Demokrasi Kita, Demokrasi Siapa?

June 11, 2025

Demokrasi Kita, Demokrasi Siapa?

Sudah lebih dari dua dekade Indonesia mempraktikkan demokrasi pascareformasi. Namun, pertanyaan mendasar kini patut diajukan: apakah demokrasi yang kita terapkan selama ini benar-benar milik kita, ataukah kita sekadar meniru sistem politik asing yang tidak cocok untuk tanah air yg majemuk ini?

Demokrasi Indonesia hari ini lebih menyerupai salinan mentah dari model liberal Barat—terutama Amerika Serikat—yang mengandalkan prinsip one man one vote. Sebuah prinsip yang terdengar mulia, namun dalam praktiknya justru melahirkan politik uang, pencitraan semu, dan kompetisi populer yang kian menjauh dari substansi kedaulatan rakyat.

Akibatnya? Kita menyaksikan panggung politik yang dipenuhi oleh artis, pengusaha, hingga influencer, bukan karena mereka memahami tata kelola negara, tetapi karena mereka “laku dijual”. Sementara itu, para birokrat, akademisi, dan praktisi kebijakan yang mengerti mekanisme pemerintahan justru tersingkir dari gelanggang hanya karena tidak punya “mesin politik” atau “modal kampanye” yang cukup.

Demokrasi liberal boleh jadi lahir dari rahim sejarah Eropa dan Amerika yang homogen secara budaya dan terintegrasi secara geografis. Tapi Indonesia? Kita adalah negeri 17.000 pulau, lebih dari 8000 suku, dan lebih dari 4000 bahasa. Kita bukan daratan tunggal seperti AS, atau kumpulan negara kecil seperti Eropa. Bahkan bila dibandingkan secara luas wilayah dan kompleksitas sosial, Indonesia bisa jadi setara dengan dua puluh negara Eropa digabungkan.
Fakta ini mengindikasikan bahwa sistem politik kita semestinya dibangun atas dasar realitas bangsa sendiri, bukan sekadar meniru sistem luar.

Demokrasi yang kita adopsi hari ini sering kali gagal mengakomodasi keragaman dan mengabaikan kultur kolektif masyarakat Indonesia yang terbiasa dengan musyawarah dan mufakat.

Demokrasi Islam: Solusi dari Rumah Sendiri

Dengan hampir 80% populasi Indonesia beragama Islam, seharusnya bukan hal tabu untuk menjajaki sistem demokrasi yang lebih akrab secara nilai dan budaya. Dalam tradisi Islam, syura atau musyawarah adalah prinsip utama dalam pengambilan keputusan. Model ini menekankan representasi, kolektivitas, dan integritas moral, bukan kompetisi kuantitatif semata.

Demokrasi Islam tidak mengenal politik uang atau adu pencitraan. Yang diprioritaskan adalah kompetensi, kejujuran, dan kemampuan mewakili aspirasi umat.
Inilah model demokrasi yang sebenarnya lebih kontekstual bagi bangsa ini—demokrasi yang tidak hanya sah secara prosedural, tetapi juga benar secara kultural dan spiritual.

Meniru bukanlah hal buruk selama ada penyesuaian. Namun, menelan bulat-bulat sistem luar tanpa mengunyahnya terlebih dahulu, jelas bukan jalan bijak.

Kita perlu mengevaluasi ulang bentuk demokrasi yang kita jalankan hari ini. Demokrasi yang terlalu liberal dalam praktiknya justru meminggirkan rakyat, memanjakan elit, dan menyuburkan oligarki populer.

Indonesia perlu merumuskan model demokrasi sendiri—yang berakar pada budaya lokal, nilai agama mayoritas, dan realitas geografis serta demografis bangsa ini. Mungkin bukan demokrasi Islam dalam bentuk negara agama, tapi demokrasi dengan semangat syura, musyawarah, dan tanggung jawab kolektif.

Sudah saatnya kita bertanya: demokrasi kita ini milik siapa? Dan lebih penting lagi, untuk siapa?

Chairul Islam
Kader Partai Masyumi
Partai Islam