakyat-Nya, walaupun dirinya dalam keadaan kelaparan.
Jika pemimpin politik Islam sudah dapat melakukan praktek politik seperti yang telah dicontohkan oleh Nabi, atau setidaknya mendekati praktek politik Nabi, atau juga seperti Khulafaur Rasyidin dan pemimpin Islam yang hidup setelah mereka, maka sebuah komunitas yang bersendikan moral, berkeadaban, kejujuran dan keadilan akan terbangun dan tetap akan dapat bertahan dari gelombang badai krisis apapun. Pemimpin dan rakyatnya tunduk dan taat kepada ajaran Islam, segala sesuatu perselisihan dikembalikan kepada rujukan utamanya Al-Quran dan Sunnah Nabi dan bukan kepada yang selain Islam atau pihak Asing (Barat) yang kapitalistik dengan peradaban mereka yang justru tidak mencerminkan moral agama (Islam). Kepemimpinan Islam akan tetap berkomitmen kepada Allah dengan keimanan dan ketaqwaan dan tidak takut terhadap pihak lain kecuali hanya takut kepada Allah, sehingga kepemimpinan Islam mencerminkan kebersamaan sebagai ciri khas yang berbeda dengan kepemimpinan politik Barat. Allah dalam Al-Quran menegaskan tentang kepemimpinan (khalifah) Islam :
“Allah telah berjanji kepada orang-orang beriman yang beramal saleh diantara kamu, akan mengankat mereka menjadi khalifah penguasa nama, seperti halnya telah diangkat orang-orang sebelum mereka, kedudukan agama mereka yang mendapat kerelaan Allah akan dikukuh kuatkan; dan akan mengganti kehidupan takut dengan kehidupan aman damai, mereka itu menyembah aku dan tidak mempersekutukan aku dengan sesuatu. Dan siapa yang membangkang setelah itu, mereka itu adalah orang durjana”.
Ayat tersebut mengisyaratkan, bahwa Allah telah memberikan mandat kepada umat Islam dimanapun dan di zaman manapun untuk memilih, mengangkat atau ber-baiat kepada seseorang untuk menjadi pemimpin atau khalifah diatas muka bumi ini. Khalifah yang akan dipilih adalah mereka memenuhi kriteria berikut : 1). Mereka harus beriman kepada Allah; 2) mereka harus mengerjakan amal saleh dalam arti seluas-luasnya; 3) mereka haruslah menyembah hanya Allah; 4) mereka tidak boleh sama sekali menyekutukan Allah dengan siapa dan dengan barang apapun. Kriteria tersebut berlaku kepada seluruh umat Islam dan tidak hanya golongan tertentu melainkan siapa saja dari umat Islam yang memiliki kemampun dan bisa berlaku adil dan jujur untuk memimpin umat, umat Islam.

Persyaratan Pemimpin Dalam Islam

Seperti uraian diatas tentang kriteria yang mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin Islam, maka berikut ini akan dijelaskan tentang tatacara pemilihan pemimpin atau khilafah Islamiyah. Ada beberapa ketentuan umum yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin Islam dan bentuk penyeleksiannya, Al-Mawardi menyebut dua bentuk seleksi yakin; pertama, Ahl-al-Ikhtiar atau mereka yang berwenang untuk memilih imam bagi umat, mereka harus memenuhi tiga syarat; 1) memiliki sikap adil; 2) memiliki ilmu pengetahuan yang memungkinkan mereka mengetahui siapa yang memenuhi syarat diangkat sebagai imam; 3) memiliki wawasan yang luas dan kearifan yang memungkinkan mereka memilih siapa yang paling tepat untuk menjadi imam, dan paling mampu dan pandai dalam membuat kebijakan yang dapat mewujudkan kemaslahatan umat serta mampu mengelola kepentingan umat di antara mereka yang memenuhi syarat untuk jabatan itu. Kedua, Ahl al-Imamah, atau mereka yang berhak mengisi jabatan imam. Mereka harus memenuhi tujuh syarat; 1) sikap adil dengan segala persyaratannya; 2) ilmu pengetahuan yang memadai untuk berijtihad; 3) pancainderanya lengkap dan sehat pendengaran, penglihatan dan lisannya; 4) utuh anggota-anggota tubuhnya; 5) memiliki visi yang baik sehingga dapat membuat kebijakan bagi kepentingan rakyat dan meuwujdkan kemaslahatan mereka; 6) keberanian yang memadai untuk melindungi rakyat dan mengenyahkan musuh; dan 7) keturunan Quraisy.
Persyaratan yang menekankan pada komitmen ke-Tauhid-an seorang pemimpin dan harus selalu tunduk dan taat kepada perintah Allah seperti konsep Al-Mawardi dan Ibn Taimiyah dengan memberikan persyaratan rasional sehingga memungkinkan seseorang dapat dipilih menjadi pemimpin (khalifah) bagi umat atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang rasional. Penekanan pada kesehatan lahir bathin merupakan persyaratan yang mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin Islam selain dapat berlaku adil, berpengetahuan luas, berani dan cepat mengambil keputusan dalam kondisi tertentu yang mengharuskan untuk itu. Artinya pemimpin Islam itu bukan orang yang ragu, bimbang tetapi ia mempunyai komitmen untuk melakukan tindakan demi menyelamat-kan umat. Sedangkan Al-Maududi memberikan ketentuan bagi seorang pemimpin yang harus dipilih; pertama, harus seorang muslim — Al-Quran memerintahkan “Hai orang-orang yang beriman! Taatila Allah dan Rasul-Nya, dan taatilah orang-orang yang memperoleh kekuasaan dari kalanganmu (QS 4: 59); kedua, harus seorang laki-laki — Al-Quran menyatakan “Laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita (QS 4: 34); ketiga, harus berada dalam waras dan dewasa, Al-Quran mengatakan “Dan janganlah kamu percayakan hartamu yang telah dikaruniakan Allah sebagai alat dukunganmu kepada orang-orang yang lemah akal (QS 4 : 5); keempat, harus merupakan warga negara Islam, Al-Quran mengatakan “Dan mereka telah masuk Islam tetapi tidak berhijrah (ke negara Islam), tidak berhak memperoleh perlindunganmu sampai mereka berhijrah (QS 8 :72).
Al-Mawardi menyebut dua mekanisme pengangkatan seorang imam atau pemimpin Islam yaitu; pertama, dengan cara pemilihan oleh Ahl al- al-aqdi wa al-Halili, “mereka yang mempunyai wewenang untuk mengikat dan mengurai”, atau yang disebut “Ahl al-ikhtiar”; kedua, penunjukkan atau wasiat oleh imam sebelumnya. Cara kedua ini terjadi ketika pengalihan kekuasaan dari Abubakar Asy-Shidiq kepada Umar Bin Khattab, sementara yang pertama barangkali yang berlaku dalam banyak negara modern, seperti Indonesia yang mengangkat presidennya melalui mekanisme pemilihan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Para ilmuwan Islam atau kalangan Ulama berbeda pendapat mengenai cara pemilihan imam melalui pemilihan oleh umat (rakyat), para ulama terkelompok kedalam empat pendirian masing-masing seperti yang di uraikan oleh Munawir Sjadzali ke dalam empat kelompok ulama; pertama, kelompok ulama yang berpendirian bahwa pemilihan hanya sah kalau dilakukan oleh “Ahl al-“aqdi wa al-Halili” dari seluruh pelosok negeri, hingga persetujuan itu dari seluruh rakyat. Kedua, kelompok ulama berpendirian bahwa pemilihan hanya sah kalau paling kurang dilakukan oleh lima orang, dan seorang diantara mereka diangkat sebagai imam dengan persetujuan empat orang lain. Dasar pendirian kelompok ini ialah dahulu Abu Bakar diangkat sebagai khalifah pertama melalui pemilihan lima orang, dan bahwa Umar telah membentuk “dewan formatur” yang terdiri dari enam orang untuk memilih orang diantara mereka sebagai khalifah penggantinya dengan persetujuan lima orang anggota yang lain dari “dewan” itu.
Ketiga, kelompok ulama berpendirian, bahwa pemilihan itu sah kalau dilakukan oleh tiga orang, apabila seorang diantara mereka diangkat sebagai imam dengan persetujuan dua orang yang lain. Keempat, kelompok ulama berpendirian, bahwa pemilihan imam sah dilakukan oleh seorang. Menurut kelompok ini, dahulu Ali Bin Abi Thalib diangkat hanya seorang, Abbas, Paman Ali. Abbas berkata kepada Ali, “Ulurkan tanganmu! Aku hendak berbaiat kepadamu”. Menyaksikan apa yang diperbuat oleh Abbas itu, semua yang hadir serentak berkata: Paman Nabi telah berbaiat kepada saudara sepupunya (Nabi), dan semua mengikuti jejak Abbas.
Dari empat pendapat para ulama atau pemikir Islam diatas yang masing-masing mempunyai alasan historis berdasarkan kepentingan dan kondisi obyektif masyarakat yang dihadapinya. Namun pandangan yang pertama dapat menjadi acuan yang paling baik bagi lahirnya seorang pemimpin (imam) secara demokratis, karena dilahirkan dari pemilihan yang melibatkan seluruh rakyat yang mempunyai hak memilih. Pandangan yang pertama juga mendapat legitimasi rasional, sekaligus sesuai dengan perkembangan peradaban umat manusia saat ini.
Persoalan seputar khilafah (pemimpin), para tokoh Jamaati Islami di Pakistan menegaskan pandangannya, bahwa setiap individu dalam masyarakat Islam mempunyai hak dalam kepemimpinan Islam (khilafah). Yang demikian hanya dapat dilakukan melalui pemilihan bebas dan pembentukan partai politik-partai politik. Sementara Ikhwanul Muslimin di Mesir berpandangan, bahwa yang harus segera dilakukan adalah perbaikan konstitusi; penerapan demokrasi secara konsekuwen; penghapusan peraturan adat dan undang-undang yang bertentangan dengan kebebasan; dan mengembalikan dasar kehidupan parlemen.
Antara Jamaati Islami dan Ikhwanul Muslimin serta Masyumi di Indonesia memiliki kesamaan pandangan dalam melihat konsep demokrasi. Bagi ketiga partai politik tersebut, demokrasi merupakan konsep yang baik sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, artinya demokrasi yang hendak diterapkan dalam negara Islam adalah sistem demokrasi yang tidak sama dengan sistem demokrasi yang digunakan oleh Barat. Sistem demokrasi disini bersandar pada ajaran Islam dan segala sesuatu yang bertentangan dengan Islam harus ditolak. Sementara sandaran kuat dari sistem demokrasi Barat pada konstruksi manusia, bahkan demokrasi di Eropa memiliki ikatan-ikatan yang bersifat sementara.
Dalam melihat demokrasi dalam Islam sebagai sesuatu yang selalu hidup, Jawaharla Nehru menggambarkan tentang praktek demokrasi dalam Islam di zaman klasik, Nehru mengatakan :
“Imam dan kepercayaan memang sesuatu yang besar. Agama Islam menyampaikan pesan persaudaraan dan persamaan bagi semua muslimin. Tegasnya, dihadapkanlah kepada rakyat semacam demokrasi. Maka bandingkan dengan keadaan Nasrani pada waktu itu yang kacau balau, sudah tentu pesan persaudaraan amat berkesan tidak saja bagi orang Arab, tetapi juga untuk seluruh penduduk berbagai negeri yang didatangi oleh agama Islam itu”
Persaudaraan dan persamaan yang menjadi ukuran penting bagi pemahaman demokrasi dalam Islam merupakan titik sentral bagi segala konsep demokrasi, karena dia tidak mengesankan adanya struktur kelas, atau kasta, golongan tinggi dan golongan rendah, penguasa dan yang dikuasai, tetapi inti dari demokrasi yang dipahami oleh Islam adalah persamaan dalam posisi yang sederajat, karena perbedaan seorang manusia hanya ada dihadapan Allah SWT, yakni nilai ketaqwaannya. Untuk penjelasan mengenai konsep syura dan demokrasi akan diuraikan pada bagian berikutnya.
Realitas kehidupan umat Islam terutama aktifitas mereka dalam berbagai institusi sosial dan politik, telah memberi implikasi tersendiri bagi upaya mewujudkan sebuah kepemimpinan Islam yang menjadi harapan umat. Banyak fakta menunjukkan, dalam dunia politik Indonesia, “kandidat” pemimpin politik sudah tidak lagi mencerminkan moral Islam yang luhur dalam meraih tujuan-tujuan politik mereka. Konflik dalam banyak partai politik Islam justru menunjukkan betapa benturan kepentingan jauh lebih hebat daripada bagaimana mereka merumuskan kerangka kerja bagi terciptanya sebuah kepemimpinan dikalangan umat Islam yang satu —tidak berpeca-belah, karena kalau hal tersebut terjadi akan membawa implikasi bagi melemahnya perjuangan Islam.
Pemimpin politik Islam dalam banyak literatur dikatakan sebagai simbol dari upaya menjadikan Al-Quran dan Hadits sebagai sumber utama bagi kebijakan politiknya dan setiap tindakan-perilaku mereka tetap bersumber kepada dua rujukan tersebut. Dalam kitab Al-Quran dan Hadits telah dijelaskan beberapa pedoman yang akan menjadi pegangan bagi umat Islam dalam memilih pemimpinnya. Tujuan dari kepemimpinan adalah harus berpedoman pada ayat tersebut diatas yakni membangun, memperbaiki dan meletakan sendi-sendi kehidupan sosial, ekonomi, politik dan terutama akhlak dengan dasar yang baik, mendirikan ibadah mahdoh sebagai sumber inspirasi terutama sholat sebagai induk dari segala ibadat yang lain, melakukan berbagai muamalah sebagai realisasi dari tegaknya sendi Islam yang utama yakni sholat, puasa, zakat dan Haji. Posisi pemimpin Islam yang demikian akan dapat membawa perbaikan bagi umat manusia tidak hanya bagi kaum muslimin dalam sebuah wilayah kekuasaan negara, melainkan mereka yang bukan golongan Islam tetapi berada dalam wilayah kekuasaan umat Islam, artinya pemerintahan dan sistem hukum yang digunakan adalah sistem hukum yang menjamin hak-hak setiap warga negara yang mendiaminya, jadi kekuasaan tersebut sepenuhnya menjadikan Al-Quran dan Sunnah Nabi sebagai penjamin bagi pengelolaan kekuasaan.
Ukuran-ukuran normatif berdasarkan kitab suci dalam memilih pemimpin Islam merupakan kebutuhan bagi upaya mengembalikan kepemimpinan umat yang baik, bermoral, jujur dan ikhlas dalam mengembang amanah umat. Mereka yang masuk dalam lingkarang kepemimpinan Islam harus ; jiwa raganya selalu berhubungan dengan Allah; jiwa raganya bersih dari segala macam syirik; pengabdiannya hanya semata-mata karena dan hanya untuk Allah; tidak ada suatu kekuasaanpun didunia yang mematahkan watak dan sifat-sifat kepemimpinannya. Pemimpin umat Islam hanya patuh dan taat kepada Allah dan tidak takut dan tunduk kepada selain Allah, apalagi kepada mahluk atau bangsa yang jelas-jelas tidak merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah, umat Islam tidak perlu meminta bantuan kepada orang-orang kafir. Karena itu pemimpin Islam harus menanamkan keyakinan bahwa dalam menghadapi segala macam percobaan dan penderitaan dengan kesabaran dan meyakini betul akan kebenaran ajaran Allah dan kemenangan yang dijanjikan Allah. Pemimpinan Islam adalah mereka yang dengan ikhlas mau menjalankan nilai-nilai Islam dalam peraturan pemerintahan mereka, menjadikan Islam sebagai sumber dari segala kehidupannya serta Islam sebagai way of life, bagi mereka yang belum begitu yakin terhadap konsep-konsep pembangunan Islam, hanya baru pada taraf percaya saja, maka orang itu belum memenuhi kriteria sebagai pemimpin negara. Dalam Islam, persoalan kenegaraan dan pemerintahan harus diserahkan kepada orang-orang alim yang memiliki komitmen keimanan yang kokoh, dengan kata lain, mereka bersedia melaksanakan segala aturan hukum dalam Islam.
Seorang imam dalam Islam harus memiliki sifat sebagai pemimpin Islam yakni keimanan yang murni kepada Allah; pengabdian sejati kepada Allah; keyakinan teguh akan kebenaran sejati ajaran Allah; kesabaran membaja dalam menghadapi percobaan. Sementara pedoman yang menjadi acuan kerangka kerja pemimpin tetap bersumber pada Al-Quran dan Sunnah Rasul Allah dan tujuannya melaksanakan segala macam amal kebajikan; mengerjakan amal ibadat; membangun sosial ekonomi.
Menurut Al-Mawardi, yang dimaksud sebagai imam itu adalah khalifah, raja, sultan atau kepala negara, berarti kepala negara juga merupakan imam (agama). Di dalam Al-Quran, Allah telah menjelaskan tentang khalifah di muka bumi, maka Allah mengangkat untuk umatnya seorang pemimpin sebagai pengganti (khalifah) Nabi, untuk mengamankan agama, dengan disertai mandat politik. Dengan pemikiran demikian, maka seorang pemimpin atau khalifah selain sebagai pemimpin agama juga merupakan pemimpin politik (kepala negara). Antara urusan spiritual dan urusan sosial politik berkaitan dengan keselarasan dan kemakmuran merupakan kewajiban yang perlu diperhatikan oleh pemimpin Islam, karena itu Islam menganjurkan untuk mendirikan pemerintahan yang mengelola kepentingan umum. Ibn Taimiyah mengatakan seperti telah dikatakan sebelumnya, bahwa mendirikan suatu pemerintahan untuk mengelola urusan umat merupakan kewajiban agama yang paling agung, karena agama tidak mungkin tegak tanpa pemerintahan. Antara agama dengan politik merupakan suatu kesatuan yang utuh yang di kendalikan oleh seseorang khalifah, model pengelolaan negara semacam itu telah berlangsung di masa Nabi ketika menaklukan beberapa kota disekitar Yatsrib (Madinah), dan kepemimpinan demikian diteruskan oleh khulafa rasyidun.
Dengan demikian, sebagai institusi agama dan politik, khilafah Islamiyah merupakan lambang kesatuan agama dan politik, atau dengan kata lain, khilafah merupakan rezim politik dengan tujuan keagamaan. Penekanan Islam terhadap harmonisasi agama dan politik merupakan kehendak yang jelas dalam syariat Islam, karena seluruh segmen kehidupan umat ini diatur dan dijalankan berdasarkan syariah. Kepemimpinan Islam merupakan simbol penyelenggara syariat. Jadi segala urusan dunia seperti ekonomi, politik, sosial harus tunduk kepada syariat, dengan kata lain supremasi agama atas politik, sosial, dan ekonomi.
Terkait dengan kepemimpinan Islam, ada hal yang menjadi perhatian utama imam atau khalifah adalah masalah yang berkaitan dengan keadilan. Menyangkut keadilan terdapat dua model yakni keadilan Ilahi yang sempurna, abadi dan ideal, dan keadilan akal Budi yang merupakan keadilan berdasar perkiraan dan refleksi dari keadilan Ilahi yang di ikhtiarkan secara bebas oleh manusia dan keadilan ini dapat disebut dengan keadilan rasional. Dalam hal kedailan rasional kaum Mutazilah mengemukakan tiga prinsip dasar sebagai ruang lingkup dan karakter keadilan yakni; pertama, prinsip rasionalisme — bahwa keadilan ditentukan oleh Akal Budi; kedua, prinsip voluntarisme — bahwa perbuatan-perbuatan manusia merupakan produk ikhtiar; ketiga, prinsip pertanggungjawaban — bahwa manusia diganjar (pahala) atau dihukum sesuai pilihannya antara keadilan dan ketidakadilan.
Karakter manusia berbeda-beda, sehingga memungkinkan pelaksanaan pemerintahan Islam didasarkan pada prinsip keadilan. Seorang imam yang terpilih melalui mekanisme demokratis yang melibatkan seluruh masyarakat akan berlaku adil berdasarkan prinsip-prinsip keadilan Ilahi yang dirujuk dari Al-Quran dan Hadits serta keadilan yang didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan rasional demi kemaslahatan umat. Fungsi imam dalam pemerintahan Islam adalah mendistribusikan sebanyak mungkin mamfaat kepada umat secara adil termasuk kebijakan-kebijakan yang memberikan kesempatan kepada umat melakukan sesuatu yang juga bermamfaat.
Keadilan dalam Islam berbeda dengan keadilan yang berlaku pada suatu negara yang membiarkan para “penjahat” (koruptor) kelas kakap yang bebas berkeliaran sementara pencuri ayam dikenakan dengan hukuman yang amat berat, tanpa melalui prosedur yang jelas, bahkan tidak sedikit yang menemui ajalnya ditempat kejadian. Para pencuri uang rakyat yang berdasi tidak mendapat hukuman yang pantas dan bahkan bebas berkeliaran tanpa ada hukum yang dapat menyentuh mereka. Bandingkan “keadilan”, dimana orang ketahuan mencuri seratus rial dipotong tangannya di muka publik, sementara para penguasa yang menggelapkan bermilyar-milyar petrodolar malahan memperoleh bintang-bintang penghargaan negara. Diskriminasi penerapkan hukum semacam tersebut sangat jauh dari ajaran Islam, karena itu kita akan mengatakan bahwa hukum-hukum yang berdasarkan wahyu jauh lebih unggul, lebih superior daripada hukum-hukum buatan manusia (man made) yang tampaknya “modern”.
Sebagai bahan renungan, ambil contoh sederhana tentang penerapan hukum Islam, misalnya hukuman potongan tangan bagi pencuri. Syariat Islam jelas menunjukkan bahwa hukuman ini tidak dapat dijatuhkan pada pencuri yang melakukan tindakan pencurian karena alasan-alasan untuk menyambung hidup (survival), atau keluarganya nyaris kelaparan lantaran tidak mempunyai nafkah. Terjadinya pencurian oleh mereka yang hanya ingin mempertahankan kehidupannya disebabkan oleh distribusi ekonomi yang tidak merata oleh mereka yang mengendalikan kekuasaan. Al-Maududi menyebut sistem ekonomi yang digerakkan oleh ketamakan dan dikemudikan oleh pemerasan, yang hanya akan meperkaya kelompok kecil dengan mengorbankan golongan besar kaum miskin yang kelaparan, yang sistem politiknya hanya berperan melindungi ketidakadilan, melindungi hak-hak istimewa kelompok elit, dan meredam pemeratan ekonomi. Dalam kondisi demikian kata Al-Maududi sungguh diragukan menerapkan potong tangan bagi pencuri yang karena mencuri ingin mempertahankan hidupnya, sementara para penguasa justru menghisap kekayaan secara tidak halal, Al-Maududi mengatakan :
Disini jangan salah paham bahwa saya membela pencuri atau bentuk lainnya yang melanggar hukum. Sama sekali tidak. Yang saya maksudkan hanyalah untuk menunjukkan perbedaan-perbedaan yang luas dan radikal yang terdapat antara konteks tempat hukuman diterapkan serta urusan-urusan negara yang dewasa ini kita laksanakan. Satu-satunya kesimpulan logis yang timbul adalah perlunya perubahan dalam seluruh sistem kehidupan. Manakala seluruh struktur masyarakat berubah dan jalan hidup yang baru tercipta, pertentangan antara perintah dengan konteks-konteksnya yang aktual dewasa ini akan hilang dan jalan untuk penerapannya menjadi terbuka
Dalam sejarah, pengelolaan negara yang didasarkan pada ajaran Islam, bahwa para pemimpinnya menunjukkan tanggungjawabnya terhadap kelangsungan hidup si pencuri semacam ini, bukan saja membebaskan dari hukuman baginya, melainkan juga dengan memberikan nafkah dan mencarikan pekerjaan untuknya. Jadi syariat Islam tidak sebagaimana yang ditakuti oleh mereka yang tidak menyetujui diberlakukan syariat Islam, penerapan hukum Islam sebagaimana yang dicontohkan diatas memperlihatkan komitmen pemerintahan Islam untuk memberikan keadilan yang sama kepada rakyatnya. Contoh lain hukum rajam bagi pezina. Pemberlakuan hukum ini didalam Quran telah dijelaskan, bahwa tuduhan melakukan zina terhadap seseorang hanya dapat dianggap sah bila ada empat saksi mata yang menyaksikan perbuatan terkutuk itu. Pemberlakuan hukum rajampun harus didasarkan pada fakta-fakta lapangan dengan menghadirkan empat orang saksi yang melihat perbuatan tersebut dan tidak langsung diterapkan begitu saja. Dua contoh ini sebagai jawaban atas banyaknya serangan kelompok yang tidak menyetujui syariat Islam diberlakukan, karena mereka menganggap syariat Islam itu “kejam”, tidak toleran dan sebagainya.
Secara obyektif, kita menyaksikan banyak kejahatan yang dilakukan oleh umat manusia disebabkan belum ada aturan hukum yang dapat ditegakkan secara adil, jujur oleh para penegak hukum. Proses hukum masih diwarnai oleh pengaruh uang dan kekuasaan, sehingga orang yang semestinya dihukum malah bebas berkeliaran sementara mereka yang sebetulnya tidak melakukan kesalahan berat yang justru menekam dipenjara baik tidak melalui proses hukum maupun melalui proses hukum yang diskriminatif.
Sumber utama dari banyak konflik dan kekerasan yang melibatkan masyarakat luas dibanyak negara berkaitan dengan keadilan. Para pemimpin tidak lagi dapat berlaku adil terhadap rakyat yang dipimpinnya, tetapi yang dilakukan adalah perbuatan diskriminasi dan bahkan kekuasaan menjadi miliknya dan tidak lagi dianggap sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan baik kepada rakyat yang dipimpin maupun kepada Allah SWT di mahkamah tertinggi yaitu mahkamah Tuhan di hari kemudian, dimana tidak ada saksi yang dapat membantu meringankan hukuman, tidak ada hakim yang disuap untuk membebaskan dari hukuman, tidak ada jaksa yang disuap untuk menuntutnya bebas dari segala tuduhan yang dialamatkan kepadanya, yang ada hanyalah amal perbuatan yang dilakukan olehnya ketika masih hidup.
Ibn Khaldun berkata “di antara beberapa sifat jahat manusia adalah kezaliman dan agresi terhadap yang lain. Siapa yang melirik harta benda tetangganya akan meletakkan tangan di atasnya untuk mengambilnya, kecuali ia kalau ditahan oleh suatu alat pencegah, misalnya seorang penyair (Mutanabbi) berkata, kezaliman adalah ciri sifat manusia, jika engkau mendapatkan seorang yang adil, sudah semestinya ditanyakan mengapa ia berbuat adil”. Berlaku adil merupakan pekerjaan umat manusia yang berat untuk ditunaikan, kalaupun ada manusia yang berbuat adil patut dipertanyakan mengapa sampai berlaku adil, apa motivasi dari perlakuan itu, kepada siapa perlakuan itu diterapkan? Pertanyaan demikian menjadi penting untuk diketengahkan, mengingat sifat dasar manusia adalah kerakusan, kezaliman, dan agresi yang pada prinsipnya sulit melahirkan sikap-sikap yang bijaksana dan arif, termasuk didalamnya pemimpin Islam. Sebagai manusia, mereka tentu memiliki sikap-sikap subyektif yang bias dengan berbagai kepentingan, dengan bersikap demikian menyebabkan kekuasaannya dipertanyakan oleh rakyat yang memilihnya.
Pemimpin yang dapat berlaku adil menjadi harapan dan dambaan rakyat, sehingga mewujudkan menjadi pekerjaan yang juga berat. Umat manusia dalam konteks kekuasaan, seringkali melakukan penyimpangan kekuasaan yang menyebabkan kepemimpinannya tidak mampu berlaku adil. Dari masyarakat yang penuh ketidakadilan, akan lahir berbagai problem kemanusiaan seperti sikap egoistik, hedonisme, konsumerisme, angkuh, sombong dan takabur, semua itu berimplikasi pada tersosialisasinya sifat-sifat manusia yang jauh dari ajaran Islam. Kondisi umat seperti itu akan sulit membangun solidaritas untuk melawan hegemoni politik dan ekonomi kapitalisme Barat. Dikalangan umat Islam sudah tidak ada lagi kebersamaan untuk melawan kepentingan kapitalisme Barat yang merongrong peradaban Islam.
Pemimpin harus mengembang amanat umat, kekuasaan bukan hanya sekedar alat untuk meraih kepentingan-kepentingan politik, melainkan untuk melayani kepentingan umum, itulah konsep kekuasaan yang dipahami oleh Islam. Menurut Ibn Taimiyah pemerintah mengembang dua amanat yakni ; pertama, mengelola kepentinga-kepentingan rakyat oleh kepala negara, dan kepala negara harus memilih pembantu juga yang mempunyai kecakapan dan kemampuan dibidangnya, bukan pembantu yang tidak memiliki keahlian. Kedua, kepala negara harus mengankat mereka yang mempunyai kecakapan dan kemampuan, kalau kepala negara mengangkat pembantu yang kurang cakap dan mampu sementara masih orang yang memiliki keahlian, maka dia telah berkhianat terhadap Allah, Rasul dan umat Islam. Pandangan Ibn Taimiyah ini didasarkan kepada Hadits Nabi
“Sabda Nabi kepada abu Dzar bahwa kepemimpinan pemerintah itu suatu amanat, yang pada hari kiamat nanti merupakan (sumber) kehinaan dan penyesalan, selain bagi mereka yang melaksanakannya dengan benar dan mempercayakan kepada mereka yang berhak”
“Sabda Nabi, bahwa kalau amanat sudah hilang maka tunggulah datang saat kehancuran, dan amanat itu akan hilang kalau kepemimpinan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya (yang tidak memiliki persyaratan kecakapan dan kemampuan yang diperlukan untuk jabatan itu)”
Ibn Taimiyah menekankan kepada seorang pemimpin dua persyaratan yakni kekuatan dan integritas. Kekuatan sebagai kemampuan sesorang untuk mengelola berbagai kebijakan yang menyangkut kepentingan umum seperti seorang hakim yang harus memutuskan segala perkara secara adil dengan kemampuan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya, sementara integritas sebagai bentuk ketundukan kepada kehendak Allah SWT artinya tunduk dan taat kepada syariat Islam. Dua persyaratan tersebut yang dimiliki oleh seorang pemimpinan akan dapat mengantar umat melalui kepemimpinan yang unggul untuk menjadi bangsa yang maju dan mandiri.
Umat Islam baru bisa bangkit dan mempertahankan peradabannya, apabila didukung oleh kepemimpinan politik dan agama yang kuat, dan kepemimpinan itu harus didukung oleh rakyat secara luas. Keberhasilan atau kemenangan terdapat di pihak yang mempunyai solidaritas yang kuat, dan anggota-anggotanya lebih sanggup berjuang dan bersedia mati guna kepentingan bersama. Yang tidak dimiliki oleh umat Islam saat ini adalah kebersamaan untuk bersatu mempertahankan identitas ke-Islam-an dan peradabannya. Di kalangan elitnya, kebanyakan mereka yang kurang memiliki kekuatan dan integritas yang tinggi untuk bertindak keluar dari kemelut yang dihadapi oleh masyarakat, negara, dan bangsa
Para aktifis politik Islam harus secara jujur mengembang misi dakwah untuk memajukan umat Islam dan bukan menjadikan Islam sebagai alat untuk mencapai tujuan politik sesaat yang hanya berorientasi keduniaan, tetapi mereka (elit) harus membawa ajaran moral Islam dalam kerangka kehidupan politik nasional, dengan berperilaku yang sesuai dengan etika sosial yang mencerminkan nilai-nilai religius. Kerangka kerja yang demikian akan dapat membantu mengeluarkan krisi kemanusiaan modern yang melanda umat manusia dibelahan bumi Allah ini. Tetapi apabila para politisi Islam hanya berorientasi.

Kepemimpinan Dalam Konteks Indonesia

Indonesia adalah negara yang mempunyai penduduk terbesar beragama Islam, bahkan yang terbesar didunia. Posisi umat Islam yang secara kuantitas mayoritas berpotensi besar untuk digunakan sebagai instrumen pembangunan sosial politik bangsa agar lebih beradab dan bermoral. Jumlah yang meyoritas itu ternyata belum dapat memberikan warna bagi pemunculan kepemimpinan bangsa yang dapat mencerminkan semangat kehidupan berbangsa dan bernegara yang bermoral dan beradab. Sejak Indonesia merdeka hingga mengalami perkembangan — kepemimpinan bangsa selalu diwarnai oleh tarik-menarik kepentingan antara kelompok-kelompok yang ada, tarik-menarik itu terjadai dalam tem;o yang padat setelah jatuhnya Orde Baru. Pada masa kepemimpinan militer Orde Baru, pemimpin-pemimpin dari kalangan sipil sulit muncul dan kontestasi untuk suatu jabatan publik tidak berlangsung, karena posisi jabatan dibawah presiden sepenuhnya telah menjadi hak presiden.
Dominan kalangan militer dalam kepemimpinan pada masa lalu, tidak hanya di pusat-pusat kekuasaan, tapi sampai pada institusi pemerintahan terendah yaitu Desa, demikian pula partai politik (Golkar), perusahaan dan bidang-bidang yang lain hampir sebagian besar dikendalikan oleh militer. Dengan demikian, sulit untuk membedakan antara pemimpin dan pejabat, secara umum mereka yang menduduki posisi jabatan dalam politik pemerintahan — identik sepenuhnya dengan pemimpinan, artinya makna esensi seorang pemimpin telah mengalami bias, sebab pada prinsipnya pemimpin bukan karena jabatan yang melekat dengan dirinya tetapi karena moral atau akhlaknya, atau dengan kata lain — seorang pemimpin memiliki konsistensi antara visi kepemimpinan dan tingkah laku jujurnya, kesatuan antara mulut dengan perbuatan. Itulah yang mengantar dan melegitimasi mereka menjadi pemimpin sejati. Kalau seseorang merasa bangga menjadi pemimpin karena jabatan politik dan fungsionalnya dalam birokrasi pemerintahan maupun dalam parlemen seperti banyak kasus pemimpin (pejabat) Indonesia yang ketika mereka masih berada dalam posisi kekuasaanya dihormati dan dihargai oleh rakyat atau bawahannya, tetapi ketika mereka tidak lagi menjadi pemimpin/pejabat dan anggota parlemen tidak ada lagi rakyat atau bekas bawahannya yang menghormati mereka.
Karena kondisi semacam itu dalam pandangan Mudji Sutrisno merupakan problem kepemimpinan yang melanda para elite, menurutnya terdapat perbedaan yang tajam antara “keabadian” makna seorang pemimpin dengan kesementaraan makna temporal seorang pejabat. Merekayang mengklaim dirinya sebagai pemimpin ketika berkuasa tanpa sandaran moral dan akhlak yang mulia dalam menjalankan jabatannya dan ketika tidak lagi menjadi pejabat mereka mengalami post power syndrome. Legitimasi pemimpin dalam Islam adalah legitimasi moral, legitimasi akhlak, legitimasi kejujuran dan legimitasi keadilan dalam bertindak, mereka menjadi teladan bagi masyarakat yang dipimpinnya dan dia bukan seorang yang menjadi tukang korupsi uang rakyat, apalagi menyalah-gunakan posisi jabatannya. Dia menjadi pemimpin dalam kata dan tindakan, memiliki harga diri yang tinggi dan bermartabat, itulah pemimpin ideal yang didambakan oleh umat dan bangsa.
Seiring perkembangan politik bangsa dan semakin akomodasinya negara atau pemerintah terhadap umat Islam, maka muncullah elite bangsa dari golongan agama. Mereka pada mulanya mengalami dilema antara tunduk dan taat kepada kehendak penguasa (Soeharto) dengan konsekuensi kendur atau tidak terlalu ketat pada ajaran agamanya, meski kewajiban-kewajiban pokok agama tetap mereka tunaikan seperti Shalat, Puasa, Haji yang sebagian berimplikasi pada aktualisasinya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Refelksi sosial dapat ditemukan dalam dimensi etika sosial seperti bermoral, jujur dan adil, meski dalam kasus tertentu terdapat juga elite Islam — bahwa tokoh agama tersangkut kasus tidak bermoral. Selain mereka yang sempat terakomodasi dalam rezim politik, terdapat pula elite Islam yang bisa kita masukkan kedalam katgeori pemimpin seperti mereka yang memimpin NU dan Muhammadiyah, artinya pemahaman pemimpin tidak hanya mencakup wilayah politik dan birokrasi, bahwa Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Camat, Lurah, Kepala Desa, Jenderal dan lain-lain, betul adalah pemimpin bagi masyarakat yang dipimpinnya, tapi setelah kepemimpinannya berkahir belum langsung atribut kepemimpinan itu masih melekat dalam dirinya, karena akan dievaluasi secara moral kepemimpinannya.
Pemimpin Umat Yang Autentik
Pemimpin dalam Islam adalah pemimpin yang menyatu antara perkataan dan perbuatan — dengan demikian, pemimpin yang dipahami oleh Islam adalah pemimpin yang esensi kepemimpinannya bersifat integratif, karena itu berkembang suatu paradigma bahwa suatu kepemimpinan dalam Islam harus bersifat ideolgis, artinya kepemimpinan itu didasarkan pada ketentuan yang bersifat definitif oleh kesatuan pandangan mengenai agama, kehidupan sosial, kehidupan politik kenegaraan, ekonomi, hukum, dan budaya, itulah sebabnya bahwa pemimpin agama juga merupakan pemimpin bagi rakyat dan bangsa. Pemimpin yang unggul dalam soal agama, unggul dalam pemikiran tentang politik, tatanegara, ekonomi, hukum dan peradaban atau pemimpin ideal adalah suatu harapan bangsa dan negara manapun. Harapan itu menjadi klop dengan Indonesia yang sulit menemuka sosok pemimpin ideal. Pemimpin ideal dalam Islam adalah pemimpin yang dianggap paling autentik adalah Ulama, cendekiawan, ustadz, Taufik Abdullah melukiskan tentang kepemimpinan demikian;
“…ulama, sang “ilmuwan”, yang tahu hukum, dan orang saleh, yang diteladani dengan peranan sebagai “guru” (yang mengajarkan “sepotong ayat”), muballiq, dan dai (yang mengingatkan umat agar selalu mengikuti “jalan yang lurus”) serta “penyelenggara upacara keagamaan” (yang mebacakan doa dan talqin). Ulama adalah pemimpin umat yang mendapat pengakuan sosial — betapapun kecil dan terbatasnya ruang lingkup komunitas yang mengakui hal itu. Dialah yang selalu menjaga keutuhan “tali Allah”, yang mengikat manusia dengan Al-Khalik dan antara sesama manusia”.
Dalam perkembangan sosial dan politik umat, kepemimpinan yang demikian “agung”, “suci”, dan “sakral” sebagai satu-satunya sumber sosialisasi Islam, tempat lahirnya tafsir-tafsir aktual Al-Quran atas berbagai persoalan kontemporer umat manusia, telah “kehilangan” tempat didalam masyarakat. Banyaknya ulama yang terlibat dalam wilayah politik praktis dengan berbagai pertimbangan sosiologis, psikologis, ideologis, politis dan bahkan pertimbangan ekonomi telah memperkuat anggapan bahwa “kesucian” makna keulamaan telah bergeser, apalagi sang ulama yang terlibat dalam politik itu tersangkut kasus tidak bermoral, maka semakin lengkaplah penderitaan umat Islam atas pemimpin mereka yang justru menjadi penipu. Meski demikian, stok ulama yang menisbahkan hidupnya untuk mengurus umat masih relatif memadai. Sebagian elite Islam yang terlibat dalam politik berasumsi bahwa meraih kemaslahatan bagi umat harus ditempuh jalur politik, karena melalui halur inilah perubahan dan perbaikan kondisi umat dapat dilakukan, tapi resiko sosial politik pun harus siap diterima oleh mereka (ulama) yang terlibat dalam politik yaitu berkurangnya legitimasi keulamaannya, karena kualitas kepemimpinan mereka sudah bergeser dari berjuang untuk mendidik dan membina umat kepada berbagai kepentingan politik.
Kualitas kepemimpinan sang elite Islam yang masuk dalam politik praktis, bisa diprediksi bahwa mereka bersentuhan dengan kepentingan keduniaan, artinya visi kepemimpinannnya tertutup oleh kepentingan-kepentingan ekonomi politik yang bersifat jangka pendek. Tidak lagi mewarisi ketulusan, kebenaran, keikhlasan dan keadilan, sebagaimana yang di perkenalkan dan di implementasikan oleh para pemimpin ideal, sejak Rasulullah hingga khulafaur Rasyidun dan kaum salaf setelahnya. Penonjolan kepentingan kelompok dan golongan telah membawa pengaruh bagi terabainya pembinaan umat, tidak lagi sejalan dengan prinsip-prinsip hidup Islam, padahal hakekat kehidupan dalam Islam adalah pengabdian kepada kehendak kesucian Allah, postulat rasionalitas menegaskan bahwa tidak boleh seseorang atau sekelompok orang melakukan kejahatan, karena kejahatan terhadap manusia yang lain dalam bentuk apapun akan dikutuk oleh Allah SWT.
Model kepemimpinan yang berkembang dalam kehidupan politik nasional telah membawa kepada kompleksitas permasalahan kepemimpinan, karena banyak orang-orang yang kelak menjadi pemimpin yang tidak dilembagakan, sumber dari kepemimpinan semacam ini bukan melalui lembaga formal, melainkan karena kualitas individu. Kepemimpinan di kalangan umat terdapat tiga kecendrungan yaitu pertama, diversifikasi kepemimpinan, kalau dulu kita memerlukan kepemimpinan politik dan agama dalam arti sempit, maka sekarang kita perlu memperluas horison pemikiran kita di bidang ilmu, teknologi, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Kedua, desentralisasi, perluasan makna kepemimpinan bukan lagi hanya kepemimpinan nasional melainkan telah menyebar kemana-mana. Ketiga, proliferasi , kepemimpinan yang tidak hanya dibidang politik, tetapi menyebar kemana-mana.
Selain tiga kecendrungan tersebut, Kuntowijoyo masih melihat ada tiga macam periode kepemimpinan umat Islam; pertama, periode utopia, para pemimpin bermaksud mendirikan negara Islam berdasarkan apa yang kita inginkan, tanpa melihat kondisi obyektif kita. Kedua, periode ideologi, dahulu Masyumi menginginkan negara Islam teokrasi yang demokratis. Negara Islam seperti itu tidak perlu menakutkan, tetapi karena banyaknya penafsiran mengenainya menjadi sangat menakutkan lalu orang sangat phobi dengan ideologi. Ketiga, periode ide, Islam sebagai ide akan membicarakan tentang etika, estetika, pemikiran filsafat dan karena itu pula sekarang sudah mengenal ekonomi Islam, Universitas Islam. Pada periode pertama, umat Islam masih mengandalkan suatu keyakinan keagamaan tanpa melihat realitas, akibatnya perjuangan untuk mendirikan negara bukan menambah pengikut melainkan pengikutnya berkurang dan dengan mudah diidentifikasi oleh pihak lain. sementara pada periode kedua dan ketiga umat Islam telah melakukan transformasi pemikiran; teks telah ditafsir sesuai dengan konteks tanpa meninggalkan makna otentiknya; sementara gerakannya menuju kepada kemapanan konsep untuk membangun umat yang lebih unggul dan mandiri, tanpa terlalu rigid mengikatkan diri dengan simbol-simbol keagamaan. Kelompok ini percaya, bahwa penegakkan moral, etika ataupun akhlak yang menjadi inti dari pesan Islam jauh lebih diutamakan, lebih utama dari sekedar menuntut yang simbolik tapi kosong dengan moral dan akhlak.
Legitimasi moral yang dimiliki oleh seorang pemimpin Islam sejati terletak pada kesepadanan antara perkataan dengan perbuatan, bersifat mulia, rendah diri, tidak sombong, jauh dari kehidupan yang berlebihan, bersikap jujur, adil dan meletakkan sandaran kepemimpinannya kepada wahyu Allah dan sunnah Rasul-Nya. Dengan demikian, seorang pemimpin akan berorientasi pada perbaikan kehidupan rakyat-nya dengan mendistribusikan sejumlah mungkin nilai manfaat bagi rakyatnya, itulah makna pemimpin sejati. Legitimasi pemimpin sejati adalah warisan keteguhan dalam derita penjara, pembuangan, kesabaran mendidik bangsa, dan pengorbanan-pengorbanan sejati yang diwujudkan dalam kesahajaan, kekayaan waktu, tenaga, pikiran dan keringat, yang dengan jelas dicurahkan untuk kemerdekaan bangsanya dan makin berharganya martabat bangsanya. Segala apa yang dimilikinya, seorang pemimpin mencurahkan untuk membangun bangsa dan rakyatnya.
Legitimasi Pemimpin Umat
Menyangkut legitimasi seseorang menjadi pemimpin seperti telah dijelaskan diatas adalah moral dan kejujuran — kesatuan dalam perkatan dan perbuatan. Jadi legitimasi seseorang menjadi pemimpin bukan pada bentuk dukungan mayoritas rakyat atau karena dihormati dan dihargai oleh rakyat, tapi dimensi moral yang melekat dalam dirinya. Ada banyak kecendrungan pemimpin negara yang mengabaikan dimensi ruhani, moral dan kejujuran — mereka hanya sekedar menjadi pelengkap dari banyak kebijakan politik, akibatnya mereka setelah berakhir posisi politik atau jabatan politik dan birokrasinya tidak lagi dihargai dan di hormati oleh rakyatnya yang mereka pimpin sebelumnya, karena penghormatan dan penghargaan yang mereka peroleh selama menjadi penguasa atau pejabat politik hanyalah bersifat semu dan bukan berdasarkan kepada substansi penghargaan dan penghormatan itu sendiri. Mereka dihargai karena jabatannya dan bukan karena akhlak, bukan karena moral atau perilaku dan perbuatannya yang terpuji. Ada banyak pejabat yang setelah berakhir masa jabatannya tidak lagi mendapat penghargaan, bahkan dari seorang yang menjadi bawahannya.
Para pejabat ketika berbicara dihadapan rakyat mengatakan berbagai hal dengan jabatannya dan bahkan menyebut dirinya sebagai pemimpin sejati dan pejuang bagi rakyatnya. Tetapi rakyat juga punya hak untuk menilai tingkat konsistensi pejabat tersebut, apa yang dikatakannya dengan perbuatannya. Banyak pejabat, elite yang berkuasa dan penguasa tertentu, ketika menjelang perebutan kekuasaan — dengan sangat pandai berbicara tentang kepentingan rakyat, berbicara sangat fasih tentang moral dan akhlak dan berbicara cerdas tentang bangunan peradaban masyarakat yang religius, tapi giliran posisi kekuasaan itu diperoleh, semua ucapan tadi hampir tidak bisa dipenuhinya, bahkan janji-janji politiknya untuk memperbaiki kehidupan masyarakat tidak dijalankan, yang terjadi adalah sebaliknya pengkhianatan atas apa yang mereka kampanyekan. Mungkin banyak contoh yang dapat dirujuk dalam soal ini, seperti dalam soal Bupati, Gubernur atau Ketua, Wakil dan Anggota DPRD di berbagai daerah — mereka ketika kampanye pemilu 1999 dengan sangat antusias mengkampanyekan pemihakan kepada kepentingan rakyat, tapi dalam akhirnya jabatannya justru menjadi tersangka korupsi uang rakyat milyaran rupiah. Mereka itu jelas bukan pemimpin, tapi lebih tepat disebut sebagai bandit-bandit politik dan tidak ada bedanya dengan para pencuri dan perampok.
Itulah sebabanya harus dibut demarkasi yang tegas antara pemimpin dengan pejabat, karena kduanya sangat berbeda. Pemimpin adalah mereka memiliki visi masa depan, berakhlak mulia, jujur dan berlaku adil dan posisi kepemimpinan dimanfaatkan untuk memperbaiki keadaan masyarakatnya. Inilah yang disebut sebagai pemimpin yang mendapat penghargaan dan penghormatan dari masyarakat sepanjang masa, bahkan setelah mereka tiadapun di dunia ini masih diingat dan dihormati jasa-jasa dan pemikirannya oleh rakyat. Mereka bersandar kepada nilai-nilai Tauhid dan moral. Tidak berlebihan untuk menyebut beberapa nama pemimpin dan mereka juga sekaligus sebagai pejabat, hingga kini mereka masih disebut-sebut oleh rakyat seperti KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asyari, Tjokroaminoto, Agus Salim, KH. Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Mohammad Natsir, Kasman Singodimedjo, Mohammad Roem, Buya Hamka, Kahar Muzakkir, Sukiman Wirosandjojo, Farid Maruf, Wahid Hasyim, Wahab Hasbullah, Sutan Sjahrir, Syafruddin Prawiranegara, Soekarno dan sebagainya.
Sedangkan makna seorang pejabat akan berlalu dengan masa jabatannya, apabila yang bersangkutan tidak menjadi pemimpin yang dapat memberikan keadilan dan kesejahteraan kepada rakyat yang dipimpinnya, apalagi kalau yang bersangkutan merupakan simbol dari kebohongan publik, tukang mengkorup uang rakyat. Pemimpin semacam ini tidak akan di ingat oleh rakyatnya sebagai pemimpin dan pejabat yang baik, tetapi akan selalu di ingat sebagai contoh dan orang akan selalu mengatakan kepada pemimpin mereka yang baru “jangan memimpin seperti si anu itu yang suka memakan uang rakyat, tukang bohong dan lain-lain simbol yang jelek.”