Kebangkitan Nasional:Tentang Perjuangan Dan Keteladanan Menjaga Dan Merawat Republik

May 20, 2025

KEBANGKITAN NASIONAL: TENTANG PERJUANGAN DAN KETELADANAN MENJAGA DAN MERAWAT REPUBLIK

DR. Ahmad Yani SH MH.
Ketua Umum Partai Masyumi

Abad 20 mulai merenggangkan kaki dan tangannya, membangunkan bangsabangsa terjajah dari keterjajahan nya, beranjak pergi cuci muka, abad 20 melihat masa depan Indonesia yang sedang diambang putus asa.
Kejumudan dan keterbelakangan yang tak berakhir, kemajuan belum sampai di telinga abad itu bagi bangsa Asia. Beranjak dan berjalan, manusia abad 20 tidak pasif, kerisauan para intelektual membuka kejumudan. Harapan untuk menjadi bangsa yang merdeka dan berpendidikan, muncul pula.

Api Kepahlawanan

Awal abad 20, radikalisme mulai menampilkan cirinya. Para pejuang tidak hanya bertindak radikal, tetapi pikirannya pun radikal. Dengan cara itu mereka mulai bergerak melawan kolonialisme yang sudah mapan itu.

Lahir Gerakan-gerakan nasionalis, mengungkapkan keresahan akan bahaya penjajahan yang sudah lama. Masyarakat sudah bosan dengan mental Inlander ingin mengucapkan kehendaknya untuk merdeka.

Para pedagang Islam di Jawa mulai menyusun pergerakan, membentuk solidaritas pedagang Islam lewat Serikat Dagang Islam (SDI) pada tahun 1905. Gerakan SDI yang dipelopori oleh Kiyai Haji Samanhudi itu menjadi tonggak awal lahirnya organisasi moderen bahkan sebagai organisasi Islam pertama dalam sejarah dunia.

Para pelajar School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), atas saran Wahidin Soedirohoesodo, seorang tokoh nasional yang menginginkan adanya organisasi nasional yang mencakup semua bidang, pada tahun 1908 berkumpul di Jawa diantaranya: Soetomo, Soeradji Tirtonegoro, Goenawan Mangoenkoesoemo, dan lain-lain.  Mereka berkumpul menggagas berdirinya organisasi nasionalis pertama yang digagas oleh para pelajar dan pemuda Indonesia.

Dalam suasana kebangkitan Nasional itu, pada Tahun 1912 Organisasi Islam moderen Muhammadiyah yang dipelopori oleh K.H. Ahmad Dahlan berdiri di Kampung Kauman Yogyakarta. Pada tahun sayang sama SDI berganti nama menjadi Syarikat Islam (SI). Pada tahun ini SI menjadi organisasi yang sangat egaliter dan meluas, bersamaan dengan masuknya HOS Tjokroaminoto.

Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari mendirikan Organisasi Islam Nahdatul Ulama (1928) sebagai wadah kebangkitan ulama dan cendekiawan Islam.

Sekitar 20 tahun setelah kebangkitan nasional itu, para pemuda berkumpul dan menyatakan sumpah yang legendaris yang kita kenal sebagai Sumpah Pemuda. Sumpah itu diucapkan pada tanggal 28 Oktober 1928

Selepas itu, 17 Tahun pasca sumpah pemuda, setelah Jepang menyerah Tanpa syarat kepada sekutunya Amerika Serikat, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diucapkan oleh Soekarno di dampingi Muh. Hatta atas nama Bangsa Indonesia. Semua perbedaan ditinggalkan.

Haji Agus Salim selesai merumuskan Naskah Mukadimah UUD 1945, ia berkisah: “Telah Tersimpul lah dua doa di dalam Al-Quran, yaitu ATAS berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa (La Hauwla wa-laku wa-ta illa billah) dan di dorong oleh keinginan luhur supaya ber kehidupan kebangsaan yang bebas (InnAllah la yughayiiru ma bikaumin hatta yughaiyirru ma bi anfusihim), maka rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya.”

Sumbangan besar Umat Islam untuk persatuan bangsa adalah merelakan tujuh kata dalam Piagam Jakarta (Ketuhanan dengan Kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya), meskipun penolakan terhadap penghapusan tujuh kata itu datang dari Hofbestur (Ketua Umum) Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo.

Atas permintaan anggota Muhammadiyah Kasman Singodimedjo dan Tengku Muhammad Hasan, dan tokoh-tokoh Islam lainnya, Ki Bagus merelakan tujuh kats itu – demi kemerdekaan, demi persatuan dan demi Indonesia.

Hari-hari masa itu penuh dengan suasana revolusioner, Belanda tidak terima begitu saja kemerdekaan bangsa Indonesia, agresi militer Penjajah tetap diteruskan. 10 November 1945 perang berkecamuk, Indonesia yang baru 4 (empat) bulan merdeka kembali berhadapan dengan NICA.

Sutomo atau yang dikenal Bung Tomo setelah mendengarkan fatwa ulama, berpidato dengan suara lantang di hadapan radio mengumumkan perlawanan rakyat Indonesia. Kiyai-kiyai NU mengumumkan resolusi Jihad, pecah perang Surabaya, dan tentara NICA gabungan dari tentara Belanda, Inggris dan Portugis yang mengepung Indonesia mengalami kerugian dan kekalahan.

Dengan semangat kepahlawanan mereka, kecintaan mereka, pengorbanan mereka kepada Negara Indonesia perlawanan itu berlangsung sengit. Rakyat Indonesia melawan dengan sepenuh hati. Janji kemenangan dapat pula dipetik, negara Indonesia tak mampu diambil alih oleh para penjajah.

Tidak berhenti disitu, 19 Desember 1948, agresi militer Belanda ke II mengepung Ibukota Yogyakarta dan Belanda berhasil menangkap Tokoh-tokoh penting seperti Soekarno, Hatta, Haji Agus Salim, Sutan Syahrir dan yang lain. Kemudian Belanda mengumumkan lewat Radio bahwa Indonesia sudah bubar.

Sebuah telegram dibuat oleh Hatta saat itu, dikirim ke Sjafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittingi Sumatera Barat, namun telegram pun tak sampai karena alat komunikasi telah diputuskan oleh Belanda. Hari itu suasana republik gamang, Belanda telah menguasai Ibukota dan pimpinan negara telah ditangkap, dan mengumumkan Republik telah Bubar.

Tidak disangka-sangka, mendengar informasi pengepungan ibukota itu, Sjafruddin Prawiranegara bersama dengan tokoh-tokoh daerah, mengambil alih pemerintahan dan mendeklarasikan berdirinya pemerintah darurat Republik Indonesia (PDRI) di Halaban Sumatera Barat dengan Wakilnya Tengku Muhammad Hasan pada tanggal 22 Desember 1948.

Jenderal Besar Soedirman berjuang ke hutang belantara memimpin pasukan tentara di bawah komando Pemerintah Darurat yang diketuai oleh Sjafruddin. Dalam kekuasaan Sjafruddin perundingan Perundingan Roem-Roijen yang menjadi tonggak awal penyerahan kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia. Disusul dengan Perjanjian meja Bundar (1949) yang melahirkan Negara Republik Indonesia Serikat (RIS).

Berjalan 8 (delapan) Bulan, RIS itu bubar berkat sebuah Mosi Integrasi atau yang dikenal dengan Mosi Integral Natsir, yang dibacakan oleh Muhammad Natsir (Ketua Umum Partai Masyumi) disidang Parlemen RIS dan disepakati secara bulat oleh seluruh Fraksi termasuk Partai Komunis Indonesia. Mosi Integral disampaikan ke Parlemen 3 April 1950. Mosi diterima baik oleh pemerintah dan PM Mohammad Hatta kemudian menegaskan akan menggunakan mosi integral sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan.

Memetik keteladanan

Apa yang saya kisah kan di atas adalah sikap heroisme yang mengalir di dalamnya darah bangsa Indonesia. Sementara Hari-hari ini keteladanan itu hampir saja hilang dalam kehidupan bangsa Indonesia.

Terpaksa kita kembali lagi menengok ke masa lalu, sebuah masa dimana keteladanan itu dapat dipetik hikmahnya. Para pahlawan yang berjuang segenap jiwa raga, hidup serba sederhana hanya demi sebuah cita-cita besar negara Indonesia.

Perang demi perang dilewati, perdebatan demi perdebatan dilalui, tetapi tidak pernah menyisakan dendam. Bersatu adalah kunci bertahan nya Republik Indonesia. Tidak ada pengorbanan untuk golongan dan kelompoknya sendiri, pengorbanan adalah untuk bangsa dan negara.

Tidak ada oligarki yang mengekang, tidak ada separatis yang mengancam, tidak ada teroris yang membunuh, tidak ada koruptor yang rakus. Semua kejahatan itu tidak ada, zaman itu adalah zaman pengorbanan dan keikhlasan, segenap jiwa dan raga demi masa depan anak cucu penghuni negeri yang namanya Indonesia.

Berkali-kali Soekarno dan M. Natsir “mempertengkarkan” pendapatnya ketika membahas hubungan agama dan negara. Berkali-kali Natsir mempersoalkan pendapat Soekarno dari jaman pergerakan hingga kemerdekaan, tokh Natsir juga dipercaya menjadi Perdana Menteri setelah kembali Proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibacakan tahun 17 Agustus 1950.

Hubungan baik antara Natsir dan Kasimo Ketua Partai Katolik merupakan hubungan yang tak terpisahkan. Berulang-kali mereka selalu bersama, membawa partainya menghadang kebijakan Soekarno di Konstituante. Persahabatan mereka sungguh indah.

Suatu hari Arnold Mononutu berpidato tentang Pancasila dalam sidang konstituante. Mononutu berpendapat bahwa Kelima sila dari Pancasila itu adalah bersumber dari Injil. Bagaimana reaksi ketua Masyumi Pada waktu itu? Natsir merasa terharu dan mengatakan pidato Mononutu itu merupakan titik pertemuan antara kitab suci dan para nabi.

Perasaan saling memiliki pancasila itu harusnya terus hidup. Orang Kristen harus menggali Pancasila seperti Mononutu bahwa pancasila bersumber dari Injil, dan orang Islam harus menganggap Pancasila sebagaimana menurut ayat suci Al-quran, seperti juga Natsir, begitu juga Budha dan Hindu. Sehingga pancasila menjadi kalimat titik temu antara semua perbedaan, bukan pancasila sebagai kalimat pemecah belah.

Selain perbedaan pendapat saling memaafkan haruslah hidup dalam bangsa Indonesia. Pahlawan telah mencotohkan kepada kita. Prof. Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) adalah “lawan” Soekarno dimasa demokrasi terpimpin. Melalui media PKI, Pramoedya Ananta Toer menyebarkan fitnah kepada HAMKA. Ulama itu ditangkap tanpa proses pengadilan.

Pada akhirnya dipenghujung kepergiannya ke alam kubur Soekarno meminta HAMKA menjadi Imam Sholat jenazahnya. Apakah HAMKA menolak? Tidak! Bahkan ia berterima kasih pada Soekarno karena telah memasukkannya ke dalam penjara. Di dalam penjara ia merampungkan satu tafsir yaitu Tafsir al-Azhar.

Begitu juga dengan Pramoedya yang mengutus calon menantunya yang muallaf untuk belajar agama Islam ke HAMKA, sebagai tebusan meminta maaf dan HAMKA mengajari calon menantu Pram itu sebagai cara menghargai permintaan maaf.

Dipa Nusantara Aidit Ketua Umum PKI dan Natsir Ketua Umum Masyumi saling bersitegang dalam rapat Konstituante, tetapi apabila telah keluar dari rapat, selesai membahas masalah bangsa, mereka makan sate bersama di kantin Dewan. Bahkan Aidit membonceng Natsir dengan sepedanya.

Tidak ruang sentimen pribadi dalam membicarakan masalah bangsa. Dan setiap urusan golongan harus diletakkan demi urusan yang lebih besar. Tidak peduli, dari agama apa, dari suku mana, dari daerah mana, persatuan adalah yang paling utama. Semua pahlawan yang telah gugur, mulai dari usahanya demi bangsa hingga pikirannya selalu hidup dalam setiap perjalanan bangsa ini.

Telah ada suatu massa, negara ini saling berpegang erat untuk tekad merdeka dan bersatu. Kalau proklamasi adalah pintu gerbang kemerdekaan, maka persaudaraan antar anak bangsa yang akan mengantarkannya ke dalam gedung megah yaitu gedung Keindonesiaan yang di dalamnya menjadi rumah besar bagi semua.

Para pahlawan telah berjuang dan berkorban, memerdekakan, mempertahankan dan bahkan mengisi kemerdekaan itu. Keikhlasan, pengorbanan dan perjuangan mereka luar biasa. Masihkah kita memiliki semangat seperti mereka. Wahai Pemuda Indonesia?