Civil Society (Masyarakat Madani) Perspektif Islam

March 16, 2025

CIVIL SOCIETY (MASYARAKAT MADANI) PERSPEKTIF ISLAM

Dr. Ahmad Yani, SH.,MH
Ketua Umum Partai Masyumi

 

17 Ramadhan 1446 H/17 Maret 2025 M

“Masyarakat kota adalah bermoral (al-Madinah al-Fadilah), sedangkan peraturan-peraturan yang berlaku disana dinamakan politik sipil utopis (al-siyasat al-madaniyah)”
Masyarakat Madani Dalam Rezim Orde Baru
Membicarakan masyarakat madani, sebetulnya yang terpenting dari pembahasan tersebut adalah meyangkut proses demokratisasi yang berlangsung dalam masyarakat. Dalam sistem politik negara yang otoriter, masyarakat madani tidak bisa eksis dan bahkan tidak dapat menjadi dirinya sendiri. Demokrasi mensyaratkan adanya kesediaan tiap individu untuk menerima berbagai pandangan, sikap dan tingkah laku sosial serta terbukanya ruang publik yang bebas, karena itu demokrasi tidak menghalangi pandangan-pandangan alternatif bagi penyelesaian berbagai masalah yang dihadapi oleh negara-bangsa dan tidak ada jawaban yang “mutlak” hanya ada satu terhadap suatu masalah. Kondisi politik yang demokratis dengan kesediaan tiap individu untuk berbeda dalam berbagai masalah yang dihadapi —disitulah masyarakat madani bisa eksis dan menjadi dirinya sendiri.
Perbincangan mengenai masyarakat madani (civil society) mulai populer di Indonesia sekitar tahun 1990-an. Bermula dari seminar nasional yang diselenggarakan oleh Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) di Kupang dengan tema civil society yang diterjemahkan dengan “masyarakat warga atau kewargaan” tahun 1995. Jauh sebelum itu gagasan civil society telah muncul dan berkembang dalam bentuknya yang lain di Indonesia seperti konsep Muhammadiyah mengenai “masyarakat utama” dalam rumusan tujuan organisasi tersebut pada saat Muktamar ke 41 di Solo tahun 1985, dan pada saat yang sama muncul gerakan-gerakan pro-demokrasi yang dianggap pilar dasar bagi bangunan civil society di Indonesia, seperti Fordem (Forum Demokrasi) yang didirikan oleh Gus-Dur, Djohan Effendi, Marsilam Simanjuntak dan beberapa orang tokoh kritis lainnya.
Gagasan mengenai masyarakat madani pertama kali mencuak sebagai perbincangan publik, setelah mantan wakil Perdana Menteri Malaysia Dato Anwar Ibrahim memberikan ceramah pada festival Istiqlal tahun 1995 di Jakarta. Dalam ceramah tersebut dikatakan, bahwa masyarakat madani mendasarkan diri pada agama sebagai sumber, peradaban adalah prosesnya dan masyarakat kota adalah hasilnya. Jadi masyarakat madani merupakan pilar utama bagi upaya untuk mewujudkan peradaban yang maju, yakni peradaban yang menjunjung tinggi pluralisme dan semua golongan dalam masyarakat dapat hidup secara damai dan sejahtera. Masyarakat madani merupakan usaha untuk membentuk peradaban dengan budaya kota yang berkeadaban dan perwujudan masyarakat baldatun thoyyibatun warabaun ghafur.
Konsep civil society yang biasa dipakai oleh para ilmuwan sosial politik di Indonesia sebagai entitas independen dari state diartikan dalam berbagai istilah seperti masyarakat sipil, masyarakat warga atau masyarakat kewargaan. Karena itu civil society dalam kajian ini diterjemahkan sebagai Masyarakat madani, bukan masyarakat sipil, bukan masyarakat warga atau kewargaan atau istilah aslinya civil society. Pemakaian masyarakat madani lebih mendekati esensi dari civil society untuk konteks Indonesia. Menurut Maswadi Rauf, bahwa masyarakat madani lebih dekat dengan konsep pemberdayaan masyarakat yang berkaitan dengan munculnya ketidakpuasan sebagian besar masyarakat atas praktek politik Orba yang telah menjauhkan nilai-nilai demokrasi dan menciptakan rezim otoritarian.
Sebagai kekuatan yang menopang terwujudnya kehidupan yang lebih demokratis, masyarakat madani yang merupakan representasi dari banyak lembaga-lembaga independen diluar state telah mendorong proses politik yang lebih mencerminkan kehendak rakyat. Kekuatan masyarakat madani selama rezim militer Orde Baru tidak mendapat tempat yang layak, karena public sphere dikendalikan, diawasi atau dikontrol secara ketat oleh negara. Pemikiran-pemikiran alternatif dari berbagai aliran dalam masyarakat hampir tidak mendapat tempat yang layak pada masa pemerintahan Orde Baru, semua diseragamkan berdasarkan keinginan penguasa, sehingga para peserta didik disekolah ditatar melalui penataran P4 (pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila).
Sejak tahun 1985, dimana Pancasila menjadi satu-satunya azas bagi seluruh organisasi sosial politik dan keagamaan, maka kegiatan sosial keagamaan juga mengikuti irama yang diterapkan oleh pemerintah. Sebagai respons terhadap kebijakan baru pemerintah yang memberlakukan azas tunggal, maka salah satu ormas Islam yakni Muhammadiyah juga melakukan penyesuaian dengan kebijakan politik pemerintah tersebut. Organisasi ini sebagaimana telah disinggung sebelumnya, merumuskan tujuan baru organisasinya yang relevan dengan arus politik yang terjadi, maka rumusannya menjadi “menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur sebagai ganti dari ………terwujud agama Islam….. Dari gagasan ini, sebetulnya telah nampak, bahwa konsep civil society atau yang digunakan oleh Muhammadiyah sebagai masyarakat utama sudah mulai dibicarakan di Indonesia. Untuk mewujudkan masyarakat utama, Muhammadiyah mengembangkan dan menonjolkan konsep perjuangan amar maruf nahi munkar artinya umat di sadarkan kepada ajaran Islam yang murni —Islam otentik atau dengan kata lain purifikasi. Praktek ibadah yang dilakukan oleh umat yang tidak berdasarkan Al-Quran dan Sunnah harus diluruskan, karena segala perbuatan yang tidak bersumber pada Al-Quran dan Sunnah tidak diterima, apalagi mengada-adakan sesuatu yang tidak ada perintah-Nya disebut bidah. Hal-hal yang termasuk dalam kategori takhayul, bidah dan khurafat harus diberantas habis sehingga sinkretisme tidak mendapat tempat dalam ajaran Islam.
Ketika umat telah menjalankan ajaran Islam secara murni atau Islam yang otentik, maka proses menuju kepada terbentuknya pilar-pilar masyarakat madani akan nampak. Kebersihan keimanan dan keyakinan merupakan syarat penting dalam membangun umat yang kuat, jujur, dapat bersikap adil dalam segala hal, dan memiliki kepribadian yang tinggi, itulah individu yang dikehendaki oleh Islam dalam masyarakat madani, dan manusia akan dapat menciptakan masyarakat yang berkeadaban —masyarakat egalitarianisme.
Bargaining Power Civil Society Terhadap State
Terwujudnya peradaban yang unggul merupakan cita-cita dari masyarakat madani dan cita-cita umat manusia secara keseluruhan. Masyarakat madani (civil society) sebagai entitas tersendiri yang terpisahkan dari masyarakat politik (political society). Masyarakat tidak harus berlawanan atau berhadap-hadapan dengan negara, karena hakekat dari pemerintahan demokratis menghendaki pemerintah untuk memerintah masyarakat madani secara tidak berlebihan, tetapi juga tidak terlalu sedikit, dalam hal ini pemerintah tetap merupakan faktor krusial bagi proses demokratisasi dan reformasi politik yang merupakan agenda bagi berbagai gerakan dan kelompok reformasi dalam masyarakat ke arah pembentukan masyarakat madani. Negara (pemerintah) yang demokratis akan menyelenggarakan tugas-tugasnya melayani publik dan melindungi warga negara dari segala ancaman dan gangguan dari manapun karena negara merupakan representase dari rakyat, sementara masyarakat madani menjadi alat pengawas terhadap berbagai kebijakan negara, masyarakat akan menjadi pengawas tertinggi atas berbagai tindakan, perilaku penguasa atau pemerintah.
Pengawasan masyarakat terhadap negara dilakukan melalui Majelis/Dewan Perwakilan Rakyat yang merupakan lembaga politik resmi yang menjalankan fungsi-fungsi pengawasan/kontrol terhadap pemerintah. Masyarakat yang dapat berperan dalam konteks ini adalah mereka yang telah tercerahkan melalui pendidikan politik artinya adanya kesadaran politik yang tinggi sehingga dengan itu mereka dapat memahami berbagai proses sosial politik yang mengalami perubahan secara cepat, dan perubahan itu jauh lebih kompleks, lebih rumit dari banyak masalah pribadi yang mereka hadapi setaip saat dalam kehidupannya.
Dalam proses pembentukan masyarakat madani, adalah penting suatu pemerintahan politik yang demokratis, kalau sistem politik yang tidak demokratis adalah juga mustahil untuk membangun masyarakat madani yang independen dan mandiri. Menurut Guseppe Di Palma, bahwa masyarakat madani adalah bagian organik sistem demokrasi, yang secara definisi berada dalam posisi perlawanan (opposisisonal) terhadap rezim-rezim absolutis, masyarakat madani adalah musuh alamiah otokrasi, kediktatoran, dan bentuk-bentuk lain yang sewenang-wenang. Liberalisasi politik merupakan faktor terpenting bagi bangunan masyarakat madani, antara negara (pemerintah) dengan gerakan-gerakan pro-demokrasi dan organisasi-organisasi sosial harus membangun hubungan kerjasama yang saling kooperatif dan bukan dalam bentuk konflik.
Masyarakat madani artinya berkembangnya organisasi-organisasi otonom yang memfasilitasi berbagai kegiatan sosial, ekonomi, politik yang tertib (civilized). Kehadiran masyarakat madani yang civilized (berkeadaban) merupakan faktor pendukung bagi proses demokratisnya suatu masyarakat, tanpa masyarakat madani yang tertib, teratur akan sulit menciptakan pemerintahan sipil yang demokratis. Di Iran bais utama masyarakat madani adalah dawrah (secara literal berarti “lingkaran”) yang merupakan kelompok informal individu-individu yang bertemu secara periodik. Kelompok ini dapat terbentuk melalui ikatan-iakatan profesi keagamaan, politik, sosial, dan ekonomi. Para anggota dawrah terlibat dalam berbagai pertukaran informasi dan visi untuk membangun Iran yang lebih civilized dan bebas dari opresi negara.
Intervensi partai politik terhadap masyarakat madani dapat dianggap sebagai ancaman bagi proses demokratisasi. Elemen penting dari masyarakat madani adalah ekonomi pasar, media komunikasi yang independen, faktor-faktor keahlian dalam semua aspek kebijakan pemerintah yang independen dari pengaruh negara, dan terpenting jaringan kelompok-kelompok sukarela yang berkembang secara leluasa pada semua bidang kehidupan sosial, yang dengan itu orang-orang menangani urusan-urusan mereka sendiri. Kesukarelaan dan kemandirian merupakan ciri terpenting dari eksisnya masyarakat madani yang tertib, teratur dan berkeadaban. Antara pemerintahan yang dihasilkan melalui pemilihan yang demokratis akan melakukan kerjasama dengan kelompok masyarakat yang terorganisir.
Seorang pemikir politik terpenting abad ke XX berkebangsaan Italia Antonio Gramsci (1891-1937) mengemukakan gagasannya tentang hegemoni yang merupakan landasan alternatif terhadap teori Marxis. Pandangan Gramsci mengenai masyarakat madani memiliki kesamaan dengan gerakan sosial, bagi Gramsci dizamannya terjadi konfliktual dan dialektika antara “negara” (state) dan “masyarakat madani” (civil society) dalam analisisnya tentang supremasi dan hegemoni. Gramsci mengatakan seperti yang dikutip oleh Mansour Fakih
Apa yang dapat kita kerjakan, sejenak adalah menyediakan dua “aras” superstruktur, satu yang dapat disebut “masyarakat sipil (madani)”, yakni esemble organisme yang biasanya disebut “privat”, dan aras lain yaitu “masyarakat politik” atau “negara”. Dua aras ini pada satu sisi hubungan dengan fungsi hegemoni dimana kelompok dominan menjalankan seluruh masyarakat dan sisi lain berhubungan dengan “dominasi langsung” atau perintah yang dijalankan melalui negara dan pemerintahan “juridis”

Antara masyarakat madani dengan negara merupakan dua entitas yang berbeda. Yang satu merupakan lingkungan privat dan arena publik yang bebas untuk mengartikulasikan berbagai sikap-sikap politik, masyarakat madani merupakan arena transformasi sosial politik menuju pada perubahan yang lebih demokratis, sementara yang lain (negara) merupakan arena publik yang dikontrol melalui hegemoni oleh kekuasaan negara. Bagi Gramsci masyarakat madani adalah suatu dunia dimana rakyat membuat perubahan dan sejarah masa depan masyarakat mereka.
Secara rinci Nurcholis Madjid memberikan kerangka konsep untuk memahami istilah masyarakat madani dalam kaitannya dengan proses perubahan masyarakat menjadi lebih demokratis
Bahwa demokrasi sebagaimana yang dipahami di negara maju harus punya “rumah”, maka rumahnya adalah “masyarakat madani” (civil society), dimana berbagai macam perserikatan, klub, gilda, sindikat, federasi, persatuan, partai, dan kelompok-kelompok bergabung menjadi perisai antara negara dan warga negara. Keberadaan dari masyarakat madani mendorong proses demokratisasi, karena yang menjadi inti dari konsep ini adalah terbukanya ruang publik bagi keterlibatan rakyat, masyarakat madani adalah bagian yang tak terpisahkan dari demokrasi dan sekaligus menjadi lawan bagi rezim-rezim absolutis.
Eksisnya masyarakat madani adalah terbukanya public sphere (ruang publik) secara luas yang menyebabkan masyarakat (rakyat) dapat terlibat secara aktif dalam mendorong demokratisasi, antara masyarakat madani dengan demokrasi merupakan dua hal yang sulit untuk dipisahkan, keduanya merupakan musuh dari rezim-rezim absolutis. Rezim otoriter (totalitarianisme) berusaha untuk mematikan ruang publik dan segala pemikiran-pemikiran kritis, organisasi sosial, dan asosiasi lainnya dikontrol secara ketat oleh negara, karena itu independensi masyarakat madani hilang, karena dikooptasi oleh negara. Keswadayaan, kesukarelaan, dan kemandirian adalah hal yang sulit dipisahkan dari masyarakat madani. Hikam mengatakan, bahwa masyarakat madani (civil society) didefinisikan sebagai wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dengan ciri-ciri kesukarelaan, keswadayaan, keswasembadaan, dan kemandirian berhadapan dengan negara,.. kebersamaan, kepercayaan, tanggungjawab, toleransi, kesamarataan, kemandirian, dan seterusnya merupakan esensi dalam sebuah civil society yang mandiri dan kuat
Masyarakat madani berfungsi sebagai pengawasan terhadap pelaksanaan pemerintahan negara, kehadiran masyarakat madani yang kuat akan menjadi alat kontrol terhadap kekuasaan negara, dan negara harus menyediakan tempat bagi eksisnya masyarakat madani. Negara tidak mempunyai alasan untuk mendikte masyarakat agar mau mengikuti kehendaknya, karena kehadiran masyarakat madani merupakan entitas yang terlepas dari pengaruh negara (political society)
Dalam sejarah Indonesia modern kita dapat melacak perkembangan masyarakat madani sebagai piranti bagi lahirnya rezim semena-mena (otoriter), untuk itu dapat di bagi kedalam tiga fase sesuai dengan perubahan rezim politik atau pengalihan kekuasaan tiap rezim. Pertama, periode Orde Lama, pada periode ini negara maupun masyarakat madani masih mencari identitas yang tepat, walaupun masyarakat madani telah eksis melalui berbagai gerakan sosial keagamaan sebelum kemerdekaan, seperti kita kenal dengan syarikat Islam, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama (NU), JIB, Majlis Islam Ala Indonesia (MIAI), Pelajar Islam Indonesia (PII) dan lain-lain. Semua gerakan Islam tersebut merupakan pilar terbesar bagi lahirnya negara Indonesia merdeka. tetapi rumusan ideologi gerakan untuk melakukan transformasi dan membuat sejarah masa depan bangsa yang lebih maju masih mencari formulasi yang tepat. Sehingga periode ini merupakan periode konsolidasi semua komponen termasuk negara dengan masyarakat dalam menghadapi berbagai pemberontakan dan keinginan pihak asing untuk kembali menjajah Indonesia.
Kedua, periode Orde Baru. Pada periode ini pemerintah (negara) hadir sebagai kekuatan yang dominan, kuat, dan mempunyai daya paksa yang tinggi, sementara masyarakat madani hadir sebagai kekuatan yang sangat marjinal, lemah, dan tidak mempunyai kekuatan apapun ketika berhadapan dengan negara. Hubungan antara masyarakat madani dan negara boleh dibilang strong and weak society. Praxis masyarakat madani pada periode ini tidak bisa tumbuh dengan memadai. Sifat represif negara dimulai dari masa tertib politik tahun 1973 yang membolehkan hanya ada dua partai politik dan Golongan Karya, dan pemberlakuan azas tunggal pada tahun 1985. dua kebijakan politik ini telah membelenggu kreatifitas rakyat dan mematikan pemikiran-pemikiran alternatif bagi bangunan Indonesia yang demokratis sebagai harapan dari mayoritas rakyat. Tetapi kita harus sadar, bahwa perilaku rezim otoriter memang demikian dan tidak ada tempat bagi mereka yang tidak setuju dengan kebijakan negara. Alasan pemerintah bertindak represif adalah untuk menjaga keamanan stabilitas nasional, sehingga pembangunan ekonomi berjalan tanpa gangguan, sementara pembangunan politik di abaikan alias di matikan.
Ketiga, periode reformasi (setelah runtuhnya Orde Baru). Periode ini ditandai oleh adanya hubungan antara masyarakat madani dan negara yang seimbang, muncul gerakan-gerakan pro-demokrasi, asosiasi-asosiasi bermunculan, lembaga-lembaga swadaya tumbuh dan kelompok-kelompok kepentingan hadir sebagai jawaban atas munculnya kebebasan yang selama lebih dari 30 tahun tidak dirasakan oleh masyarakat. Dalam kondisi seperti ini, masyarakat madani hadir sebagai kelompok yang mendorong kepada perubahan dan transformasi sosial rakyat. Negara masih punya kewenangan untuk mengatur masyarakat madani, dan masyarakat madani mempunyai daya kontrol yang kuat terhadap negara. Hubungan antara masyarakat madani dengan negara dalam posisi yang seimbang dan tidak ada pihak yang merasa tertekan dan tidak ada pihak yang menekan
Antara negara (state) dan masyarakat (society) harus terjadi check and balance dalam mencapai kehidupan politik yang demokratis. Dalam sistem demokratis, pemerintah menjalankan kekuasaan berdasarkan nilai-nilai keadilan, tunduk dan taat serta patuh kepada hukum, dengan berpegang pada keadilan dan kepatuhan dan tunduk kepada hukum kehidupan bernegara berjalan diatas kepentingan masyarakat dan bukan berdasarkan segelintir kepentingan kelompok dan individu.
Masa depan masyarakat madani akan sangat ditentukan oleh dua hal; pertama, kesiapan warga masyarakat sendiri untuk memainkan peran yang aktif sehingga dianggap cukup kuat oleh pihak negara; kedua, sikap penguasa politik. Kalau penguasa politik bertindak berlebihan akan menghambat tumbuhnya masyarakat madani, tetapi kalau penguasa bertindak bijak, arif dan demokratis akan membuat posisi masyarakat madani kuat dan diperhitungkan. Kehadiran masyarakat madani merupakan sesuatu yang penting untuk mendukung proses demokratisasi atau menciptakan kehidupan masyarakat menjadi lebih berkeadaban. Terbentuknya masyarakat madani merupakan bagian mutlak dari ciri-ciri kenegaraan, yaitu mewujudkan keadilan sosial.
Dalam tradisi Islam dikenal oleh dunia, bahwa Nabi Muhammad ketika pertama kali datang (hijrah) ke Yastrib (Madinah) yang dikerjakan adalah membangun masjid sebagai pusat segala kegiatan termasuk urusan ekonomi dan politik. Hal ini menandakan, bahwa Nabi memang memberikan perhatian kepada pembentukan karakter manusia yang ber-Tauhid, manusia yang memiliki akhlak mulia, manusia yang dapat berlaku jujur dalam kehidupannya. Perhatian Nabi pada pembentukan manusia yang demikian berimplikasi kepada kehidupan sosial kemasyarakatan, karena manusia adalah mahluk sosial yang perlu berinteraksi dengan orang lain atau dunia diluar dirinya. Istilah Madinah biasa diartikan dengan kota, tetapi banyak ahli yang juga mengatakan bahwa Madinah itu bermakna “peradaban”. Masyarakat yang hidup bersama Nabi adalah potret masyarakat yang patut dicontoh oleh manusia yang hidup setelahnya. Risalah Islam disampaikan oleh Nabi di Mekah yang menghabiskan waktu belasan tahun tetapi tidak memberikan hasil yang menggembirakan, maka setelah dilakukan Hijrah ke Yastrib (Madinah) sebuah kota waha atau oase yang subur sekitar 400 Km sebelah utara Mekah, dakwah Islam berkembang pesat dan berpengaruh luas. Di kota ini pula Nabi membangun masyarakat madani yang demokratis dan tidak ada diskriminasi atas golongan tertentu, segala urusan sosial, politik dan pertahanan menjadi tanggungjawab bersama masyarakat.
Masyarakat yang di bangun oleh Nabi adalah masyarakat yang berbudi luhur, bermoral tinggi dan itulah masyarakat madani yang berperadaban.Masyarakat madani yang diwarisi oleh Nabi tersebut menurut Madjid bercirikan egalitarianisme, penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan prestise seperti keturunan, kesukuan, ras, dan lain-lain), keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat, dan penentuan kepemimpinan melalui pemilihan, bukan berdasarkan keturunan. Prototipe masyarakat yang dibangun oleh Nabi tersebut tidak berlangsung lama, karena berlangsung sampai kepemimpinan Islam (masa khulafaur Rasyidun), setelah itu masyarakat di jazira Arabiah yang telah ditaklukan oleh Nabi kembali kepada sistem sosial yang berlandaskan keturunan, suku, ras dan etnik. Semangat egalitarianisme Islam hilang dalam kehidupan masyarakat. Dinasti-dinasti yang terbentuk setelah itu sebagai contoh terbaik, betapa spirit Islam telah terganti oleh sistem yang berdasarkan garis keturunan dan geneologis.
Kondisi masyarakat seperti tersebut berlangsung dalam waktu yang lama, bahkan hingga saat ini umat Islam masih harus berdebat tentang bagaimana perwujudan Islam yang tepat untuk kondisi global yang semakin mengukuhkan hegemoni Barat atas dunia-dunia Islam. Tetapi harus pula disadari, pemikir-pemikir Islam terkemuka muncul dari dinasti-dinasti tersebut seperti dinasti Muawiyah dan dinasti Abbasyiyah yang berkuasa lebih dari IX abad. Dunia intelektual Islam yang telah melahirkan banyak karya-karya penting bagi peradaban Islam masa depan justru muncul dari sistem politik totalitarian dan Islam dapat berkembang luas dengan sistem politik demikian, Islam dapat sampai ke India, Afrika, Asia hingga Islam sampai ke Indonesia berkat kerja kerajaan-kerajaan Islam atau dinasti-dinasti tersebut —terutama dinasti Abbasyiyah.
Islam telah dengan baik memberikan gambaran mengenai bentuk masyarakat yang hendak diwujudkan diatas cita-cita etis Islam. Nabi Muhammad s.a.w. Rasul utusan Allah yang merupakan contoh dan teladan umat Islam telah meletakan dasar-dasar bagi bangunan masyarakat yang ideal, karena itu umat Islam harus dapat mentransformasikan gagasan-gagasan aktual Islam dalam kehidupannya. Sebuah konstruksi masyarakat madani yang demokratis tidak akan dapat terwujud diatas sistem sosial politik yang otoriter, paternalistik dan feodal. Wawasn etis dan moral menjadi penting bagi munculnya masyarakat yang berperadaban, Madjid mengatakan
Masyarakat yang demokratis berpangkal dari keteguhan wawasan etis dan moral berazaskan ketuhanan Yang Maha Esa. Masyarakat demokratis tidak akan mungkin tegak tanpa masyarakat yang berperadaban, masyarakat madani. Berada di lubuk paling dalam dari masyarakat madani adalah jiwa madaniyyah, civil society, yaitu keadaban itu sendiri.
Nilai keadaban akan menghasilkan interaksi sosial yang positif anatara berbagai faksi-faksi dan kelompok-kelompok dalam masyarakat, mereka saling menghargai pendapat yang berbeda dan tidak mengklaim pendapatnyalah yang paling benar dan yang lain adalah salah. Jadi akan menghasilkan sikap toleransi terhadap berbagai keragaman sosial, ekonomi, politk, agama dan etnik. Mereka menganggap pluralisme sebagai sesuatu yang telah dinyatakan oleh Allah dalam Al-Quran, karena itu mereka menerima paham pluralisme secara positif dan berinteraksi secara baik dalam masyarakat madani.
Nilai-nilai demokratis yang dapat terwujud dari jenis interaksi masyarakat yang demikian akan membawa kepada konstruksi masyarakat baru yang berlandaskan moral dan etis. Islam memandang secara positif pluralisme dan hal itu telah dilakukan oleh Nabi, khulafaur Rasyidun dan pemimpin-pemimpin Islam setelah itu, artinya mereka yang mewarisi keteladanan dari Nabi dan membangun masyarakat politik yang demokratis dan bukan negara kerajaan atau kekuasaan yang di wariskan.
Penguatan Civil Society : Prasyarat Menuju Demokrasi
Transisi politik yang telah dimulai sejak kejatuhan rezim otoritarian Orde Baru tahun 1998 belum sepenuhnya mampu membawa kepada perbaikan berbagai keadaan yang memungkinkan masyarakat dapat dengan bebas melakukan berbagai kegiatan tanpa merasa tertekan atau takut kepada pihak lain diluar dirinya, seperti negara. Dalam transisi menuju demokrasi, terdapat dua kemungkinan; pertama, transisi yang dilakukan akan menuju kepada proses politik yang demokratis —itu artinya kelompok reformis memperoleh kemenangan dan penggiat demokrasi akan merasa leluasa mengembangkan berbagai isu populis yang mencerahkan. Kedua, atau proses politik yang berlangsung justru memperkuat kalangan status quo, akibatnya reformasi mengalami kemacetan dan bahkan mungkin akan kembali rezim totalitarian baru yang lebih represif dari rezim sebelumnya.
Reformasi telah berjalan sekitar enam (6) tahun, tetapi perilaku politik, kondisi sosial, sistem politik, penegakan hukum, pembangunan masyarakat (SDM), kalangan civil society, economic society, political society, dan lain-lain masih tetap saja dalam keadaan statis. Fenomena demikian nampak dalam segala segmen kehidupan bangsa ini, bahwa perilaku dan praktek politik kalangan elit semakin menguatkan dugaan —bahwa transisi politik hampir mengalami kegagalan, meskipun tidak seluruhnya demikian, karena amandemen, perubahan Undang-undang partai politik, pemilu, dan susduk DPR/DPD/DPRD menunjuk-kan adanya perbaikan. Perubahan pada tingkat normatif tersebut, belum sepenuhnya mampu membongkar penyimpangan dalam proses penyelenggaraan kekuasaan negara. Tulisan sederhana ini akan menganalisa seputar kondisi domestik kelompok penggiat demokrasi dan kalangan civil society dalam enam tahun terakhir pasca kejatuhan rezim Orde Baru. Apakah proses politik yang berlangsung akan mampu mengantarkan bangsa ini kepada proses politik yang lebih demokratis atau justru memperkuat posisi para politisi diasporal yang mendukung status quo?
Civil Society : Prasyarat Menuju Demokrasi
Civil society yang bercirikan kesukarelaan, keswadayaan, dan kemandirian —terlepas dari kehidupan political society dan economic society merupakan harapan terbesar dari proses menuju kehidupan politik yang lebih demokratis, kehidupan yang penuh dengan keadaban atau masyarakat yang beradab (civic society). Dalam masyarakat beradab segala sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan bersama seperti yang terjadi di masa kenabian, bahwa seluruh komponen yang terdapat didalamnya harus tunduk dan taat kepada norma yang telah disepakati. Meskipun dalam masyarakat beradab itu terdapat berbagai asosiasi (civic organization) yang menjadi pelayan bagi anggotanya. Stepan mendefinisikan masyarakat beradab sebagai :
Masyarakat beradab adalah arena tempat terdapat banyak sekali gerakan sosial (seperti persatuan atas dasar kekerabatan, perhimpunan wanita, kelompok-kelompok agama, dan organisasi cendekiawan) dan organisasi-organisasi kemasyarakatan (civil organization) dari berbagai golongan dan kelompok profesi (seperti persatuan sarjana hukum, persatuan wartawan, serikat pekerja, asosiasi pengusaha, dan lain-lain) yang mencoba membentuk diri mereka di dalam suatu keteraturan supaya mereka dapat menyatakan dirinya dan menyalurkan kepentingan-kepentingannya
Untuk menguatkan posisi masyarakat beradab, media massa yang otonom, independen dan bebas merupakan sesuatu yang perlu diadakan bagi upaya membangun iklim politik yang demokratis. Setiap gerakan sosial, asosiasi yang tersedia dalam masyarakat akan memainkan kartu-kartu penting mereka bagi terwujudnya penyelenggaraan negara yang bertanggungjawab. Mereka akan melakukan koreksi, kritik dan demonstrasi untuk memperbaiki perjalanan politik di negara mereka. Gerakan sosial yang tersedia akan memiliki peluang untuk menjadi penguasa, meskipun bukan dengan cara yang lazim dilakukan oleh masyarakat politik.
Perjuangan untuk menegakkan demokrasi yang menjadi proyek besar dari seluruh rezim transisi yang berupaya untuk menciptakan kehidupan politik agar lebih demokratis adalah perlu adanya masyarakat politik yang demokratis, parati-partai politik yang demokratis, asosiasi yang demokratis, masyarakat yang bebas, pers yang independen, serta mekanisme kampanye politik harus melalui persaingan (kompetisi) yang teratur, bebas, jujur, adil, dan dalam suasana damai. Selain itu, transisi politik juga harus mampu menciptakan masyarakat yang beradab, yakni masyarakat yang bersemangat, gigih, pluralis, moderat, inklusif, dan moralis, tanpa melibatkan masyarakat beradab seperti tersebut akan sulit untuk memperoleh kehidupan politik yang demokratis.
Masyarakat beradab yang akan mensuplay banyak manfaat bagi pengembangan demokrasi agar tumbuh iklim yang normal sebagaimana yang biasa diharapkan dalam sistem politik yang demokratis,setidaknya dibutuhkan beberapa hal sebagaimana dilaporkan oleh Diamond; pertama, sebagai wahana sumber daya —politik, ekonomi, kebudayaan, dan bahkan moral —untuk mengawasi dan menjaga keseimbangan di antara para pejabat negara. Kedua, perlu ada kanekaragaman dan pluralisme yang bermuara kepada kompetisi yang demokratis, tanpa pluralisme sulit untuk membentuk suatu proses politik yang demokratis. Para aktifis lingkungan, serikat pekerja, asosiasi profesional, himpunan dan kelompok tani, gerakan mahasiswa, dan sebagainya dapat mengemukakan pendapat mereka yang beraneka-ragam. Ketiga, adanya hubungan yang saling mendukung antara masyarakat beradab dan politik, masyarakat juga akan memperkaya peranan partai dalam hal partisipasi. Menurut Tocqueville, bahwa terdapat hubungan simbiosis yang saling memperkokoh antara partisipasi dalam masyarakat beradab dengan partisipasi dalam kehidupan politik ; “Oleh karena itu, asosiasi-asosiasi yang beradab (civil association) mempercepat tumbuhnya asosiasi-asosiasi politik; tetapi, pada pihak lain asosiasi politik lalu memperkuat dan memperbaiki asosiasi-asosiasi untuk tujuan-tujuan sipil …kehidupan politik membuat rasa suka dan praktik asosiasi menjadi lebih merakyat….”
Kolaborasi politik antara masyarakat dengan politik seringkali menjadi sebab bagi menguatnya praktek politik yang tidak sehat, bahkan cenderung korup, meskipun kolaborasi yang terjadi dalam banyak negara transisi tetap menciptakan kelompok sosial yang kritis dan bersedia berperan sebagai “oposisi” terhadap rezim. Menurut Tocqueville kolaborasi antara asosiasi masyarakat dengan politik seringkali melahirkan sikap khawatir, kalau perse-kutuan beradab (civil partnership) akan menyebabkan mereka mengalami kerugian finansial
Keempat, kalau kondisi gerakan sosial dan asosiasi yang menuntut terlalu banyak akan melahirkan suasana “tidak terkendali”. Kebebasan berserikat, setelah mengagitasi masyarakat selama beberapa waktu —pada akhirnya akan memperkuat negara. Dengan memberikan kepada masyarakat pemahaman yang mendalam, suatu masyarakat akan menjadi kaya dalam partisipasi dan dengan demikian ikut menjaga stabilitas negara. Kelima, merekrut dan melatih pemimpin politik yang baru. Mereka yang bakal menjadi pemimpin politik akan lahir dari berbagai asosiasi yang tersedia dalam masyarakat, dengan bekal sebagai pemimpin asosiasi atau organisasi non-politik, akan memperoleh pengakuan pula sebagai pemimpin di bidang politik. Keenam, untuk menghalangi dominasi suatu rezim otoriter dan mempercepat berakhirnya rezim itu dari kekuasaannya, diperlukan gerakan moral bersama sebagai bentuk ketidak-puasan terhadap rezim otoriter.
Kelahiran kembali gerakan sosial baru sebagai respons atas represifnya rezim politik yang otoriter akan mempercepat runtuhnya rezim lama —segera menuju rezim baru yang demokratis. Masyarakat beradab merupakan prasyarat penting bagi kehadiran kehidupan politik yang demokratis. Kesadaran masyarakat muncul di berbagai segmen kehidupan seperti digambarkan oleh ODonell dan Schmitter “munculnya kembali dengan tiba-tiba buku dan majalah yang berisikan tema-tema yang telah lama mendapat tekanan sensor; berubahnya arah gerakan lembaga-lembaga seperti serikat pekerja, lembaga-lembaga profesi, dan kalangan akademisi dari alat pemerintah menjadi alat penyalur aspirasi dan penyalur kepentingan yang berbalik menghantam rezim; munculnya organisasi-organisasi yang berakar pada masyarakat yang menyuarakan tuntutan yang telah sekian lama terpendam; pernyataan-pernyataan keprihatinan yang menyangkut masalah etis oleh kelompok-kelompok agama dan kelompok rohaniawan yang dulu hanya ditampung saja oleh penguasa”. Perubahan arus besar yang terjadi dalam praktek politik, disebabkan oleh melemahnya pengaruh figur personal serta kuatnya tuntutan yang berkembang dalam masyarakat —didukung oleh momentum krisis seperti krisis legitimasi, krisis kepercayaan, krisis moral, krisis, ekonomi, dan krisis politik itu sendiri.
Penguatan posisi masyarakat ketika berhadapan dengan politik (negara) menjadi penting dalam masa transisi, setelah sebelumnya —kalangan civil society selalu berada dalam kooptasi negara, posisi negara yang begitu kuat, menyebabkan civil society tidak berdaya dan bahkan sulit untuk menjadi dirinya sendiri. Selain penguatan posisi masyarakat, juga diarahkan untuk membangun masyarakat yang berkeadaban, masyarakat yang didalamnya taat kepada norma-norma moral. Sebab masyarakat tidak bisa dengan begitu saja bebas, tetap saja mereka diatur oleh negara. Negara tanpa civil society sama saja dengan diktator-otoriter, dan civil society tanpa negara sama dengan anarki, antara negara dan civil society terjalin hubungan simbiosis yang saling membutuhkan.
Transisi politik yang terjadi sejak tahun 1998, telah berhasil mendorong peran-peran strategis kelompok masyarakat; ditandai dengan terjadinya ledakan partisipasi yang didukung oleh semangat euforia politik yang disusul dengan era yang biasa juga disebut dengan era “mabuk politik dan demokrasi”. Kebebasan yang ditandai dengan lahirnya asosiasi, laskar, front dan LSM hingga ribuan, meskipun kelahiran mereka didukung oleh kepentingan luar dan ideologi tertentu, tetapi juga patut disambut, bahwa kebebasan tengah diperoleh bangsa ini setelah sekian lama berada dalam rezim represif.
Ledakan partipasi masyarakat tidak saja berdampak positif bagi menguatnya posisi masyarakat ketika berhadapan dengan negara atau political society, tetapi juga mengkhawatirkan —sebab kebebasan tanpa “batas” baik dari segi norma etis agama maupun norma ketimuran, telah melahirkan berbagai perilaku yang mengarah kepada melemahnya semangat untuk mendorong demokratisasi itu berjalan dengan baik. Sebab lain adalah timbulnya konflik, selain konflik lama, kini timbul lagi konflik baru dalam masyarakat beradab yang pluralis meskipun telah menyatukan tekad dan terikat pada demokrasi dan merasa memperoleh sedikit dalam kebersamaan.
Dalam rangka mengawal proses politik yang demokratis, kehadiran pers menjadi penting dengan membawa misi yang tidak hanya sekedar menyampaikan berita tetapi melaporkan fakta otentik tentang suatu peristiwa. Tugas untuk melaporkan fakta bukanlah tugas yang mudah dalam kondisi politik yang carut-marut dan ketidak-adilan ada dimana-mana. Di Afrika Selatan dan Kolombia misalnya, para wartawan menjadikan pers sebagai senjata untuk menyatakan pendapat, dan untuk memobilisasi masyarakat, mereka tanpa mengabdikan diri secara jujur, penuh, dan benar dalam hal melaporkan fakta. Pers di Indo-nesia masih melaporkan fakta dan sumber berita, tetapi kerapkali diplintir sesuai dengan kepentingan media massa. Pers yang demokratis adalah pers yang berani melaporkan fakta, menafsirkan, dan siap mengambil resiko dari tafsirnya. Itulah yang dialami oleh majalah Tempo tahun 1994 yang melaporkan fakta dan menafsirkan, resikonya dibredel oleh negara
Setiap wartawan siap mengambil resiko yang berat sekalipun dalam menjalankan tugas jurnalistiknya guna menciptakan masyarakat yang baik, meskipun berhadapan dengan negara, kekerasan, intimidasi, teror atau maut sekalipun. Itulah yang dialami oleh Ersa Siregar (koresponden RCTI) yang tewas dalam tugasnya sebagai jurnalisme di Aceh. Dan diberbagai negara seperti di delapan negara di Amerika Latin, Eropa Selatan, Afrika, Filipina dan Indonesia sendiri telah memakan korban, baik penganiayaan maupun jiwa.
Islam, Muhammadiyah dan Masyarakat Madani (Civil Society)
Gagasan mengenai civil society dalam konteks budaya politik Indonesia relatif baru, sekitar tahun 1990-an, setelah Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) melaksanakan seminar nasional di Kupang tahun 1995 yang mengangkat isu seputar civil society yang dimaknai sebagai masyarakat kewargaan atau masyarakat warga. Meskipun seminar nasional AIPI bukanlah yang pertama menggemakan isu civil society, pada festival Istiqlal juga meluncur gagasan serupa, yakni masyarakat madani yang disampaikan oleh mantan Wakil Perdana Menteri Malaysia Dato Anwar Ibrahim. Dikatakannya, bahwa masyarakat madani (civil society) mendasarkan diri pada agama sebagai sumber, peradaban adalah prosesnya dan masyarakat kota adalah hasilnya. Jadi masyarakat madani merupakan pilar utama bagi upaya untuk mewujudkan peradaban yang maju, yakni peradaban yang menjunjung tinggi pluralisme dan semua golongan dalam masyarakat dapat hidup secara damai dan sejahtera. Masyarakat madani merupakan usaha untuk membentuk peradaban dengan budaya kota yang berkeadaban dan perwujudan masyarakat baldatun thoyyibatun warabaun ghafur.
Terwujudnya peradaban yang unggul merupakan cita-cita dari masyarakat madani dan cita-cita umat manusia secara keseluruhan. Masyarakat madani (civil society) sebagai entitas tersendiri yang terpisahkan dari masyarakat politik (political society). Masyarakat tidak harus berlawanan atau berhadap-hadapan dengan negara, karena hakekat dari pemerintahan demokratis menghendaki pemerintah untuk memerintah masyarakat madani secara tidak berlebihan, tetapi juga tidak terlalu sedikit, dalam hal ini pemerintah tetap merupakan faktor krusial bagi proses demokratisasi dan reformasi politik yang merupakan agenda bagi berbagai gerakan dan kelompok reformasi dalam masyarakat ke arah pembentukan masyarakat madani. Negara demokratis akan menyelenggarakan tugas-tugasnya melayani publik dan melindungi warga negara dari segala ancaman dan gangguan dari manapun karena negara merupakan representase dari rakyat, sementara masyarakat madani menjadi alat pengawas terhadap berbagai kebijakan negara, masyarakat akan menjadi pengawas tertinggi atas berbagai tindakan, perilaku penguasa atau pemerintah.
Pengawasan masyarakat terhadap negara dilakukan melalui Badan Perwakilan Rakyat yang merupakan lembaga politik resmi yang menjalankan fungsi-fungsi pengawasan/ kontrol terhadap pemerintah. Masyarakat yang dapat berperan dalam konteks ini adalah mereka yang telah tercerahkan melalui pendidikan politik artinya adanya kesadaran politik yang tinggi sehingga dengan itu mereka dapat memahami berbagai proses sosial politik yang mengalami perubahan secara cepat, dan perubahan itu jauh lebih kompleks, lebih rumit dari banyak masalah pribadi yang mereka hadapi setiap saat dalam kehidupannya.
Dalam proses pembentukan masyarakat madani, adalah penting suatu pemerintahan politik yang demokratis, kalau sistem politik yang tidak demokratis adalah juga mustahil untuk membangun masyarakat madani yang independen dan mandiri. Menurut Guseppe Di Palma, bahwa masyarakat madani adalah bagian organik sistem demokrasi, yang secara definisi berada dalam posisi perlawanan (opposisional) terhadap rezim-rezim absolutis, masyarakat madani adalah musuh alamiah otokrasi, kediktatoran, dan bentuk-bentuk lain yang sewenang-wenang. Liberalisasi politik merupakan faktor terpenting bagi bangunan masyarakat madani, antara negara (pemerintah) dengan gerakan-gerakan pro-demokrasi dan organisasi-organisasi sosial harus membangun hubungan kerjasama yang saling kooperatif dan bukan dalam bentuk konflik.
Masyarakat madani artinya berkembangnya organisasi-organisasi otonom yang memfasilitasi berbagai kegiatan sosial, ekonomi, politik yang tertib (civilized). Kehadiran masyarakat madani yang civilized (berkeadaban) merupakan faktor pendukung bagi proses demokratisnya suatu masyarakat, tanpa masyarakat madani yang tertib, teratur akan sulit menciptakan pemerintahan sipil yang demokratis. Di Iran basis utama masyarakat madani adalah dawrah (secara literal berarti “lingkaran”) yang merupakan kelompok informal individu-individu yang bertemu secara periodik. Kelompok ini dapat terbentuk melalui ikatan-ikatan profesi keagamaan, politik, sosial, dan ekonomi. Para anggota dawrah terlibat dalam berbagai pertukaran informasi dan visi untuk membangun Iran yang lebih civilized dan bebas dari opresi negara.
Intervensi partai politik terhadap masyarakat madani dapat dianggap sebagai ancaman bagi proses demokratisasi. Elemen penting dari masyarakat madani adalah ekonomi pasar, media komunikasi yang independen, faktor-faktor keahlian dalam semua aspek kebijakan pemerintah yang independen dari pengaruh negara, dan terpenting jaringan kelompok-kelompok sukarela yang berkembang secara leluasa pada semua bidang kehidupan sosial, yang dengan itu orang-orang menangani urusan-urusan mereka sendiri. Kesukarelaan dan kemandirian merupakan ciri terpenting dari eksisnya masyarakat madani yang tertib, teratur dan berkeadaban. Antara pemerintahan yang dihasilkan melalui pemilihan yang demokratis akan melakukan kerjasama dengan kelompok masyarakat yang terorganisir.
Muhammadiyah sendiri telah menggagas hal serupa pada saat organisasi menyatakan penerimaannya terhadap azas tunggal tahun 1985, dari Muktamar ke-41 tersebut muncul gagasan mengenai masyarakat utama sebagai tujuan Muhammadiyah sebagai ganti dari konsep masyarakat Islam yang sebenar-benarnya —menjadi …. masyarakat utama yang di ridhai Allah SWT. Gagasan Muhammadiyah mendekati makna inti dari konsep civil society.
Sepintas dapat di cermati mengenai konsep masyarakat Utama yang bermula, ketika Muhammadiyah menyelenggarakan Muktamar ke- 41 di Solo pada tanggal 7-14 Desember 1985 di tengah politik hegemonik negara yang begitu kuat. Pada Muktamar tersebut Muhammadiyah merubah tujuan organisasi dari “Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” menjadi “Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Utama, adil dan makmur yang diridhoi oleh Allah SWT”. Perubahan tujuan Muhammadiyah tersebut merupakan respons langsung terhadap pemberlakukan azas tunggal Pancasila sebagai azas organisasi sosial, politik, kemasyarakatan dan keagamaan. Lahirnya konsep masyarakat utama (Al-Mujtamah al-Fadil) merupakan upaya Muhammadiyah menyesuai-kan diri dengan kebijakan politik negara. Masyarakat utama itu sendiri merupakan refleksi Muhammadiyah terhadap cita-cita sosial Islam, kemampuan organisasi dalam mengaktual-kan cita-cita sosial Islam dalam konteks perubahan sosial dan politik mencerminkan adanya dinamika yang efektifitas dalam organisasi.
Masyarakat utama yang hendak diwujudkan oleh Muhammadiyah, tidak terlepas dari semangat monoteistik (Islam) dan masyarakat yang di idamkan itu juga merupakan masyarakat yang ideal. Upaya menciptakan masyarakat yang demikian, harus didukung oleh berbagai tatanan sosial, sistem sosial, yang memungkinkan warga masyarakat hidup sejahtera lahir dan batin. Ini bersrti cita-cita dari masyarakat utama adalah untuk mewujudkan suatu sistem sosial yang memberi kemudahan, perlindungan, persamaan, kemerdekaan, dan setiap individu terbebas dari belenggu kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan. Setelah sistem sosial tercipta, maka budaya yang harus hidup dalam masyarakat tersebut, harus juga merefleksikan nilai-nilai ketuhanan, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, dan mereka memiliki orientasi masa depan yang cemerlang.
Konstruksi masyarakat menurut Islam dalam pemahaman Muhammadiyah adalah sebuah masyarakat yang senantiasa tunduk dan taat menjalankan ajaran Islam dan giat melakukan dakwah Islam. Berkaitan dengan konsep masyarakat utama yang di gagas oleh Muhammadiyah sebagai respons terhadap perubahan sosial politik, menurut Muhammadiyah harus digunakan dua pendekatan yang memungkinkan gagasan tersebut dapat terwujud yakni ; pertama, pendekatan individual, artinya mengajak kepada setiap individu, sebagai seorang muslim, sebagai individu utama, misalnya muttaqin, dan muslih, yakni pribadi yang sadar sebagai abdullah dan khilafatullah. Pendekatan ini lebih melihat konteks sosiologis setiap individu, dimana mereka hidup bersama dalam masyarakat dan membentuk sistem sosial yang menjiwai ajaran Islam. Kedua, pendekatan sosial, dalam pendekatan ini masyarakat sebagai sebuah institusi/wadah yang dijadikan alat atau sarana untuk mencapai cita-cita masyarakat yang ideal atau masyarakat utama. Antara individu dan masyarakat merupakan dua yang sulit untuk dipisahkan, karena individu dapat eksis apabila ada masyarakat, dan masyarakat baru dapat disebut sebagai masyarakat apabila merupakan sekumpulan orang atau individu-individu.
Perbaikan individu dan pembentukan sistem atau tatanan sosial yang dapat mendukung kehidupan bersama tersebut merupakan tugas utama dari cita-cita sosial Islam yang harus dilaksanakan oleh kaum muslimin. Dengan demikian masyarakat utama akan menjadi ada dan eksis dengan kondisi masyarakat yang juga baik. Masyarakat utama itu sendiri adalah masyarakat yang senantiasa mengejar keutamaan dan kemaslahatan untuk kepentingan hidup umat manusia, masyarakat yang selalu bersikap takzim terhadap Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, mengindahkan dengan penuh keikhlasan terhadap ajaran-ajaran-Nya, serta menaruh hormat terhadap sesama manusia selaku makhluk Allah yang memiliki martabat ahsanu taqwim.
Semoga makalah sederhana ini dapat menjadi bahan bacaan yang berguna dalam mendesain diri untuk mendorong seluruh proses politik yang berjalan —menuju kepada kehidupan politik yang berkeadaban, demokratis dan berkeadilan. Semoga Islam, Muhammadiyah danembrionya IMM, IRM, Pemuda Muhammadiyah, NA, Tapak Suci dan lembaga amalnya menjadi pilar penting bagi proses pencerahan umat dan bangsa menuju kepada rezim politik yang mencerminkan semangat etis Islam. Moral harus ditonjolkan dalam seluruh aspek kehidupan ini.