Indonesiamu, Indonesiaku, Indonesia Kita (3)

December 31, 2024

INDONESIAMU, INDONESIAKU, INDONESIA KITA (3)
Abdullah Hehamahua

Ikrar pertama Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, seperti disinggung dalam seri kedua kemarin adalah: “Kami putra putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.”

Para “founding fathers” kita, baik dalam Badan Persiapan Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) maupun di Panitia Sembilan, melindungi apa yang ada di Tanah Indonesia tersebut.

“Tanah Indonesia” tersebut, selain ditinggali dan dipelihara, sekaligus dieksplorasi apa yang ada bagi kepentingan penghuninya. Proses eksplorasi, baik terhadap apa yang di atas tanah, dalam airnya, maupun di bawahnya. Proses eksplorasi tersebut yang kemudian dalam masyarakat modern dikenal dengan istilah ekonomi.

Ekonomi Menurut Anda

Anda mungkin memahami atau menganggap, ekonomi adalah apa yang disebut Adam Smith, penggagas teori kapitalisme, “Ilmu ekonomi merupakan ilmu sistematis yang mempelajari tingkah laku manusia dalam usahanya untuk mengalokasikan sumber daya yang terbatas untuk mencapai tujuan tertentu.”

Anda, jika berpendapat sama dengan Adam Smith, dikhawatirkan, kawan-kawannya terjebak dalam sistem kapitalisme. Padahal, ajaran ini mengutamakan modal (kapital) daripada manusia sehingga lahirlah adagium: “dengan modal sekecil-kecilnya, mendapat keuntungan sebesar-besarnya.” Bahkan, Adam Smith mengatakan, setiap orang bebas mengejar kepentingan sendiri dengan cara sendiri. Adam Smith juga mengatakan, setiap orang bebas bersaing dengan orang lain di bidang usaha dan pengumpulan modal.

Konsekwensi logisnya, Anda tidak peduli, ada tidaknya suatu Peraturan Perundang-undangan. Padahal, Peraturan Perundang-undangan, mengatur, membolehkan, dan melarang perbuatan tertentu. Dampak negative dari pemikiranmu tersebut, pola hubungan sosial dan politik masyarakat menjadi liberal.

Hal tersebut dibuktikan dengan tiga dari sembilan naga memiliki kekayaan sama dengan yang dimiliki seratus juta rakyat indonesia.

Ekonomi Menurut Aku

Maaf, kita sedikit berbeda sudut pandang. Sebab, menurutku, ekonomi adalah apa yang disebutkan Ibn Khaldun bahwa, kekayaan suatu bangsa terletak dalam kegiatan- kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh penduduknya, bukan dalam jumlah emas dan perak yang dimilikinya.

Allah SWT dalam kontek ini berfirman:

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripadaharta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui”. (QS Al Baqarah: 188).

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka samasuka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.(QS An Nisaa: 29).

“ Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”.( QS Al Baqarah: 275).

Perekonomian Kita: Koperasi

Ekonomi menurut Anda, kutolak. Ekonomi menurutku, mungkin anda kurang paham sehingga masih enggan mengakuinya. Kalau gitu, mari kita merujuk ke konsensus nasional, yakni UUD45.

Komitmen para founding fathers mengenai ekonomi dirumuskan dalam pasal 33 UUD45 yang terdiri dari tiga ayat, yakni: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Bung Hatta, sekalipun berpendidikan barat, tetapi cukup memahami ajaran Islam, khususnya berkaitan dengan perekonomian. Sebab, beliau adalah cucu dari seorang kiyai terkenal di Sumatera Barat. Syekh Abdurrahman bin Abdullah al-Khalidi. Olehnya, sekalipun beliau mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi di Roterdam, Belanda, tapi pemahamannya mengenai ekonomi Islam, cukup baik.

Bung Hatta, sejatinya memeroleh ilmu dari ayahnya, seorang ulama pula, Haji Muhammad Jamil. Ilmu dari kakeknya yang diwariskan melalui ayahnya tersebut, Hatta menyimpulkan, ekonomi Islam adalah koperasi. Berbeda dengan ekonomi barat yang dikenal dengan nama, “kapitalisme.”
Muhammad Jamil mengajarkan Hatta bahwa, perdagangan pada jaman Nabi Muhammad dan para sahabat adalah model koperasi, sistem yang bertentangan dengan perdagangan kaum jahiliah.

Sejarah mencatat, pasar di kota Madinah waktu itu, dikuasai golongan Yahudi yang menerapkan sistem riba, mencurangi timbangan, dan memeras pembali. Itulah sebabnya, Nabi Muhammad perintahkan para sahabat agar membuka pasar sendiri.

Pasar umat Islam ini, tidak boleh menjual barang rusak; Dilarang menggunakan riba; Tidak mencurangi timbangan,
; dan bahkan tidak boleh memeras pembeli.

Maknanya, perbedaan di antara ekonomi kapitalis dan ekonomi Islam seperti amalan di pasar Madinah itu adalah koperasi.

Muhammad Jamil mengisahkan ke anaknya Hatta, cara jual beli di pasar Umat Islam di Madinah tersebut sebagai berikut: Pembeli A, ketika memasuki pasar, langsung membeli barang di penjual B, dekat pintu masuk pasar. Pembeli kesekian misalnya, K, sewaktu belanja sama penjual B, maka K diminta agar membeli di penjual L, tetangganya. Sebab, belim ada pembeli yang membeli barang dagangannya.

Hal yang serupa dilakukan oleh penjual L ke pembeli yang kesekian sehingga semua pedagang di dalam pasar tersebut, laku jualannya.

Itulah hakikat koperasi, perdagangan atas dasar kebersamaan dan kekeluargaan, bukan individualistis serta kapitalistik. Wajar jika Bung Hatta yang kemudian digelar sebagai bapak koperasi karena beliaulah yang mengusulkan pasal 33 UUD 45 di atas. (Bersambung) (Bandung, 30 Desember 2024)