Islamofobia dan Kemunafikan Demokrasi: Saat Politisi Islam Dicurigai

July 27, 2025

Islamofobia dan Kemunafikan Demokrasi: Saat Politisi Islam Dicurigai

Di tengah sistem demokrasi yang katanya terbuka dan setara, ada satu fenomena yang terus berulang dan makin menyakitkan: ketika umat Islam menyuarakan identitasnya secara terbuka melalui jalur politik, justru penolakan paling keras datang dari mereka yang mengaku penjaga demokrasi itu sendiri.

Ini bukan tentang kelompok ekstrem, bukan pula tentang otoritarianisme lama yang kembali. Ini tentang mereka yang berdiri di tengah sistem—berteriak soal pluralisme dan hak asasi, tapi mendadak resah ketika yang bicara adalah politisi Islam. Mereka yang selama ini menjunjung “kebebasan berekspresi” dan “representasi rakyat”, justru berubah beringas ketika Islam hadir secara nyata dalam ruang politik, bukan hanya sebagai identitas pribadi tapi sebagai kekuatan kolektif yang sah dan demokratis.

Labelisasi pun dimulai. Politisi Islam disebut antidemokrasi, intoleran, bahkan dikaitkan dengan cita-cita negara agama yang menakutkan. Seolah-olah menyebut kata “syariat” di forum resmi adalah kejahatan konstitusional. Seolah-olah mengangkat isu moral dan akidah dalam kampanye adalah bentuk pemaksaan kehendak.

Ironinya, sistem yang kita jalani saat ini—dari pemilu sampai partai politik—berdiri di atas prinsip yang jelas: one man, one vote. Dalam logika ini, setiap orang berhak menyuarakan keyakinannya, menyusun kekuatan politik, bahkan memenangkan kontestasi jika mendapat kepercayaan rakyat. Dan jika umat Islam, melalui partai-partai Islam atau tokoh-tokohnya, berhasil membangun pengaruh politik berdasarkan identitas dan nilai mereka, itu bukan ancaman bagi demokrasi—itu justru bukti demokrasi bekerja.

Namun, realitasnya jauh dari harapan. Politisi Islam selalu dibebani standar ganda. Bila berbicara soal keadilan sosial dan ekonomi, mereka diterima. Tapi ketika berbicara atas nama umat, menyebut akhlak, atau memperjuangkan nilai-nilai syariat, mereka langsung dituduh sedang “menyeret agama ke politik”. Tuduhan ini tidak pernah berlaku bagi kelompok lain. Ketika politisi berbasis ideologi kiri atau nasionalisme sekuler menyuarakan nilai-nilai mereka, itu dianggap sah. Tapi giliran Islam yang bicara, dianggap mengancam.

Inilah wajah Islamofobia yang lebih halus, tapi jauh lebih berbahaya. Bukan dalam bentuk pelarangan terang-terangan, tapi dalam bentuk tekanan moral, stigma, dan pembungkaman sistematis terhadap suara politik umat Islam. Ini bukan sekadar diskriminasi, tapi kemunafikan intelektual yang mencoba membatasi Islam dalam ruang pribadi, sambil memonopoli ruang publik untuk ideologi lain.

Dan ironisnya, yang paling gencar mengangkat narasi “bahaya mayoritas” atau “dominasi Islam” adalah mereka yang mengklaim membela demokrasi. Padahal, jika umat Islam sebagai mayoritas menggunakan haknya secara sah dan damai untuk menentukan arah politik bangsa, itu bukan dominasi—itu dinamika demokrasi yang wajar.

Mereka yang takut akan kekuatan politik Islam, sesungguhnya bukan takut karena Islam membawa ancaman, tapi karena Islam membawa kekuatan. Kekuatan yang lahir dari keyakinan, dari akar sejarah panjang umat, dan dari kerinduan akan tatanan politik yang lebih bermoral. Itulah yang mereka takuti. Dan itulah mengapa mereka ingin membatasi Islam hanya sebagai keyakinan privat, bukan sebagai kekuatan publik.

Tapi kita tidak boleh tunduk pada tekanan ini. Sebab bila kita ikut membungkam suara Islam demi tampil moderat di mata publik, maka kita bukan sedang menjaga demokrasi—kita sedang menguburkannya perlahan-lahan. Demokrasi bukan tentang siapa yang boleh bicara, tapi tentang siapa yang didengar rakyat. Dan jika rakyat memilih tokoh Islam, partai Islam, atau agenda Islam, maka itu adalah kehendak demokrasi yang mesti dihormati, bukan dicurigai.

Politisi Islam harus terus melangkah, bukan dengan defensif, tapi dengan keyakinan. Bahwa memperjuangkan Islam secara terbuka, tegas, dan demokratis bukanlah bentuk pemaksaan, tapi bagian sah dari hak berpolitik dalam negara ini. Justru siapa pun yang mencoba membungkam suara Islam dalam politik, merekalah musuh sejati demokrasi.

Chairul Islam
Kader Partai Masyumi
Partai Islam